Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara Menurut Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1
Ketahuilah bahwa penyusun kitab ini, banyaknya dua belas orang, di antaranya tujuh orang menteri di kerajaan Cirebon, seorang mahakawi dari Banten, seorang mahakawi dari Sunda, seorang mahakawi dari Arab yang selalu berkeliling ke segala negara, dan seorang lagi. Semuanya itu dipimpin oleh kami. Karenanya pada hari ini kami bersama semua menteri di kerajaan dan sang mahakawi yang semuanya dua belas orang, membuat kisah kerajaan-kerajaan di bumi Pulau Jawa, dan Pulau Emas (Sumatra), sebagai karya besar saat ini. Dari semuanya itu, kemudian mempelajari semua yang telah terjadi sampai sekarang, asal mula kerajaan-kerajaan dengan rajanya, kesejahteraan penduduknya, demikian pula tugas kerajaan, adat-istiadat, dan lainnya lagi. Inilah kitab yang mulai kami kerjakan pada tahun 10 - 1604 Saka (1682 Masehi) tanggal sebelas paru gelap bulan Phalguna, ditulis di keraton Cirebon oleh kami, Pangeran 15 Wangsakerta, atau Panembahan Carbon Tohpati dengan nama gelar Abdul Kamil Mohammad Nasarudin. Demikianlah asal mula ceritanya.
Pada tahun pertama tarikh Saka, datanglah orang-orang dari barat yaitu dari Singhanagari, Salihwahananagari, Bhumi Ghaudi di bumi Bharatawarsa. Mereka datang di Pulau Jawa menaiki perahu, mereka mula-mula tiba di sini ialah di Jawa Timur kemudian di Jawa Barat, alasannya karena (ingin) menjual jasa dan berdagang dengan penduduk di sini.
Di antaranya mereka membawa barang-barang pakaian, berbagai perhiasan untuk berhias yaitu permata, emas, perak, manik(-manik), kristal, obat-obatan, makanan, berbagai barang untuk dipakai suami istri dan rumah tangga dan lain-lainnya. Adapun barang-barang yang dibelinya di sini ialah rempah-rempah berbagai barang hasil bumi petani, seperti sayuran, padi dan lainnya lagi. Di antara mereka kemudian banyak yang bermukim di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga Pulau Bali. Begitu pula ada yang dating di Sumatra, bumi Kalimantan, dan lainnya lagi di pulau-pulau di bumi Nusāntara atau Dwipāntara namanya yang lain. Terutama di sini penduduk Pulau Jawa, memiliki berbagai pengetahuan, sopan-santun, tak bertentangan dengan orang pendatang baru, dan mereka dianggap tamu yang dicintai oleh orang sesamanya, dan mendapatkan sambutan dengan sepantasnya, akrab dalam persahabatan. Adapun kehidupan penduduknya sejahtera dan tenteram.
Bagi mereka pulau-pulau di bumi Dwipāntara, terutama Pulau Jawa seolah-olah surge yang ada di muka bumi. Demikianlah mereka siang dan malam merasakan kebahagiaan hidup mereka. Oleh karena itu selama mereka tinggal di sini, banyaklah mereka (yang) menikah dengan gadis di sini, beranak-cucu kemudian.
Karena mereka telah mengetahui, bahwa Pulau Jawa ini atau Dwipāntara adalah subur tanahnya, subur tanamannya. Demikianlah beberapa tahun kemudian datanglah mereka dari wilayah Langkasuka, wilayah Saimwang dan Hujung mendini ke Jawa Barat dan Sumatra dengan memakai perahu. Selanjutnya mereka menetap di situ, karena mereka kawin dengan wanita dari penduduk (di situ). Seterusnya mereka tidak kembali lagi ke negara asal mereka. Pada waktu itulah mereka masing-masing membuat rumah besar, untuk digunakan sekeluarga mereka suami istri dengan kerabatnya. Seluruh tiang rumahnya dari (betung, sedangkan atap rumah dibuatnya dari) dedaunan dan rumput. Serta dibuatlah beberapa kaki pada rumah, yaitu rumah panggung namanya. Di situ di salah satu rumah mereka (kehidupan) akrab dan bersaudara, akrab dalam kekeluargaan mereka. Di bawah rumah dipergunakan untuk kandang berbagai binatang milik mereka. Mereka berkumpul bekerjasama jika membuat rumah, menebas hutan, berkumpullah tukang (kayu), pandai besi. Adapun para pendatang dari Bhāratanagari, juga mengajarkan agama mereka yang dibawa, disebarkan kepada penduduk desa-desa. Mereka mengajarkan agama mereka, yang dipujanya Sanghyang, terutama ialah Iswaradewa di antaranya: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, namanya yang terkenal ialah Trimurtiswara.
Masih banyak pula dewa lain yang dipuja oleh mereka selain itu. Agar tidak bertentangan dalam mengajarkan agama mereka, oleh karena itu mereka mencari akal. Karena penduduk di situ orang- orang pendatang juga, sejak dahulu kala selalu (mengadakan) pemujaan nenek moyang, seperti pemujaan api, pemujaan bulan, pemujaan matahari, dan lainnya lagi, pendeknya semua pemujaan nenek moyang.
Orang pendatang baru dari Bhāratanagari sebelah selatan itu, sudah pandai dalam semua Kitab Sastra, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya di sana. Oleh karena itu mereka mencari akal, agar pemujaan mereka tidak mendapat rintangan dari mereka. Orang pendatang dari Bhāratanagari kemudian mengubah nama pemujaan mereka dahulu, disesuaikan dengan kebiasaan dari penduduk di situ. Karena dengan demikian tidak sulit mereka mempelajarinya. Itulah sebabnya pemujaan mereka yakni pemujaan api itu sama dengan pemujaan Dewa Agni atau Sanghyang Agni nama lainnya lagi, pemujaan matahari sama dengan pemujaan Dewa Aditya, Sanghyang Surya namanya lagi, Dan lainnya lagi. Sedangkan pemujaan nenek moyang yang besar kekuasaannya ialah sama dengan (pemujaan) Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang BraHma, (yang) disebut pemujaan Tiga Dewa atau Trimurtiswara. Karena itu tidak lama antaranya banyaklah penduduk memeluk agama baru.
Dengan demikian banyak pula para pendatang yang menikah denga anak sang panghulu penduduk desa, kemudian kelak anak mereka menggantikan kedudukan kakek mereka.
Demikianlah (keadaan) desa-desa yang ada di Pulau Jawa, lamakelamaan pendatang baru menjadi penguasa emerintah desa, orang-orang penduduknya dan harta bendanya juga. Dengan demikian membuat penduduk menjadi tidak berdaya, oleh karena sang panghulu desa sudah dinobatkan menjadi orang berkuasa.
Mengenai anak orang pendatang baru, yaitu cucu sang panghulu, ialah yang menjadikan semua tanah menjadi miliknya atau yang mengabdi kepada cucu sang panghulu. Meskipun demikian kemakmuran di desa sangat baik, dan hasil buminya banyak. Bukankah Pulah Jawa itu tanah yang subur. Begitu pula pulau-pulau Dwipāntara, karena itu pada (tahun) delapan puluh tarikh Saka (158 Masehi) sampai dengan tiga ratus dua puluh tarikh Saka (398 Masehi), sangatlah Banyak perahu dari beberapa negara datang di Pulau Jawa, di antaranya dari negara–negara Bharatawarsa, Negeri Cina, Ghaudi dan Campanagari, banyak di antara mereka yang menetap di sini.
Sang pendatang baru ada di antaranya yang membawa anak-istri dan keluarganya, kemudian menetap di Pulau jawa, dan pulau-pulau di bumi Nusāntara sebagai pribumi di sini. Ada yang menaiki perahu besar, ada ada yang dengan membawa Sang Rsi Waisnawa dan yang lainnya lagi. Sesudah tiba di sini kemudian mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa-desa.
Kemudian mereka menetap di sini. Ada juga Sang Rsi dari agama Siwa pergi ke Jawa timur (dan) Jawa Tengah mengajarkan agama mereka kepada penghulu masyarakat di sana. Menurut Kitab Pustaka Nusāntara, kelak pada awal (tahun) pertama tarikh Saka di sini sudah banyak orang Bhratanagari datang di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di bumi Nusāntara. Karena Dwpāntara terkenal namanya sebagai tanah yang subur. Di antara meraka yang sampai di Pulau Jawa, ada yang mengusahakan jasa dan berdagang, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama, ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakannya, seperti yang terjadi di negerinya dan yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusāntara. Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidup bersama keluaraganya. Terutama para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana, dan wangsa Pallawa di bumi BharataNagari. Dua wangsa inilah, yang sangat banyak dating di sini, dengan menaiki beberapa puluh perahu besar kecil yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.
Tiba di Jawa Barat pertama kali dengan tujuan mereka yaitu mengusahakan jasa dan berdagang. Mereka senantiasa datang di sini, dan membawa rempah-rempah ke negaranya. Di sini Sang Dewawarman sudah bersahabat denga penduduk di pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan Pulau Sumatra bagian selatan, Terutama Sang Dewawarnan sebagi duta dari sang Maharaja dari wangsa Pallawa. Sang Dewawarman bersahabat dengan Sang panghulu dari penduduk Jawa Barat, kemudian menetap di sini. Lama kelamaan Sang Dewawarman menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat, tetapi ia hanya dinobatkan oleh para pengikutnya. Sebabnya agar tujuannya yaitu menyelenggarakan jasa dan berdagang barang-barang hasil dari bumi Jawa Barat tidak terhenti, karena itu kedatangannya dengan kekayaan dan perhiasan, pakaian dan sebagainya.
Demikian juga yang terutama Sang Dewawarman datang di sini dengan membawa banyak pengikut dan harta benda serta berbagai senjata yang disiapkan. Kemudian Sang Dewawarman kawin dengan putri dari Sang Penghulu masyarakat wilayah desa di situ, istrinya kemudian diberi nama gelar Dewi Dhwānirahayu namanya. Karena itu Sang Panghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepad sang menantu. Dengan demikian, pada tahun 52 tarikh Saka (130 Masehi). Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja bumi Jawa Barat bagian barat, dengan kerajaannya disebut Salakanagara, dengan ibukotanya ialah kota Rajata, dengan nama gelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Ia menjadi raja, sampai tahun 90 tarikh Saka (168 Masehi).
Beliau sebagai nenek-moyang dari wangsa Dewawarman yang ada di Jawa Barat di bumi Pulau Jawa. Beberapa tahun yang lampau Sang Dewawarman menjadi duta dari negaranya pergi ke beberapa negara, di antaranya ialah Sanghyang hujung, kemudian Sopalanagari, Yawananagari, kemudian Syangkanagari Negeri Cina, dan Negeri Abasid dengan tujuannya persahabatan dan hubungan jasa dan perdagangan dengan negara-negara yang didatangi.
Adapun maharaja wangsa Pallawa ialah sanak-keluarganya yang berkuasa di negaranya yakni raja wangsa Pallawa di bumi Bhāratawarsa. Di sini Sang Dewawarman menjadi raja sebagai penguasa Lautan Barat, sebab di situ banyak perahu dari barat menuju timur, dari timur menuju barat, berhenti sementara.
Kemudian perahu-perahu itu harus member persembahan kepada Sang Raja Dewawarman. Beberapa tempat pelabuhan perahu ada di Jawa Barat, yang pesisirnya dijaga oleh balatentaranya, sampai pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan pesisir selatan Pulau Sumatra. Kadangkadang ada perompak menaiki perahu, ingin merebut kekuasaan tetapi kemudian memerangi, dan sang perompak akhirnya dapat dikalahkan dan dibinasakan oleh Sang Dewawarman pada waktu perang. Hancurlah mereka semua sang perompak dengan seluruh pelayannya, mati tidak tersisa.
Sebab Sang Dewawarman adalah raja yang gagah perkasa dan mahir dalam berperang. Dalam perkawinannya Sang Dewawarman dengan Sang Dewi Dhwānirahayu, berputralah beberapa orang, seorang di antaranya yang tertua kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja. Rajaputra tersebut terkenal namanya Sang Prabhu Dhigwijayakasa Dewawarmanputra, menjadi Dewawarman kedua. Ia menjadi raja pada tahun 90 tarikh Saka (168 Masehi), sampai tahun 117 tarikh 20 Saka (195 Masehi).
Selanjutnya Sang Dewawarman kedua, menikah dengan sanak keluarga Mahāraja Singhalanagari. Dalam perkawinannya dengan putrid ini, lahirlah beberapa orang, salah seorang di antaranya ialah Sang Yuwaraja yang terkenal Sang Prabhu Singhasagara Bhimayasawirya namanya, sebagai Dewawarman ketiga. Ia menjadi raja pada tahun 117 tarikh Saka (195 Masehi) sampai pada tahun 160 tarikh Saka (632 Masehi).
Pada waktu itu negara kedatangan beberapa puluh perompak dari Negeri Cina, keinginan sang perompak adalah hartakekayaan di antaranya segala perhiasan, yaitu perhiasan dari emas, perak, segala permata, pakaian dan makanan yang enak. Tetapi Sang Dewawarman dengan semua Bala tentaranya yang jumlahnya banyak, segera datang membebaskan penduduk dari bahaya besar dari perbuatan khianat sang penyamun. Desa sudah lengkap di lindungi oleh bala tentara yang berkeliling rapat. Kemudian balatentara dipimpin oleh Sang Prabhu Dewawarman yang seluruhnya berpakaian kebesaran dan masing-masing memegang berbagai senjata. Selanjutnya tentara Sang Dewawarman maju menyerang dengan kekuatan yang dahsyat, diserangnyalah sang pe rompak yang berbuat kejahatan, akhirnya kalahlah.
Semua sang perompak tewas tanpa sisa, sang perompak yang tertangkap semuanya dibunuh. Oleh karena itu semua penduduk selamat dari bencana besar. Sang Dewawarman ketiga bersahabat dengan Negeri Cina, demikian pula dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Bharatanagari. Dari perkawinannya dengan putrid dari Jawa Tengah, Sang Dewawarman berputra beberapa orang, perempuan dan laki-laki. Salah seorang di antaranya yang tertua perempuan, yaitu Dewi Tirthalengkara namanya, dijadikan istri oleh Sang Prabhu Dharma Satyanagara namanya. Sang menantu raja ini, menggantikan menjadi penguasa negara, lamanya menjadi raja sejak dari tahun 160 tarikh Saka (238 Masehi) sampai tahun 174 (61) tarikh Saka (= 252 Masehi).
Beliaumenjadi Dewawarman IV. dari perkawinannya Sang Dewi Tirthalengkara dengan Sang Prabhu Dharmasatyanagara Ratu Hujungkulwan lahir lah beberapa orang, salah seorang yang tertua perempuan yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi namanya. Beliau memerintah kerajaan dengan suaminya yaitu Sang Prabhu Amatiyasarwajala Dharmasatyajaya Warunadewa nama gelarnya.
Kemudian beliau menjadi raja, pada tahun 174 tarikh Saka (= 252 Masehi), sampai dengan 20 tahun 211 tarikh Saka (= 289 Masehi), tetapi suaminya hanya 24 tahun (62) memerintah bersama istrinya, karena Sang Prabhu Dharmasatyajaya Warunadewa, mangkat di tengah lautan, ketika berperang melawan perompak. Ketika itu Sang Prabhu menjadi Panglima Angkatan Laut memimpin Balatentara, memerangi perahu para perompak, yang menaiki perahu besar tiga buah.
Sedangkan perahu kerajaan empat buah, tampak saling menghantam pada waktu berperang. Sang Prabhu dipanah dari belakang oleh perompak, kemudian Sang Prabhu sebagai Panglima Angkatan Laut gugurlah.
Akhirnya para perompak kalahlah mereka dan banyak yang tewas terapung di air, mereka sisa yang tewas ditawan semuanya.
Setelah itu raja yang gugur di lautan digantikan oleh putranya yaitu Sang Pra bhu Ghanayanadewa Linggabhumi namanya. Menjadi raja lamanya sembilan belas tahun, yaitu mulai dari tahun 211 tarikh Saka (= 289 Masehi) 10 sampai dengan tahun 230 tarikh Saka (= 308 Masehi).
Sang Prabhu Ghanayana adalah sebagai Dewawarman VI. 15 Beliau menikah dengan putri dari Bharatanagari, dari perkawinannya lahirlah beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah : Pertama yang tertua yaitu Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati namanya, menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia menjadi raja lamanya Tiga puluh dua tahun, yaitu mulai memerintah kerajaan pada tahun 230 tarikh Saka (= 308 Masehi) sampai dengan 262 tarikh Saka (= 340 Masehi). Beliau menjadi Dewawarman VII.
Kedua, perempuan yaitu Salakakhancana Warmandewi namanya, diperistri oleh penguasa kerajaan Ghaudinagari di bumi Bharatawarsa bagian timur.
Ketiga, perempuan yaitu Khārttikacandra Warmandewi Namanya, diperistri oleh Sang Pranaraja dari Yawananagari.
Keempat, laki-laki yaitu Sang Ghopalajayengrana namanya, menjadi penguasa kerajaan wangsa Salankayana di bumi Bharatanagari.
Kelima, perempuan yaitu Sri Ghandari Lengkaradewi namanya, diperistri oleh seorang pembesar, panglima angkatan laut di kerajaan wangsa Pallawa. Keenam, yakni putra bungsu bernama Senapati Skandamuka Dewawarman Jayasatru.
Seterusnya diceritakan pada waktu Sang Prbhu Bhimadigwijaya Satyaganapati yaitu Dewawarman VII gugur pada tahun 262 15 tarikh Saka (= 340 Masehi), datanglah sang senapati yang terkenal dengan nama Khrodamaruta bersama beberapa ratus orang bala-tentaranya, dengan membawa berbagai senjata lengkap merebut kekuasaan dari saudaranya.
Dengan demikian ia melanggar adat kebiasaan, ia tidak mematuhi Tata cara seperti yang telah dilakukan sejak dahulu oleh nenek moyang. Bukankah mereka keduanya sama-sama cucu dari Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabumi. Demikianlah kisahnya.
Adapun Sang Prabhu Ghanayana Linggabumi berputra enam orang, laki-laki dan perempuan, putranya yang pertama laki-laki yaitu Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati. Kemudian Sang Prabhu Bhima berputra seorang perempuan yakni Rani Spatikarnawa Warmandewi namanya. Adapun putra dari Prabhu Ghanayana yang keempat Sang Ghopala Jayengrana menjadi pembesar di kerajaan wangsa Salankayana di bumi Bharatawarsa. Kemudian Sang Ghopala Jayengrana berputra Sang Khrodamaruta namanya. Menurut tata cara kebiasaan yang berlaku di kerajaan, Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi (seharusnya) menggantikan ayahnya menjadi raja di kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat bagian barat, tetapi Sang Senapati Khrodamaruta merebut takhta raja. Meskipun demikian Sang Khrodamaruta tidak berhasil menjadi raja, karena semua penduduk dan kaum kerabat serta sanak-saudara yang ada di keraton tidak menyukainya. Beberapa desa tetangga kemudian dikalahkan oleh Sang Khrodamaruta. Walaupun demikian Sang Khrodamaruta tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan di gunung, ia tertimpa batu besar dari puncak gunung, begitulah Sang Prabhu Khrodamaruta tewas.
Peristiwa ini membuat semua penduduk dan kaum kerabat keraton sangat gembira hatinya. Dengan demikian kemudian Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi raja berkuasa, berdasarkan tata cara di kerajaan dan kebiasaan.
Setelah Sang Rani memerintah kerajaan selama tujuh tahun yaitu dari tahun 262 15 tarikh Saka (= 340Masehi) sampai 270 tarikh Sakan (= 348 Masehi), kemudian Sang Rani menikah dengan Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakalabhuwana namanya.
Sejak itu Sang Rani memerintah kerajaan bersama-sama suaminya. Adapun Sang Prabhu Dharmawirya putra dari Sri Ghandarilengkara Warmandewi (yang) bersuamikan seorang pembesar Panglima Angkatan Laut dari kerajaan wangsa Pallawa di bumi Bharatawarsa. Sri Ghandari adik Sang Prabhu Bhimadigwijaya, Sang Prabhu Bhimadigwijaya ayah Sang rani. Oleh karena itu Sang Prabhu Dharmawirya dan Sang Sang Rani Spatikarnawa adalah bersaudara tunggal cucu.
Selanjutnya Sang Prabhu Dharmawirya menjadi raja, pada tahun 270 tarikh Saka (= 348 Masehi) sampai 285 tarikh Saka (= 363 Masehi). Beliau merupakan Dewawarman VIII. Adapun Sang Prabhu Dharmawirya datang dari bumi Bharatanagari, pada tahun 268 tarikh Saka (= 346 Masehi), bersama ayah-ibu dan pengiringnya mengungsi ke Jawa Barat karena negaranya sudah ditaklukkan oleh Sang Maharaja dari wangsa Maurya, yaitu Sang Maharaja Samudraghupta. Di Bharatanagari dua wangsa atau dua kerajaan, (yaitu) wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa, sudah dikalahkan pada waktu perang oleh Samudraghupta Maharaja Maurya.
Sang Ghupta kemudian menjadi maha penguasa di bhumi Bharata. Tabiatnya tidak baik, kejam dan buas terhadap musuhnya yang kalah. Itulah sebabnya dengan segala upayanya keluarga dan sejumlah penasihat kerajaan dan penduduk dari kedua wangsa yang dikalahkan pada waktu peperangan banyak di antaranya yang mengungsi mencari keselamatan dari kematian. Adapun perang itu terjadi pada tahun 267 5 tarikh Saka (= Masehi).
Meskipun kerajaannya sudah dikalahkan namun keraton kerajaan tidak dimusnahkan dari bumi, hanyalah yang kalah ada di bawah kekuasaan yang menang perang. Sementara penduduk dari Pallawanagari dan Salankayananagari yang tinggal di sana, yaitu di negeri asalnya, mereka sangat berduka cita dan banyak yang meninggal, sementara itu banyak di antara mereka yang sangat menderita dan selalu ketakutan.
Itulah bedanya dari yang di bawah kekuasaan Sang Maharaja Ghupta, telah banyak membunuh penduduk yang tidak berdosa. Sang pemenang perang mengalahkan dan menindas kedua kerajaan yang kalah perang. Sudah banyaklah bala tentara dan pembesar maupun orang-orang dari golongan rendah, menengah maupun tinggi yang gugur pada waktu perang. Dalam keadaan seperti itu, banyak penyamun di kota yang kalah. Sedangkan sang raja yang dikalahkan negaranya mengungsi berkeliaran di hutan belantara bersama keluarganya, dan semua pengiringnya, begitu pula para pembesarnya, para pengikutnya dan juga pasukan bersenjata.
Adapun Sang Maharaja Maurya yang terkenal denga nama penobatannya Samudragupta Mahaprabhawa, raja Magadha yang besar kotanya di Bharatawarsa. Sedangkan wangsa Salankayana rajanya terkenal dengan nama penobatannya Sang Maharaja Hastiwarman, dan wangsa Pallawa rajanya yang terkenal dengan nama penobatannya Sang Maharaja Wisnugopta. Dua kerajaan bersahabat erat menjadi satu kemudian menyerang Negara musuh, kemudian mereka berperang, beberapa bulan lamanya mereka berperang, penduduk terdesak dan mereka semua terkejut oleh teriakan mereka menyerang sambil membunuh, saling mendesak saling gigit, saling merapat, saling tempeleng keduanya, saling pukul dengan gada besi, ada yang saling tinju, ada pula yang perang tanding, keduanya sama-sama berani, sama tangkas. Bunyi terompet terdengar menandakan perang besar. Masing-masing membawa panji-panjinya sebagai tanda kerajaannya. Yang berperang makin lama makin mendekat, suara senjata orang berperang terdengar (dari) jauh.
Di antaranya mereka membawa barang-barang pakaian, berbagai perhiasan untuk berhias yaitu permata, emas, perak, manik(-manik), kristal, obat-obatan, makanan, berbagai barang untuk dipakai suami istri dan rumah tangga dan lain-lainnya. Adapun barang-barang yang dibelinya di sini ialah rempah-rempah berbagai barang hasil bumi petani, seperti sayuran, padi dan lainnya lagi. Di antara mereka kemudian banyak yang bermukim di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga Pulau Bali. Begitu pula ada yang dating di Sumatra, bumi Kalimantan, dan lainnya lagi di pulau-pulau di bumi Nusāntara atau Dwipāntara namanya yang lain. Terutama di sini penduduk Pulau Jawa, memiliki berbagai pengetahuan, sopan-santun, tak bertentangan dengan orang pendatang baru, dan mereka dianggap tamu yang dicintai oleh orang sesamanya, dan mendapatkan sambutan dengan sepantasnya, akrab dalam persahabatan. Adapun kehidupan penduduknya sejahtera dan tenteram.
Bagi mereka pulau-pulau di bumi Dwipāntara, terutama Pulau Jawa seolah-olah surge yang ada di muka bumi. Demikianlah mereka siang dan malam merasakan kebahagiaan hidup mereka. Oleh karena itu selama mereka tinggal di sini, banyaklah mereka (yang) menikah dengan gadis di sini, beranak-cucu kemudian.
Karena mereka telah mengetahui, bahwa Pulau Jawa ini atau Dwipāntara adalah subur tanahnya, subur tanamannya. Demikianlah beberapa tahun kemudian datanglah mereka dari wilayah Langkasuka, wilayah Saimwang dan Hujung mendini ke Jawa Barat dan Sumatra dengan memakai perahu. Selanjutnya mereka menetap di situ, karena mereka kawin dengan wanita dari penduduk (di situ). Seterusnya mereka tidak kembali lagi ke negara asal mereka. Pada waktu itulah mereka masing-masing membuat rumah besar, untuk digunakan sekeluarga mereka suami istri dengan kerabatnya. Seluruh tiang rumahnya dari (betung, sedangkan atap rumah dibuatnya dari) dedaunan dan rumput. Serta dibuatlah beberapa kaki pada rumah, yaitu rumah panggung namanya. Di situ di salah satu rumah mereka (kehidupan) akrab dan bersaudara, akrab dalam kekeluargaan mereka. Di bawah rumah dipergunakan untuk kandang berbagai binatang milik mereka. Mereka berkumpul bekerjasama jika membuat rumah, menebas hutan, berkumpullah tukang (kayu), pandai besi. Adapun para pendatang dari Bhāratanagari, juga mengajarkan agama mereka yang dibawa, disebarkan kepada penduduk desa-desa. Mereka mengajarkan agama mereka, yang dipujanya Sanghyang, terutama ialah Iswaradewa di antaranya: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, namanya yang terkenal ialah Trimurtiswara.
Masih banyak pula dewa lain yang dipuja oleh mereka selain itu. Agar tidak bertentangan dalam mengajarkan agama mereka, oleh karena itu mereka mencari akal. Karena penduduk di situ orang- orang pendatang juga, sejak dahulu kala selalu (mengadakan) pemujaan nenek moyang, seperti pemujaan api, pemujaan bulan, pemujaan matahari, dan lainnya lagi, pendeknya semua pemujaan nenek moyang.
Orang pendatang baru dari Bhāratanagari sebelah selatan itu, sudah pandai dalam semua Kitab Sastra, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya di sana. Oleh karena itu mereka mencari akal, agar pemujaan mereka tidak mendapat rintangan dari mereka. Orang pendatang dari Bhāratanagari kemudian mengubah nama pemujaan mereka dahulu, disesuaikan dengan kebiasaan dari penduduk di situ. Karena dengan demikian tidak sulit mereka mempelajarinya. Itulah sebabnya pemujaan mereka yakni pemujaan api itu sama dengan pemujaan Dewa Agni atau Sanghyang Agni nama lainnya lagi, pemujaan matahari sama dengan pemujaan Dewa Aditya, Sanghyang Surya namanya lagi, Dan lainnya lagi. Sedangkan pemujaan nenek moyang yang besar kekuasaannya ialah sama dengan (pemujaan) Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang BraHma, (yang) disebut pemujaan Tiga Dewa atau Trimurtiswara. Karena itu tidak lama antaranya banyaklah penduduk memeluk agama baru.
Dengan demikian banyak pula para pendatang yang menikah denga anak sang panghulu penduduk desa, kemudian kelak anak mereka menggantikan kedudukan kakek mereka.
Demikianlah (keadaan) desa-desa yang ada di Pulau Jawa, lamakelamaan pendatang baru menjadi penguasa emerintah desa, orang-orang penduduknya dan harta bendanya juga. Dengan demikian membuat penduduk menjadi tidak berdaya, oleh karena sang panghulu desa sudah dinobatkan menjadi orang berkuasa.
Mengenai anak orang pendatang baru, yaitu cucu sang panghulu, ialah yang menjadikan semua tanah menjadi miliknya atau yang mengabdi kepada cucu sang panghulu. Meskipun demikian kemakmuran di desa sangat baik, dan hasil buminya banyak. Bukankah Pulah Jawa itu tanah yang subur. Begitu pula pulau-pulau Dwipāntara, karena itu pada (tahun) delapan puluh tarikh Saka (158 Masehi) sampai dengan tiga ratus dua puluh tarikh Saka (398 Masehi), sangatlah Banyak perahu dari beberapa negara datang di Pulau Jawa, di antaranya dari negara–negara Bharatawarsa, Negeri Cina, Ghaudi dan Campanagari, banyak di antara mereka yang menetap di sini.
Sang pendatang baru ada di antaranya yang membawa anak-istri dan keluarganya, kemudian menetap di Pulau jawa, dan pulau-pulau di bumi Nusāntara sebagai pribumi di sini. Ada yang menaiki perahu besar, ada ada yang dengan membawa Sang Rsi Waisnawa dan yang lainnya lagi. Sesudah tiba di sini kemudian mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa-desa.
Kemudian mereka menetap di sini. Ada juga Sang Rsi dari agama Siwa pergi ke Jawa timur (dan) Jawa Tengah mengajarkan agama mereka kepada penghulu masyarakat di sana. Menurut Kitab Pustaka Nusāntara, kelak pada awal (tahun) pertama tarikh Saka di sini sudah banyak orang Bhratanagari datang di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di bumi Nusāntara. Karena Dwpāntara terkenal namanya sebagai tanah yang subur. Di antara meraka yang sampai di Pulau Jawa, ada yang mengusahakan jasa dan berdagang, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama, ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakannya, seperti yang terjadi di negerinya dan yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusāntara. Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidup bersama keluaraganya. Terutama para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana, dan wangsa Pallawa di bumi BharataNagari. Dua wangsa inilah, yang sangat banyak dating di sini, dengan menaiki beberapa puluh perahu besar kecil yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.
Tiba di Jawa Barat pertama kali dengan tujuan mereka yaitu mengusahakan jasa dan berdagang. Mereka senantiasa datang di sini, dan membawa rempah-rempah ke negaranya. Di sini Sang Dewawarman sudah bersahabat denga penduduk di pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan Pulau Sumatra bagian selatan, Terutama Sang Dewawarnan sebagi duta dari sang Maharaja dari wangsa Pallawa. Sang Dewawarman bersahabat dengan Sang panghulu dari penduduk Jawa Barat, kemudian menetap di sini. Lama kelamaan Sang Dewawarman menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat, tetapi ia hanya dinobatkan oleh para pengikutnya. Sebabnya agar tujuannya yaitu menyelenggarakan jasa dan berdagang barang-barang hasil dari bumi Jawa Barat tidak terhenti, karena itu kedatangannya dengan kekayaan dan perhiasan, pakaian dan sebagainya.
Demikian juga yang terutama Sang Dewawarman datang di sini dengan membawa banyak pengikut dan harta benda serta berbagai senjata yang disiapkan. Kemudian Sang Dewawarman kawin dengan putri dari Sang Penghulu masyarakat wilayah desa di situ, istrinya kemudian diberi nama gelar Dewi Dhwānirahayu namanya. Karena itu Sang Panghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepad sang menantu. Dengan demikian, pada tahun 52 tarikh Saka (130 Masehi). Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja bumi Jawa Barat bagian barat, dengan kerajaannya disebut Salakanagara, dengan ibukotanya ialah kota Rajata, dengan nama gelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Ia menjadi raja, sampai tahun 90 tarikh Saka (168 Masehi).
Beliau sebagai nenek-moyang dari wangsa Dewawarman yang ada di Jawa Barat di bumi Pulau Jawa. Beberapa tahun yang lampau Sang Dewawarman menjadi duta dari negaranya pergi ke beberapa negara, di antaranya ialah Sanghyang hujung, kemudian Sopalanagari, Yawananagari, kemudian Syangkanagari Negeri Cina, dan Negeri Abasid dengan tujuannya persahabatan dan hubungan jasa dan perdagangan dengan negara-negara yang didatangi.
Adapun maharaja wangsa Pallawa ialah sanak-keluarganya yang berkuasa di negaranya yakni raja wangsa Pallawa di bumi Bhāratawarsa. Di sini Sang Dewawarman menjadi raja sebagai penguasa Lautan Barat, sebab di situ banyak perahu dari barat menuju timur, dari timur menuju barat, berhenti sementara.
Kemudian perahu-perahu itu harus member persembahan kepada Sang Raja Dewawarman. Beberapa tempat pelabuhan perahu ada di Jawa Barat, yang pesisirnya dijaga oleh balatentaranya, sampai pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan pesisir selatan Pulau Sumatra. Kadangkadang ada perompak menaiki perahu, ingin merebut kekuasaan tetapi kemudian memerangi, dan sang perompak akhirnya dapat dikalahkan dan dibinasakan oleh Sang Dewawarman pada waktu perang. Hancurlah mereka semua sang perompak dengan seluruh pelayannya, mati tidak tersisa.
Sebab Sang Dewawarman adalah raja yang gagah perkasa dan mahir dalam berperang. Dalam perkawinannya Sang Dewawarman dengan Sang Dewi Dhwānirahayu, berputralah beberapa orang, seorang di antaranya yang tertua kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja. Rajaputra tersebut terkenal namanya Sang Prabhu Dhigwijayakasa Dewawarmanputra, menjadi Dewawarman kedua. Ia menjadi raja pada tahun 90 tarikh Saka (168 Masehi), sampai tahun 117 tarikh 20 Saka (195 Masehi).
Selanjutnya Sang Dewawarman kedua, menikah dengan sanak keluarga Mahāraja Singhalanagari. Dalam perkawinannya dengan putrid ini, lahirlah beberapa orang, salah seorang di antaranya ialah Sang Yuwaraja yang terkenal Sang Prabhu Singhasagara Bhimayasawirya namanya, sebagai Dewawarman ketiga. Ia menjadi raja pada tahun 117 tarikh Saka (195 Masehi) sampai pada tahun 160 tarikh Saka (632 Masehi).
Pada waktu itu negara kedatangan beberapa puluh perompak dari Negeri Cina, keinginan sang perompak adalah hartakekayaan di antaranya segala perhiasan, yaitu perhiasan dari emas, perak, segala permata, pakaian dan makanan yang enak. Tetapi Sang Dewawarman dengan semua Bala tentaranya yang jumlahnya banyak, segera datang membebaskan penduduk dari bahaya besar dari perbuatan khianat sang penyamun. Desa sudah lengkap di lindungi oleh bala tentara yang berkeliling rapat. Kemudian balatentara dipimpin oleh Sang Prabhu Dewawarman yang seluruhnya berpakaian kebesaran dan masing-masing memegang berbagai senjata. Selanjutnya tentara Sang Dewawarman maju menyerang dengan kekuatan yang dahsyat, diserangnyalah sang pe rompak yang berbuat kejahatan, akhirnya kalahlah.
Semua sang perompak tewas tanpa sisa, sang perompak yang tertangkap semuanya dibunuh. Oleh karena itu semua penduduk selamat dari bencana besar. Sang Dewawarman ketiga bersahabat dengan Negeri Cina, demikian pula dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Bharatanagari. Dari perkawinannya dengan putrid dari Jawa Tengah, Sang Dewawarman berputra beberapa orang, perempuan dan laki-laki. Salah seorang di antaranya yang tertua perempuan, yaitu Dewi Tirthalengkara namanya, dijadikan istri oleh Sang Prabhu Dharma Satyanagara namanya. Sang menantu raja ini, menggantikan menjadi penguasa negara, lamanya menjadi raja sejak dari tahun 160 tarikh Saka (238 Masehi) sampai tahun 174 (61) tarikh Saka (= 252 Masehi).
Beliaumenjadi Dewawarman IV. dari perkawinannya Sang Dewi Tirthalengkara dengan Sang Prabhu Dharmasatyanagara Ratu Hujungkulwan lahir lah beberapa orang, salah seorang yang tertua perempuan yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi namanya. Beliau memerintah kerajaan dengan suaminya yaitu Sang Prabhu Amatiyasarwajala Dharmasatyajaya Warunadewa nama gelarnya.
Kemudian beliau menjadi raja, pada tahun 174 tarikh Saka (= 252 Masehi), sampai dengan 20 tahun 211 tarikh Saka (= 289 Masehi), tetapi suaminya hanya 24 tahun (62) memerintah bersama istrinya, karena Sang Prabhu Dharmasatyajaya Warunadewa, mangkat di tengah lautan, ketika berperang melawan perompak. Ketika itu Sang Prabhu menjadi Panglima Angkatan Laut memimpin Balatentara, memerangi perahu para perompak, yang menaiki perahu besar tiga buah.
Sedangkan perahu kerajaan empat buah, tampak saling menghantam pada waktu berperang. Sang Prabhu dipanah dari belakang oleh perompak, kemudian Sang Prabhu sebagai Panglima Angkatan Laut gugurlah.
Akhirnya para perompak kalahlah mereka dan banyak yang tewas terapung di air, mereka sisa yang tewas ditawan semuanya.
Setelah itu raja yang gugur di lautan digantikan oleh putranya yaitu Sang Pra bhu Ghanayanadewa Linggabhumi namanya. Menjadi raja lamanya sembilan belas tahun, yaitu mulai dari tahun 211 tarikh Saka (= 289 Masehi) 10 sampai dengan tahun 230 tarikh Saka (= 308 Masehi).
Sang Prabhu Ghanayana adalah sebagai Dewawarman VI. 15 Beliau menikah dengan putri dari Bharatanagari, dari perkawinannya lahirlah beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah : Pertama yang tertua yaitu Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati namanya, menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia menjadi raja lamanya Tiga puluh dua tahun, yaitu mulai memerintah kerajaan pada tahun 230 tarikh Saka (= 308 Masehi) sampai dengan 262 tarikh Saka (= 340 Masehi). Beliau menjadi Dewawarman VII.
Kedua, perempuan yaitu Salakakhancana Warmandewi namanya, diperistri oleh penguasa kerajaan Ghaudinagari di bumi Bharatawarsa bagian timur.
Ketiga, perempuan yaitu Khārttikacandra Warmandewi Namanya, diperistri oleh Sang Pranaraja dari Yawananagari.
Keempat, laki-laki yaitu Sang Ghopalajayengrana namanya, menjadi penguasa kerajaan wangsa Salankayana di bumi Bharatanagari.
Kelima, perempuan yaitu Sri Ghandari Lengkaradewi namanya, diperistri oleh seorang pembesar, panglima angkatan laut di kerajaan wangsa Pallawa. Keenam, yakni putra bungsu bernama Senapati Skandamuka Dewawarman Jayasatru.
Seterusnya diceritakan pada waktu Sang Prbhu Bhimadigwijaya Satyaganapati yaitu Dewawarman VII gugur pada tahun 262 15 tarikh Saka (= 340 Masehi), datanglah sang senapati yang terkenal dengan nama Khrodamaruta bersama beberapa ratus orang bala-tentaranya, dengan membawa berbagai senjata lengkap merebut kekuasaan dari saudaranya.
Dengan demikian ia melanggar adat kebiasaan, ia tidak mematuhi Tata cara seperti yang telah dilakukan sejak dahulu oleh nenek moyang. Bukankah mereka keduanya sama-sama cucu dari Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabumi. Demikianlah kisahnya.
Adapun Sang Prabhu Ghanayana Linggabumi berputra enam orang, laki-laki dan perempuan, putranya yang pertama laki-laki yaitu Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati. Kemudian Sang Prabhu Bhima berputra seorang perempuan yakni Rani Spatikarnawa Warmandewi namanya. Adapun putra dari Prabhu Ghanayana yang keempat Sang Ghopala Jayengrana menjadi pembesar di kerajaan wangsa Salankayana di bumi Bharatawarsa. Kemudian Sang Ghopala Jayengrana berputra Sang Khrodamaruta namanya. Menurut tata cara kebiasaan yang berlaku di kerajaan, Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi (seharusnya) menggantikan ayahnya menjadi raja di kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat bagian barat, tetapi Sang Senapati Khrodamaruta merebut takhta raja. Meskipun demikian Sang Khrodamaruta tidak berhasil menjadi raja, karena semua penduduk dan kaum kerabat serta sanak-saudara yang ada di keraton tidak menyukainya. Beberapa desa tetangga kemudian dikalahkan oleh Sang Khrodamaruta. Walaupun demikian Sang Khrodamaruta tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan di gunung, ia tertimpa batu besar dari puncak gunung, begitulah Sang Prabhu Khrodamaruta tewas.
Peristiwa ini membuat semua penduduk dan kaum kerabat keraton sangat gembira hatinya. Dengan demikian kemudian Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi raja berkuasa, berdasarkan tata cara di kerajaan dan kebiasaan.
Setelah Sang Rani memerintah kerajaan selama tujuh tahun yaitu dari tahun 262 15 tarikh Saka (= 340Masehi) sampai 270 tarikh Sakan (= 348 Masehi), kemudian Sang Rani menikah dengan Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakalabhuwana namanya.
Sejak itu Sang Rani memerintah kerajaan bersama-sama suaminya. Adapun Sang Prabhu Dharmawirya putra dari Sri Ghandarilengkara Warmandewi (yang) bersuamikan seorang pembesar Panglima Angkatan Laut dari kerajaan wangsa Pallawa di bumi Bharatawarsa. Sri Ghandari adik Sang Prabhu Bhimadigwijaya, Sang Prabhu Bhimadigwijaya ayah Sang rani. Oleh karena itu Sang Prabhu Dharmawirya dan Sang Sang Rani Spatikarnawa adalah bersaudara tunggal cucu.
Selanjutnya Sang Prabhu Dharmawirya menjadi raja, pada tahun 270 tarikh Saka (= 348 Masehi) sampai 285 tarikh Saka (= 363 Masehi). Beliau merupakan Dewawarman VIII. Adapun Sang Prabhu Dharmawirya datang dari bumi Bharatanagari, pada tahun 268 tarikh Saka (= 346 Masehi), bersama ayah-ibu dan pengiringnya mengungsi ke Jawa Barat karena negaranya sudah ditaklukkan oleh Sang Maharaja dari wangsa Maurya, yaitu Sang Maharaja Samudraghupta. Di Bharatanagari dua wangsa atau dua kerajaan, (yaitu) wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa, sudah dikalahkan pada waktu perang oleh Samudraghupta Maharaja Maurya.
Sang Ghupta kemudian menjadi maha penguasa di bhumi Bharata. Tabiatnya tidak baik, kejam dan buas terhadap musuhnya yang kalah. Itulah sebabnya dengan segala upayanya keluarga dan sejumlah penasihat kerajaan dan penduduk dari kedua wangsa yang dikalahkan pada waktu peperangan banyak di antaranya yang mengungsi mencari keselamatan dari kematian. Adapun perang itu terjadi pada tahun 267 5 tarikh Saka (= Masehi).
Meskipun kerajaannya sudah dikalahkan namun keraton kerajaan tidak dimusnahkan dari bumi, hanyalah yang kalah ada di bawah kekuasaan yang menang perang. Sementara penduduk dari Pallawanagari dan Salankayananagari yang tinggal di sana, yaitu di negeri asalnya, mereka sangat berduka cita dan banyak yang meninggal, sementara itu banyak di antara mereka yang sangat menderita dan selalu ketakutan.
Itulah bedanya dari yang di bawah kekuasaan Sang Maharaja Ghupta, telah banyak membunuh penduduk yang tidak berdosa. Sang pemenang perang mengalahkan dan menindas kedua kerajaan yang kalah perang. Sudah banyaklah bala tentara dan pembesar maupun orang-orang dari golongan rendah, menengah maupun tinggi yang gugur pada waktu perang. Dalam keadaan seperti itu, banyak penyamun di kota yang kalah. Sedangkan sang raja yang dikalahkan negaranya mengungsi berkeliaran di hutan belantara bersama keluarganya, dan semua pengiringnya, begitu pula para pembesarnya, para pengikutnya dan juga pasukan bersenjata.
Adapun Sang Maharaja Maurya yang terkenal denga nama penobatannya Samudragupta Mahaprabhawa, raja Magadha yang besar kotanya di Bharatawarsa. Sedangkan wangsa Salankayana rajanya terkenal dengan nama penobatannya Sang Maharaja Hastiwarman, dan wangsa Pallawa rajanya yang terkenal dengan nama penobatannya Sang Maharaja Wisnugopta. Dua kerajaan bersahabat erat menjadi satu kemudian menyerang Negara musuh, kemudian mereka berperang, beberapa bulan lamanya mereka berperang, penduduk terdesak dan mereka semua terkejut oleh teriakan mereka menyerang sambil membunuh, saling mendesak saling gigit, saling merapat, saling tempeleng keduanya, saling pukul dengan gada besi, ada yang saling tinju, ada pula yang perang tanding, keduanya sama-sama berani, sama tangkas. Bunyi terompet terdengar menandakan perang besar. Masing-masing membawa panji-panjinya sebagai tanda kerajaannya. Yang berperang makin lama makin mendekat, suara senjata orang berperang terdengar (dari) jauh.
Mereka yang berperang semuanya mengenakan baju besi dan memegang berbagai senjata. Di antara mereka ada yang menunggang gajah, naik kereta, naik pedati, ada yang menunggangi kuda dan banyak lagi yang berjalan kaki. Demikianlah bunyi orang bertempur yang banyaknya berpuluh-puluh ribu, terdengar bagaikan guntur dan bagaikan ada gempa bumi. Keduabelah pihak sudah banyak yang tewas, percikan darah jatuh di bumi bagaikan mata air kemudian menjadi lautan darah. Ribuan bangkai di atas tanah, ada bangkai yang tubuh dan kepalanya terputus, ada yang putus kakinya, putus tangannya, ada yang bermandikan darah. Akhirnya kerajaan wangsa Pallawa dan kerajaan wangsa Salankayana kalah, kerajaan Maurya memperoleh kemenangan. Karenanya kedua kerajaan tersebut hancur negaranya. Sedangkan yang kalah, sisa dari yang tewas berdaya upaya bersembunyi dan bercerai berai, ada yang bersembunyi di hutan belantara, ada yang bersembunyi di lereng gunung, demikian pula ada yang bersama semua pengikutnya pergi menyeberang lautan, menuju Sanghyang Hujung, Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Yawananagari, dan negeri-negeri lainnya lagi.
Meskipun kedua kerajaan telah dikalahkan tetapi kerajaan itu tidak musnah dari bumi. Melainkan yang kalah mengakui kekuasaan pemenang perang. Adalah salah satu kelompok dari wangsa Pallawa yang mengungsi ke Pulau Jawa yaitu yang dipimpin oleh seorang yang kemudian bernama Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana, yaitu Dewawarman kedelapan dan menikah dengan Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi. Sementara itu penduduk Pallawanagara dan Salankayananagara yang ada di tanah airnya, sangatlah berdukacita dan banyak yang meninggal, karena mereka banyak yang sangat menderita, mereka senantiasa ketakutan.
Itulah bedanya dari kekuasaan Sang Maharaja Gupta, sudah banyak membunuh penduduk yang tidak berdosa. Pemenang perang mengalahkan dan menindas orang-orang dari dua kerajaan yang kalah perang. Sudah banyak balatentara dan pembesar yaitu dari golongan rendah, menengah dan tinggi tewas pada waktu peperangan. Dengan keadaan seperti itu di kota yang kalah banyak penyamun yang ingin menjarah harta benda dan segala pehiasan milik penduduk.
Adapun raja yang dikalahkan negaranya, sudah mengungsi (dan) berkeliaran di hutan belantara bersama seluruh kerabat dan sanak keluarganya serta penasihat raja dan para pembesar dengan semua pengiringnya, begitu pula para pembesar dan pasukan bersenjata. Menurut Sang Mahakawi demikianlah kisahnya. Selanjutnya keturunannya, dan kaum kerabat serta sanak keluarga dari Sang Raja Hastiwarman, menyebar ke berbagai negara, masing-masing menurut kemauannya sendiri. Karena mereka semuanya mengharapkan kehidupan dan kemashuran serta keperwiraan seperti wangsa yang berasal dari berbagai negara pada masa lalu.
Demikian pula Sang Wisnugopa raja dari wangsa Pallawa. Sementara itu wangsa Warman selanjutnya banyak yang menjadi raja, yaitu di Nusantara dan banyak pula di lain negara. Pada tahun 270 tarikh Saka (= 348 Masehi), adalah seorang maharesi yang ulung dari Salankayananagari bersama pengikut kelompoknya sebagai hambanya.
Begitu pula balatentara juga ikut bersama penduduk laki-laki (dan) perempuan, banyak yang ikut melarikan diri, mengungsi ke Nusantara sebelah selatan, karena musuh selalu berusaha menangkapnya. Banyak penduduk siang-malam merasa ketakutan hatinya dan tertekan karena takut dijatuhi hukuman mati, atau dianiaya. Karena Sang Gupta raja yang sangat berkuasa dan kejam, serta mahir dalam berperang. Pada suatu ketika adalah seseorang yang karena kesalahan kecil dituduh menjadi seorang perusuh yang ingin menyerang kerajaan, orang tersebut kemudian dijatuhi hukuman mati.
Mula-mula tubuhnya diiris kemudian kepalanya dipukul sampai hancur luluh, dan tubuhnya masing-masing diberikan kepada binatang buas, yaitu harimau, anjing dan singa karena senang diberi makan daging manusia.
Ketika itu penduduk menderita dan tidak berdaya, kecuali (hanya dapat) memohon kepada Hyang Yang Maha Kuasa. Bahkan banyak pula pula bawahan dari penguasa dengan memaksa memperkosa gadis-gadis pribumi yang dikalahkan tanpa diperistri. Mereka yang berkuasa seperti tidak berbudi. Bahkan ada yang berbuat sebagai penyamun.
Selanjunya dikisahkan tentang seorang maharesi yang ulung bersama pengikutnya ke Jawa Barat dengan menaiki beberapa puluh perahu. Ia bersama pengikutnya yang berjumlah beberapa ratus orang. Kedatangannya oleh penduduk pribumi disambut dengan senang. Karena Sang Maharesi adalah seorang dang arycāya dan seorang mahāpurusa, memimpin para pengikutnya dan orang-orang berpangkat serta semua resi. Lagipula sesungguhnya kemasyhuran dan keluhurannya bagaikan raja. Kecuali itu ia sekeluarga dengan Sang Hastiwarman raja Salankayana di Bharatanagari.
Selanjutnya mereka bermukim di Jawa Barat, membuat desa di dekat sungai. Karena ia disetujui oleh para penghulu dari desa-desa di sekitarnya, kemudian ia mendirikan sebuah kerajaan di situ dengan diberi nama Tarumanagara. Desa tersebut menjadi kota besar bernama Jayasinghapura. Selanjutnya dikisahkan tentang Sang Dewawarman delapan, berputra beberapa orang perempuan dan laki-laki. Seorang di antaranya putri, sangat cantik rupanya, bagaikan bulan purnama, yaitu Sang Parameswari Iswari Tunggal prethiwi Warmandewi atau Dewi Minawati namanya yang lain.
Kemudian putrinya itu menjadi istri Sang Maharesi, ialah Sang Jayasinghawarman Ghurudharmapurusa namanya yang lain, dengan nama gelar Rājādhirājaghuru yaitu Raja Tarumanagara dan guru agama. Ada pula seorang putra Sang Dewawarman yang lelaki, yang bermukim di Bakulapura. Di sana beliau terkenal dengan nama Sang Aswawarman, beberapa ia ada di sana, akhirnya Sang Aswawarman beristrikan abak Sang Panghulu penduduk desa di sana, yakdi Sang Khudungga namanya. Anak Sang Dewawarman yang lainnya lagi bermukim di Swarnadwipa, selanjutnya beranak-cucu di sana, dan kemudian menurunka raja-raja Swarnadwipa.
Sanak keluarga Sang Dewawarman ke delapan bermukim di Yawana nagari, ada pula yang bermukim di Hujung Mendini. Anak dari Sang Dewawarman lainnya lagi menjadi putra mahkota.
Setelah Sang Dewawarman wafat, putra mahkota menggantikan ayahnya menjadi raja, tetapi desa wilayahnya ada di bawah perintah kerajaan Tarumanagara, karena Kerajaan Taruma sudah menjadi negara besar, dan makin bertambahlah kewibawaan Kerajan Taruma di bumi Jawa Barat, demikian pula Sang Aswawarmanmenjadi raja yang sangat berwibawa di Bakulapura. Begitu pula seterusnya anak- cucu Sang Dewawarman di kemudian hari menjadi raja yang sangat berwibawa di Swarnabhumi. Mula-mula anak-cucu sang penguasa yang ada di Swarnadwipa, karena cucu Sang Dewawarman beristrikan putri salah seorang panghulu di sana.
Demikian pula kelak di antaranya Sang Adityawarman merupakan keturunan dari Sang Dewawarman VIII, yaitu Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakalabhuwana. Beliau beristri dua orang masing-masing di antaranya, pertama Parameswari Rani Spatikārnawa Warmandewi, dari istri pertama menurunkan raja-raja yang ada di Jawa Barat dan Bakulapura. Istri kedua, Sang Dewi Candralocana namanya, putri dari Sang Brahmana Salankayana di bumi Bharata. Dari istri ini diturunkan beberapa raja yang ada di Swarnadwipa, Sanghyang Hujung, dan Jawa Tengah.
Adapun wangsa Dewawarman memerintah di Kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat, sedangkan ibukotanya bernama Rajatapura di tepi pantai. Kota besar lainnya lagi Agrabhintapura ada di wilayah sebelah selatan.
Juga Sang Dewawarman I, Yaitu Sang Dewawarman Lokapala adalah nenek moyang raja-raja di bumi Jawa Barat.
Istrinya dua orang, masingmasing di antaranya, putri dari Ghaudinagari di bumi Bharata sebelah barat. Istri ini meninggal di negaranya. Di sana ada keturunannya beberapa orang. Sedangkan istrinya yang kedua yakni Sri Pwahaci Larasati namanya, putri dari sang panghulu penduduk Jawa Barat yaitu Sang Aki Tirem. Adapun Sang Aki Tirem itu adalah putra dari Ki Srengga namanya. Ki Srengga putra Nay Sariti Warawiri namanya, Nay Sariti putrid dari Aki Bajul Pakel.
Selanjutnya dikisahkan pula, ketika Sang Dewawarman I menjadi raja, adiknya yang terkenal dengan nama Senapati Bhahadura Hariganajayasakti Dewawarman diangkat menjadi raja penguasa wilayah Hujung Kulwan. Adiknya lagi yang terkenal dengan Nama Sang Swetalimansakti, sebagai pranaraja kemudian dijadikan raja di kota selatan yaitu di Agrabhintapura.
Ketika Sang Dewawarman VIII memerintah di bumi Jawa Barat, ketika itu kehidupan penduduk di situ makmur dan sejahtera. Sanghyang Agama senantiasa dipuja dan dipelihara dengan sangat wajar oleh mereka. Di antara penduduk ada yang memuja Hyang Wisnu, (walaupun) tidak seberapa. Ada yang memuja Hyang Siwa, ada yang memuja Hyang Ghanayana, ada yang memuja Saiwa-Wisnu. Walaupun begitu pemujaan kepada Hyang Ghana golongan pengikutnya banyak.
Adapun mata pencaharian penduduk di antaranya berburu di hutan dan gunung, menyelenggarakan pekerjaan jasa dan berdagang, menangkap ikan di tengah laut dan sepanjang tepi laut, sepanjang tepi sungai, juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan, bertani dan sebagainya lagi. Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa (yang berhiaskan) ardhacandrakapala, dan Ghanayana dewa, juga Hyang Wisnudewa, untuk digunakan oleh mereka semua penganut Waisnawa. Karena semua penduduk sama-sama mengharapkan hidup lanjut dan selamat.
Oleh karena itu mereka melakukan ibadah (serta) memanjatkan doa agar terhindar dari kesulitan, dan malapetaka. Begitu pula semoga tak ada rintangan bagi anak cucu, keturunan, sanakkeluarga, juga suami-istri, para abdi dan semua penduduk. Tundalah kisah ini sebentar. Kemudian akan digantikan lagi kisahnya. Tersebutlah, keadaan di Bharatanagari selalu terjadi huruhara, karena di antara raja dan raja saling menyerang (dan) saling menghancurkan negara yang kalah. Terdengar kabar ada beberapa wilayah berperang saling membunuh. Yang tewas dalam peperangan itu jumlahnya tak terbilang, penduduk yang tidak tunduk dibinasakannya.
Musuh dari lain negara selalu datang kemudian pergi menuju negara yang (ingin) didatangi. Berbagai perbuatan di luar kebajikan menjadi perbuatan yang tidak buruk, tak ada tempat berlindung bagi yang hidup. Banyaklah orang yang mati diantung, rasa belas-kasihan tidak ada lagi. Inilah yang menyebabkan ribuan penduduk mengungsi terlunta-lunta, ada yang ke timur, ke barat, ke selatan, dan ke utara mencari perlindungan. Karena takut penyiksaan dan penganiayaan oleh musuh yang tidak berperikemanusiaan.
Oleh karena itu Sang Maharesi yang sempurna Jayasinghawarman dan semua pengiringnya tiba di Pulau Jawa, dan bermukim di Jawa Barat. Di sini Sang Maharesi mendirikan desa di dekat Sungai Taruma. Adapun wilayah desa (tersebut) ada di bawah kekuasaan Sang Prabhu Dewawarman VIII.
Kemudian Sang Maharesi menjadi menantu dari sang penguasa. Beberapa waktu kemudian kira-kira sepuluh tahun, desa tersebut menjadi bertambah besar, karena banyak penduduk dari beberapa desa datang dan menetap di situ. Tidak berapa lama lagi desa tersebut diberi nama Tarumadesa. Di sana sekarang Sang Maharesi yaitu Sang Jayasinghawarman senantiasa membuat negaranya menjadi sebuah kerajaan. Kemudian terkenal dengan nama Tarumanagara. Ketika Sang Maharesi menjadi Rājādhirājaghuru memerintah di kerajaan tersebut, ia terkenal dengan nama Sang Jayasinghawarman Ghurudharmapurusa, Sang Mahārsi Rājādirājaghuuru Raja Tarumanagara. Menjadi raja lamanya 24 20 tahun, dari tahun 280 tarikh Saka (= 358 Masehi) sampai tahun 304 tarikh Saka (= 382 Masehi). (91) Ia mangkat pada usia 60 tahun. Sang Rājā dhirāja ghuru disebut pula Sang Lumah ri Ghomati.
Selanjutnya digantikan oleh anaknya yaitu yang terkenal dengan nama Rājarsi Dharmayawarmanghuru. Demikianlah ia dinobatkan. Kecuali ia memegang kekuasaan keprabuan Tarumanagara, ia juga menjadi kepala seluruh dang ācarymulaāgama di sana. Namun demikian penduduk yang ada di desa-desa bumi Kerajaan Taruma banyak yang menganut pemujaan nenek moyang, yaitu pemujaan untuk memanggil (arwah) nenek moyang. Karena hal itu sesuai dengan adat kebiasaan dari nenek moyang mereka. Sang Rājarsi senantiasa berusaha mengajarkan agamanya kepada kepala-kepala desa dan penduduk bumi Tarumanagara. Oleh karena itu Sang Rājarsi mendatangkan brahmana-brahmana dari Bharatanagari. Meskipun demikian belum semuanya penduduk memeluk agamanya, karena itu di situ sejak saat itu penduduk pribumi terbagi menjadi empat kasta, yaitu mula pertama golongan bhrahmana, kedua golongan ksatrya, ketiga golongan waisya, dan keempat golongan sudra. Demikianlah penduduk dibeda-bedakan antara golongan rendah, menengah, dan tinggi. Itulah sebabnya penduduk golongan rendah sangat ketakutan terhadap agama (yang diajarkan) Rājarsi. Ia menjadi Raja Tarumanagara hanya tiga belas tahun, yaitu mulai dari tahun 304 tarikh Saka (= 382 Masehi), sampai dengan tahun 317 tarikh Saka (= 395 Masehi). Beliau disebut juga Sang Lumah ri Candrabhāgā, oleh karena candinya ada di tepi Sungai Candrabhaga.
Demikian pula ayahnya, candinya di tepi Sungai Ghomati. Setelah itu Rājarsi digantikan oleh putranya yaitu Sang Purnawarman namanya. Beliau menjadi raja mulai dari (tanggal) 13 paruh-terang, bulan Caitra (tahun) 317 tarikh Saka (= 395 Masehi), sampai dengan (tahun) 356 tarikh Saka 20 (= 434 Masehi). Selama ia memerintah Kerajaan Tarumanagara, ia sudah memerangi raja-raja sekitarnya di bumi JawBarat yang belum tunduk, semua musuh dikalahkan, mereka yang tidak mau tunduk kemudian dibinasakan atau raja yang dikalahkan (itu) dijadikan budak yang hina. Sang Purnawarman senantiasa menang pada waktu perang. Semua desa-desa yang ada di Jawa Barat dikuasai olehnya. Beliau adalah seorang perwira, mahir dalam berbagai ilmu dan mahir dalam berperang, merupakan seorang raja yang gagah berani dan dahsyat.
Oleh musuhnya ia disebut Harimau dari Tarumanagara. Karena itu sudah sepantasnya ia menjadi raja yang sangat berkuasa di bumi Jawa Barat. Sri Mahāraja Purnawarman adalah raja agung, bagaikan matahari yang memancarkan sinarnya. Dan Kerajaan Tarumanagara dengan demikian adalah kerajaan sangat berkuasa di bumi Pulau Jawa. Tiap-tiap tahun raja taklukan harus seba ke Trumanagara, masing-masing datang ke ibukota dengan membawa pengiringnya dengan senjata lengkap, adapun semua raja yang kalah masing-masing memberikan Mereka semua berkumpul dengan khidmat dan menyembah pada kaki Sang Mahārāja Purnawarman yang duduk di atas singgasana emas.
Oleh karena itu semua raja yang ada di bawah kekuasaan Sang Purnawarman sudah duduk berada di paseban, demikian pula semua pembesar kerajaan, pranaraja, sang tanda, sang juru, panglima perang, panglima angkatan laut, para pemimpin wilayah, para kepala desa, para adhyaksa, sang brahmana dan resi, semua pendeta, sang dharmmadhyaksa urusan kewaisnawaan, sang dharmmadhyaksa urusan kesaiwaan, sang dharmmadhyaksa urusan agama Buddha, kemudian para istri raja, sang mahakawi dan banyak yang lainnya lagi, yakni sanak keluarga, suami-kawan dan sanak, juga duta-duta dari Negara yang bersahabat dengan kerajaan Tarumanagara. Semua mereka sudah duduk berjajar, istri raja bersama ibu Sang Purnawarman sudah ada di sana. Tampaklah bala tentara menjaga pintu berderet berdiri membawa berbagai senjata.
Pintu dalam dijaga pasukan dua orang. Semua pintu dijaga kuat oleh balatentara. Adipati-adipati dan para bupati pemimpin mandala juga sudah ada di paseban. Di sana tampak jelas Sang Mahārāja Purnawarman bersama sang istri raja, atau permaisuri duduk di atas singghasana. Adapun Sang Mahārāja Tarumanagara dan sang permaisuri, adalah bagaikan Bhātara Wisnu dan Dewi Laksmi. Mereka merupakan lambing kemenangan Purnawarman di seluruh bumi Jawa Barat sebagai mahārāja penguasa Tarumanagara.
Tampaklah Sang Purnawarman tubuhnya memancarkan sinar yang sangat semarak, karena disinari oleh pakaiannya (yang dihiasi) manik, emas dan permata. Bagaikan Bhātara Wisnu yang turun dari swargaloka, dan sebagai penjelmaannya di bumi ialah Sang Punawarman raja yang sangat bekuasa (dan) gagah perkasa, dan disertai kemahiran berperang dan mengalahkan semua musuh-musuhnya. Oleh karena itu sesudahnya raja yang dikalahkan dan tunduk, diperintahkan untuk memberikan persembahan kepada Sang Mahārāja. Karena itu di kerajaan diadakan pesta perjamuan.
Semua mereka dijamu dengan berbagai makanan yang lezat. Tampaklah di sana berbagai makanan berupa penganan, madu, dan minuman yang lezat dinikmati oleh mereka. Dalam pesta perjamuan itu tampak sangat meriah. Sebabnya dalam pesta tersebut ada suara gending dan beberapa orang penari cantik, dan juga dayang-dayang dari kerajaan yang sangat mempesona semua laki-laki, dan (menimbulkan) birahi. Sejumlah pejabat Tarumanagara semuanya ada di situ. Tampak senang sekali hati mereka sang mahāmantri, panglima angkatan laut, panglima perang yaitu hulubalang, pemimpin mandala dan bupati, sejumlah menteri muda, pendeta istana dan brahmana, serta banyak pemimpin dari desa-desa sekitarnya, banyak sanak keluarga Sang Mahārāja, juga ksatria negara dan banyak lagi, sama-sama senang hati mereka. Begitulah (keadaan) di paseban raja-raja yang dikuasai oelh Sang Purnawar man. Raja-raja tersebut lengkap dengan pengiringnya.
Ada pula raja dengan permaisurinya lengkap dengan para abdi dan juru tulisnya. Kedatangan raja-raja itu ad yang menunggang gajah, ada yang menunggang kuda, ada yang menaiki kereta, ada yang menaiki perahu, dan ada juga yang berjalan kaki. Adapun semua raja yang menghadap kepada Sang Purnawarman datang di ibukota Tarumanagara dengan memberikan persembahan setiap tahun, pada tanggal 11 paruh-terang, bulan Caitra. Selanjutnya pada tanggal 13 sampai 15 paruh-terang bulan Caitra, mereka semua berkumpul bermusyawarah dan mengadakan pesta bergembira.
Sang Purnawarman pada saat berikutnya setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya, kemudian ibukota Tarumanagara dipindahkan ke sebelah luar. Di situ Sang Purnawarman membuat sanghyang prasasti raja pada batu (yang) ditulis olehnya, semuanya tiga buah sebagai tanda kemashuran dan kekuasaan ditandai dengan sanghyang telapak kaki. Dan ia bersemayam di istana baru bersama sang permaisuri serta semua pengiringnya. Pada waktu itu pun Sang Rājarsi yaitu ayah Sang Purnawarman belum meninggal.
Walaupun demikian takhta kerajaan sudah dikuasakan kepada Sang Purnawarman (dan) kemudian (ia) menjadi Raja Tarumanagara. Sebabnya karena ia masuk (ke) pertapaan karean ia sudah dipenuhi oleh hakekat kekosongan jiwa. Dua tahun kemudian Rājarsi mangkat. Sesudah itu anak Sang Rājarsi yaitu Sang Purnawarman kemudian membuat peringatan pada tugu batu, dan dibangunlah persemayaman Rāja-rsi atau Yang Bersemayam di Candrabhagā menurut wujudnya. Demikian pula di tepi Sungai Ghomati, sebagai tugu peringatan bagi Sang Mahāpurusa Rājādhirājaghuru, atau yang bersemayam di tepi sungai tersebut.
Tampaklah sangat indahnya rupa Sang Brāhmana ahli mantra dari kejauhan, tampaklah seperti keindahan persemayaman. Sang Raja Tarumanagara mengadakan pula kurban, mengadakan pemujaan asthāpana di tepi sungai Candrabhagā dan diikuti seluruh pendeta istana, para pembesar, pemimpin mandala, raja tetangga, semua panglima balatentara, ada di sana, kaum keluarga dengan para pengiringnya, dan banyak lagi penduduk dating ke tempat itu. Mereka semua mengadakan penghormatan atas kemashuran dan kebesaran Sang Rājarsi, brahmana ahli mantra yang sudah mangkat. Juga (untuk) kakek Sang Rājādirājaghuru sebagai nenek moyang raja-raja Tarumanagara. Sebagaimana nenek moyangnya dahulu di bumi tempat asalnya yaitu Bhāratanagari. Ada Sang Permaisuri Purnawarman, ada putri raja di bawahnya. Adapun permaisuri raja, ia adalah istri yang sempurna kecantikannya bagaikan bulan purnama, indah tanggal 14 paruh-terang. Sedangkan istrinya yang lain, yaitu dari Swarnabhumi, putri dari raja di sana. Selanjutnya ada pula istrinya dari Bakulapura, dan istrinya yang lain lagi dari Jawa Timur. Di antara istri-istri Sang Mahārāja terdapat putri raja.
Lagi pula ada beberapa orang Istrinya yang tidak berputra. Dari permaisuri lahirlah beberapa anak laki-laki dan perempuan. Sampailah saatnya putra raja yang kemudian dipilih oleh ayahnya menjadi putra mahkota, yang terkenal namanya Sang Wisnuwarman Raja Muda Tarumanagara. Besar sekali kasih-sayang Sri Mahārāja Purnawarman kepada putranya Sang Wisnuwarman.
Adiknya seorang perempuan (yang) sangat sempurnakecantikannya, menjadi istri Sang Raja Swarnabhumi. Kelak Sri Jaya Nasa raja besar di swarnabhumi termasuk keturunannya. Di antara semua anggota wangsa Warman di Pulau Jawa, Sang Purnawarmanadalah pemimpin di antara wangsa. Beliau adalah raja yang sangat berkuasa. Sedangkan raja-raja di Pulau Bali juga terhitung keturunan dari Sang Purnawarman, begitu pula wangsa Warman yang tersebar di bumi Nusāntara. Sang Purnawarman adalah manusia utama, oleh karenanya kemashuran dan kekuasaannya membuat Tarumanagara menjadi kerajaan besra, sentosa, penduduknya sejahtera jiwanya. (Beliau) membuat semua karya-karya besar yang ada di beberapa tempat di Jawa Barat yang suburtanahnya. Karena itu kebesarannya tertulis pada beberapa prasasti sebagai tanda peringatan terhadap kemashuran dan kebesarannya. Dengan beberapa negara ia bersahabat, di antaranya kerajaan Cina sudah menjadi sahabat sederajat.
Begitu pula dengan beberapa kerajaan yang ada di Bhāratawarsa, Yawana, Bakulapura, Syangka, Saimwang, Singhala, Ghaudi, beberapa kerajaan yang ada di bumi Sophala, Pilistin, Sibti, Arab, Abasied, kerajaan- Kerajaan (di) Jawa Tengah, Jawa Timur, Negeri Barusa, beberapa kerajaan di bumi Swarnadwipa, Hujung Mendini, Hujung Masarik, Campa, Dharmanagari, kerajaan di Pulau Bali, kerajaan di Ghurun, Tanjungnagara, Nasor, kerajaan Cambay di bumi Langkasuka, Bharatanagari, kerajaan-kerajaan di Hujung Ngarabi, Mahasin, Singhanagari, dan banyak lagi. Yang bersahabat dengan Kerajaan Taruma, mereka sederajat.
Masing-masing ada dutanya di sini, dan duta Kerajaan Taruma ada di sana. Sang Mahāraja Purnawarman pemuja Dewa Wisnu, juga ada pemuja Dewa Sangkara, pemuja Brahma danada juga pemuja Buddha (tetapi) tidak seberapa. Sedangkan penduduk pribumi Banyaklah yang memuja nenek moyang seperti yang telah berlaku sejak nenek moyangnya dan adat kebiasaan dari negara lain.
Itulah Bumi Tarumanagara yang terkenal subur tanahnya, di Pulau Jawa, dan kehidupan masyarakatnya sangat makmur. Demikianlah persembahan dari masyarakat golongan rendah, menengah, dan atas, suami-istri semuanya. Banyak penduduk senang hidup di sini.
Begitu pula yang baru dating dari pulau-pulau seluruh Nusantara dan negara seberang yang lain. Tiga tahun setelah ia menjadi raja, Sang Purnawarman membuat pelabuhan untuk tempat berlabuh perahu. Pelabuhan tersebut ada di tepi laut.
Setiap hari selalu banyak perahu datang, beberapa buah dari beberapa negara. Pelbuhan perahu telah dikerjakannya sebagai persembahan, pada tangga l7 patuh-terang bulan Margasira sampai tanggal 17 paruh-gelap bulan posya.
Adalah adik Sang Purnawarman yaitu yang terkenal dengan nama Sang Cakrawarman, menjadipanglima perang. Sedangkan saudaranya yaitu adik dari ayahnya yang terkenal dengan nama Sang Nagawarman menjadi panglina angkatan laut. Ia selalu pergi ke seberang sebagai duta dari Sang Purnawarman Mahārāja Tarumanagara. Dengan tujuannya membuat persahabatan. Ia sudah pergi mengunjungi Sanghyang hujung, sudah ke Syangkanagari, ia sudah ke Yawananagari, ia sudah ke Cambay di Bharatanagari, ia sudah pergi ke Sophalanagari, ia sudah pergi ke Bakulapura, Negeri Cina, sudah ke Swarnabhumi, dan banyak lagi pulau-pulau yang lain. Adapun ia adalah orang yang terkemuka di Kerajaan Taruma.
Sang Nagawarman mahir dalam berperang, sudah besar jasa dan kepahlawanannya terhadap negara. Sang Nagawarman dan beberapa orang tanda dan pembesar kerajaan, adhyaksa, sebagai duta Tarumanagara, pergi ke Negeri Cina dengan membawa barang hasil bumi.
Selanjunya barang kerajinan buatanpenduduk, rempah-rempah dan barang hasil perburuan dan lainnya lagi. Semuanya diberikan kepada Mahārāja Cina. Adapun Kerajaan Cina bersahabat dengan kerajaaan Tarumanagara. Selanjutnya Sang Mahārāja Cina memberikan kepada duta Tarumanagara di antaranya ialah pakaian kemudian berbagai perhiasan, emas, perak, manik-manik dan berbagai barang lainnya lagi. Begitu pula saling surat menyurat.
Ketika itu tanggal 12 paruh-terang bulan Jyesta, (tahun) 357 10 tarikh Saka (= 435 Masehi). Setahun kemudian pergilah sang duta Tarumanagara ke Sanghyang Hujung, lima bulan ke- Mudian pergilah sang duta 15 Tarumanagara ke beberapa kerajaan yang ada di Swarnabhumi. Ada dua kerajaan yaitu Tarumanagara dan Bakulapura, akrab serta bersaudara, senantiasa berbimbingan tangan. Mereka masing-masing bersahabat dengan kerajaan Cina, dan mereka masing-masing menyuruh duta mereka mengadakan persahabatan dengan Kerajaan Cina. Karena itu sang duta Kerajaan Cina pergi ke Tarumanagara dan Bakulanagari, dan selanjutnya bermukim di sini. Seperti telah terjadi, oleh karena itu banyaklah kerajaan di pulau-pulau di bumi Dwipāntara atau Nusāntara namanya yang lain saling bersahabat di antara kerajaan-kerajaan yaitu raja-raja tetangganya.
Keadaan mereka bermacam-macam, ada yang sama kedudukannya, ada yang kecil kerajaannya, ada yang besar kekuasaannya, ada yang saling bertentangan di antara mereka. Dengan demikian ramailah perahu di lautan pulau-pulau dari beberapa negara, dan tujuan mereka ialah pekerjaan jasa dan perdagangan berbagai pakaian. Di antara raja yang ada di Nusāntara dengan demikian Sang Purnawarman adalah Raja Tarumanagara yang sangat besar kekuasaannya.
Tidak ada satu pun senjata yang dapat membinasakan badan Sang Purnawarman, karena Sang Purnawarman selalu memakai baju zirah, pakaian dari besi seluruh badannya, dari kepala sampai ke kakinya. Dengan menunggang gajah, yakni Sang Erawata namanya. Demikianlah jikahendak maju ke medan perang. Karena itu ia disebut Manusia Sakti.
Sejak dahulu sampai pada saat berdirinya Tarumanagara, sedikit sekali kerajaan yang ada di bumi Jawa Barat. Beberapa lama menjadi negara besar. Lebih dari 12 mandalaraja kemudian dikunjungi kepada kerajaan Tarumanagara. Semua musuhnya dikuasai oleh Sang Purnawarman yang terkenal keberaniannya.
Siapa yang menantang, seketika itu juga dikalahkan. Sang Purnawarman adalah manusia luar biasa. Beliau merupakan orang yang berjasa pada negaranya. Adapun Sang Purnawarman berkedudukan di istana, di ibukota Sundapura yang ada di tepi Sungai Ghomati.Di sana tampak melambai-lambai di atas istana panji-panji tanda kerajaan Tarumanagara, yakni panji-panji berupa bunga teratai merah di atas kepala gajah Erawata. Lambang raja berupa daun mahkota dari emas dengan gambar lebah. Sedangkan panji-panji bergambar naga merupakan panji-panji tanda pasukan angkatan laut kerajaan Tarumanagara, tampak melambai-lambai di atas perahu perang ada di tepi laut.
Di sana tampaklah semua perahu sedang berjajar berlabuh. Sedangkan panjipanji lainnya lagi adalah, panji-panji bergambar singa, juga panji-panji bergambar harimau, kemudian panji-panji bergambar kuda, panji-panji bergambar anjing, panji-panji bergambar ular, panji-panji bergambar kucing, panji-panji bergambar garuda, panji-panji bergambar beruang, panji-panji bergambar kerbau, panji-panji bergambar ikan, panji-panji bergambar lembu, panji-panji bergambar rusa, panji-panji bergambar sapi, panji-panji bergambar angsa, panji-panji bergambar kera, dan banyak lainnya lagi. Semuanya itu panji-panji dari wilayah-wilayah kecil dan besar yang mengabdi kepada Tarumanagara.
Adalah Kerajaan Indraprahasta yaitu kerajaan di sebelah timur, panji-panjinya bergambar singa. Di Kerajaaan Indraprahasta terdapat Sungai Ghangga namanya, muaranya bernama Subanadi. Adapun panji-panji dari bala tentara Tarumanagara masing-masing bergambar berbagai senjata. Selama ia memerintah Tarumanagara, Sang Purnawarman sudah melaksanakan karya besar yaitu, memperkokoh pinggiran sungai, memperlebar sungai, dan memperdalam beberapa sungai di bumi Jawa Barat yang termasuk ke dalam (wilayah) Tarumanagara. Itulah pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat dari desa-desa di Tarumanagara, sebagai karya bakti mereka terhadap rajanya. Beberapa tahun (lamanya) penduduk berduyun-duyun pergi ke sungai, ada yang muda ada yang, suami-istri ikutsemua, dari penduduk (golongan) rendah, menengah, dan tinggi, juga balatentara.
Yang dikerjakan di antaranya ialah Sungai Ghangga, karena sungai tersebut dijadikan petirtaan bagi agama mereka, semua penduduk di wilayah Jawa Barat, setiap tahun. Banyaklah Orang yang mandi di Sungai Ghangga untuk menghilangkan dosa seluruh perbuatannya selama hidup. Hal ini seperti di Bharatanagari, yaitu mengikuti adat kebiasaan di negeri asal Sang Mahārāja Purnawarman. Adapun pekerjaan memperteguh dan memperindah sepanjang pinggir sungai, (ialah) pada tanggal 12 paruh-gelap bulan Margasira sampai 20 tanggal 15 paruh-terang bulan Posya, tahun 332 tarikh Saka (= 410 Masehi).
Kemudian Sang Purnawarman mengadakan upacara pemberian hadiah untuk para brahmana dan semua orang suci. Adapun persembahan hadiah dari sang Mahārāja, perinciannya adalah sapi lima ratus ekor, pakaian, kuda dua puluh (ekor), gajah seekor, diberikan kepada mandala raja di sini, dan bermacam-macam makanan lezat.
Pekerjaan itu dilakukan oleh beberapa ribu penduduk laki-laki dan perempuan dari seluruh desa. Mereka yang telah menyelesaikan pekerjaan, semuanya diberi hadiah. Alangkah senang hatinya. Selanjutnya dua tahun kemudian (beliau) membuat pekerjaan memperkokoh dan memperindah tepian Sungai Cupu, sungai di Cupunagara, dengan airnya (yang) mengalir sampai di keraton kerajaan. Pekerjaan ini diseleseaikan pada tanggal 4 paruh-terang bulan Srawana, sampai tanggal 13 paruh-gelap 5 bulan Srawana, tahun 334 tarikh Saka (= 412 Masehi).
Kemudian Sang Purnawarman membuat upacara pemberian hadiah untuk para brahmana dan semua 10 orang suci di situ, dengan menghadiahkan sapi 400 (ekor), pakaian dan bermacam-macam makanan lezat. Semua penduduk laki-laki perempuan, tua dan muda bersuka cita berkumpul dari 15 tepat lain. Yang sudah menyelesaikan pekerjaan juga diberi anugrah oleh sang mahārāja. Di tepi Sungai Ghangga di wilayah Indraprahasta dan di tepi Sungai Cupu di wilayah Cupunagara, Sang Mahārāja Purnawarman membangun prasasti, tulisan pada batu sebagai tanda telah selesainya pekerjaan dan semua nazar mengenai kebajikan Sang Purnawarman yang sifatnya seperti Bhatara Wisnu, yang membinasakan segala nafsu di dunia dan akhir kemudian.
Prasasti ini diberi tanda telapak kakinya. Karena itu para petani senanglah hatinya, demikian pula orang yang berjual-beli dan yang menaiki perahu dari muara di desa-desa yang ada di sepanjang tepi sungai. Demikian pula pada tanggal 1 paruh-gelap bulan Kartika sampai tanggal 14 paruh-terang bulan Margasira, 20 tahun 335 tarikh Saka (= 413 Masehi) yaitu memperindah dan memperteguh sepanjang tepian Sungai Sārasah atau Sungai Manukrawa namanya lagi. Ketika itu Sang Mahārāja sedang sakit, oleh karena itu Sang Purnawarman mengutus sang mahamantri dan beberapa orang pembesar kerajaan, panglima angkatan laut, sang tanda, sang juru, sang adhyaksa dan lengkap dengan semua pengiringnya, menaiki perahu besar, karena mereka mewakili sang maharaja membuat upacara kurban untuk orang suci.
Adapun yang dianugrahkan perinciannya adalah: sapi empat ratus (ekor), kerbau delapan puluh (ekor), pakaian brahmana, panji-panji Tarumanagara satu buah, kudasepuluh (ekor), kemudian sebuah patung Hyang Wisnu, barang-barang dan makanan yang lezat. Semua penduduk yang ikut menyelesaikan pekerjaan mendapat anugrah pula. Mereka, para petani senanglah hatinya, banyak tegalan milik mereka (menjadi) subur, sebab tanah ladang terairi dari sungai itu. Karena itu tatkala musim kering tak kekeringan.
Sejak itu jika ada penyamun dan perampok yang tertangkap, mereka dihukum mati. Banyak penduduk yang senang hidupnya, begitu pula banyak yang dalam keadaan susah. Sementara itu ada empat kasta. Di antara penduduk seluruh bumi Jawa Barat, banyaklah penduduk yang menganut pemujaan Bhatara Wisnu, pemujaan Bhatara Sangkhara, dan pemujaan nenekmoyang sebagai adat mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka. Para brahmana dan orang suci senantiasa memberkahi sang mahārāja dan istri-istri raja, begitu pula keluarganya. Sedangkan pemujaan terhadap Buddha tidak banyak, tetapi di Swarnabhumi penduduk banyak yang memeluk agama itu. Sudah menjadi kebiasaan di Tarumanagara pada waktu itu.
Apabila sudah terlaksana salah satu di antara pekerjaan besar, para brahmana semuanya menerima anugrah dan sang brahmana memberikan berkah kepada sang mahārāja yang berada di istana, dengan tujuan agar terhindar dari perbuatan tenung dan supaya penduduk menjadi makmur. Setelah itu Sang Purnawarman menyempurnakan dan memperindah serta memperkokoh tepian Sungai Ghomati dan Sungai Candrabhāgā.
Adapun Sungai Candrabhāgā ini beberapa puluhtahun sebelumnya, oleh Sang Rājādhirājaghuru yaitu kakek Sang Purnawarman sudah dikerjakan dengan sempurna, indah, dan kokoh sepanjang tepi sungainya. Sedangkan Sang Purnawarman mengerjakan pekerjaan ini untuk kedua kalinya. 20 Sekarang Sungai Ghomati dan Sungai Candrabhāgā mulai dikerjakan pada tanggal 8 paruh-gelap bulan Phalguna, sampai selesainya pekerjaan itu pada tanggal 13 paruh-terang bulan Caitra, tahun 339 tarikh Saka (= 417 Masehi). Adapun pekerjaan di Sungai Ghomati dikerjakan oleh beberapa ribu penduduk laki-laki dan perempuan dari seluruh desa. Semuanya masing-masing membawa senjata, cangkul, beliung, sabit dan lainnya lagi. Karena mereka bekerja bakti untuk sang mahārāja.
Tampaklah mereka, siang dan malam mereka bekerja berderet di kedua belah tepi sungai, bertahan tidak berhenti, supaya tidak ada halangan. Selanjutnya Sang Purnawarman mengadakan upacara peresmian dan upacara pemberian hadiah untuk brahmana-brahmana, perinciannya sebagai berikut: sapi 1000 ekor, pakaian dan berbagai makanan lezat. Sedangkan pada pemimpin wilayah ada yang di anugrahi kerbau, ada yang dinugrahi perhiasan emas, perak, ada yang dianugrahi kuda, dan lainnya lagi. Kemudian sang brahmana memberikan berkah kepada Sang Purnawarman.
Di sana sang mahārāja membuat prasasti tertulis pada batu. Demikian pula di desa lain, Sang Purnawarman selalu membuat prasasti dengan tulisan pada batu, kemudian patung dirinya sendiri, tapak kakinya, tapak kaki (binatang) tunggangannya, yaitu gajah Sang Erawata. Demikianlah, selanjutnya ada yang bertanda gambar lebah, ada sanghyang tapak kaki, ada bunga teratai merah, gambar harimau dan banyak lagi serta diberi tulisan pada batu tersebut. Begitu pula kepada mereka yang telah melaksanakan pekerjaan untuk para leluhur dianugrahi panji-panji Tarumanagara. Jasa dan keperwiraan sang mahārāja dan yang lainnya lagi itu semuanya ditulis pada prasasti batu yang ada di sepanjang tepi sungai di beberapa desa. Adalah adik Sang Purnawarman perempuan yaitu, Harinawar mandewi namanya, menjadi istri orang kaya raya dari Bharatanagari. Ia memiliki beberapa puluh perahu besar. sedangkan adiknya laki-laki beberapa orang, masing-masing ada yang menjadi duta di Negeri Cina, dan bermukim di sana, dan kemudian menjadi duta di Swarnabhumi, Syangkanagari.
Adiknya yang lain-lainnya lagi ada yang menjadi panglima angkatan laut, ada yang menjadi sang adhyaksa. Adapun putranya yang tertua menjadi putra mahkota, yaitu raja muda bernama Sang Wisnuwarman. Selanjutnya pada tanggal 3 paruh-gelap bulan Jyesta sampai tanggal 12 paruh-terang bulan Asadha tahun 341 tarikh Saka (= 419 Masehi) Sang Purnawarman membangun dan memperbaiki serta memperkokoh sepanjang tepian sungai, agar menjadi indah. Begitu pula memperdalam sungai, Sungai Taruma namanya.
Alangkah besarnya sungai di Kerajaan Taruma di bumi Jawa Barat. Setelah selesai pekerjaan itu Sang Purnawarman mengadakanupacara peresmian dan upacara pemberian hadiah untuk brahmana-brahmana, yaitu 800 (ekor) sapi, pakaian, bahkan berbagai makanan, lezat, 20 ekor kerbau dan lainnya lagi. Kemudian semua brahmana memberikan berkah untuk mahārāja Tarumanagara.
Pada waktu dulu ketika permulaan Taruma menjadi negara, Sang Mahārsi menjadi Rājādhirājaghurumemerintah Kerajaan Taruma, sampai Rājārsi Darmayawarmanghuru, kebesaran kerajaan tersebut belum seberapa. Tetapi setelah Sang Purnawarman menjadi Raja Tarumanagara, pasukan tentaranya menjadi besar dan lengkap persenjataannya, juga pasukan angkatan lautnya menjadi besar dan kuat. Oleh karena itu balatentara Tarumanagara selalu memperoleh kemenangan dalam berperang lebih dari tujuh kali, menyebabkan kerajaan-kerajaan seluruh (di) Jawa Barat mengabdi kepada Sang Purnawarman Mahārāja Tarumanagara, Adapun Sang Purnawarman itu ke luar dari ibukota Jayasinghapura dari keraton Kerajaan Taruma, pada tanggal 8 paruh-gelap bulan Phalguna, (128) tahun 294 tarikh Saka (= 372 Masehi).
Selanjutnya menjadi raja pada tanggal 13 paruh-terang bulan Caitra, tahun 317 tarikh 5 Saka (= 395 Masehi), pada usia 23 tahun. Dan mangkat pada tanggal 5 paruh-terang bulan Posya, tahun 356 tarikh 10 Saka (= 434 Masehi), pada usia 62 tahun. Ia disebut juga Yang Bersemayam di Sungai Taruma. Pada waktu permulaan menjadi Raja Tarumanagara, kemudian kerajaannya menjadi kerajaan besar di bumi Jawa Barat. Kemudian Sang Purnawarman dinobatkan menjadi mahārāja dengan nama gelar Sri Mahārāja Purnawarman sang Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagtapati.
Adiknya yang lain-lainnya lagi ada yang menjadi panglima angkatan laut, ada yang menjadi sang adhyaksa. Adapun putranya yang tertua menjadi putra mahkota, yaitu raja muda bernama Sang Wisnuwarman. Selanjutnya pada tanggal 3 paruh-gelap bulan Jyesta sampai tanggal 12 paruh-terang bulan Asadha tahun 341 tarikh Saka (= 419 Masehi) Sang Purnawarman membangun dan memperbaiki serta memperkokoh sepanjang tepian sungai, agar menjadi indah. Begitu pula memperdalam sungai, Sungai Taruma namanya.
Alangkah besarnya sungai di Kerajaan Taruma di bumi Jawa Barat. Setelah selesai pekerjaan itu Sang Purnawarman mengadakanupacara peresmian dan upacara pemberian hadiah untuk brahmana-brahmana, yaitu 800 (ekor) sapi, pakaian, bahkan berbagai makanan, lezat, 20 ekor kerbau dan lainnya lagi. Kemudian semua brahmana memberikan berkah untuk mahārāja Tarumanagara.
Pada waktu dulu ketika permulaan Taruma menjadi negara, Sang Mahārsi menjadi Rājādhirājaghurumemerintah Kerajaan Taruma, sampai Rājārsi Darmayawarmanghuru, kebesaran kerajaan tersebut belum seberapa. Tetapi setelah Sang Purnawarman menjadi Raja Tarumanagara, pasukan tentaranya menjadi besar dan lengkap persenjataannya, juga pasukan angkatan lautnya menjadi besar dan kuat. Oleh karena itu balatentara Tarumanagara selalu memperoleh kemenangan dalam berperang lebih dari tujuh kali, menyebabkan kerajaan-kerajaan seluruh (di) Jawa Barat mengabdi kepada Sang Purnawarman Mahārāja Tarumanagara, Adapun Sang Purnawarman itu ke luar dari ibukota Jayasinghapura dari keraton Kerajaan Taruma, pada tanggal 8 paruh-gelap bulan Phalguna, (128) tahun 294 tarikh Saka (= 372 Masehi).
Selanjutnya menjadi raja pada tanggal 13 paruh-terang bulan Caitra, tahun 317 tarikh 5 Saka (= 395 Masehi), pada usia 23 tahun. Dan mangkat pada tanggal 5 paruh-terang bulan Posya, tahun 356 tarikh 10 Saka (= 434 Masehi), pada usia 62 tahun. Ia disebut juga Yang Bersemayam di Sungai Taruma. Pada waktu permulaan menjadi Raja Tarumanagara, kemudian kerajaannya menjadi kerajaan besar di bumi Jawa Barat. Kemudian Sang Purnawarman dinobatkan menjadi mahārāja dengan nama gelar Sri Mahārāja Purnawarman sang Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagtapati.
Sejak itu Sri Mahāhāraja (duduk di atas) singgasana (bertatahkan) permata dan intan serta payungnya gemerlapan, bagaikan Bhatara Wisnu menjelma di bumi Jawa Barat dan memberi berkah pada permukaan bumi dan semua mahluk. Begitu pula ia tampak seperti Bhatara Indra, seperti akan menyerang musuhnya. Demikianlah beliau dianggap Sang Purandara dan Purusa yang sakti.
Ketika berperang melawan sang perompak di tengah lautan, pasukan angkatan laut Tarumanagara dipimpin oleh Raja Purnawarman. Ketika perang di laut Hujung Kulwan semua perompak mati tidak tersisa, karena Sang Purnawarman sangat murka kepada sang perompak yang sudah membunuh.
Pembesar Tarumanagara bersama pengiringnya, tujuh orang tentara Tarumanagara yang ditawan oleh perompak. Sedangkan seluruh perompak itu jumlahnya 80 orang, berada dalam dua buah perahu. Di tengah laut gegap-gempitalah perang itu. Ketika itu beberapa puluh perahu perang Tarumanaga mengelilingi perahu sang perompak. Laut penuh dengan perahu besar Tarumanagara.
Banyaklah sang perompak yang mati, kemudian ditawan lima puluh dua orang. Selanjutnya satu-persatu sang perompak itu dipotong, dibunuh dan bangkainya di buang ke laut. Semua tewas tak tersisa, oleh karena itu air laut akhirnya menjadi lautan darah.
Tiada ampun bagi sang perompak, Sang Maharaja tidak menaruh belaskasihan kepada sang perompak, karena perbuatannya seperti binatang buas. Ketika itu tanggal 3 paruh-gelap bulan Magha, 321 tarikh Saka (= 399 Masehi). Sejak itu sampai tahun 325 tarikh Saka (= 403 Masehi) Sang Purnawarman memerangi semua sang perompak. Terceritakan lagi kisahnya. Sudah lama laut yang ada di sekeliling Pulau Jawa bagian utara, bagian barat dan timur dikuasai oleh sang perompak, jumlahnya tak terhitung dan tersebar di laut. Semua perahu diganggu, dan semua barang yang ada di dalam perahu dirampas oleh sang perompak yang bengis.
Kemudian mereka suka membunuh, banyak perahu yang dihancurkan oleh sang perompak di tengah laut. Banyak sekali perahu sang perompak itu di laut Jawa Barat, karenanya banyak orang takut pergi ke Jawa Barat. Disebabkan karena laut Jawa Barat dinaungi oleh sang perompak yaitu perampok yang bengis. Setelah Sang Purnawarman dapat menghilangkan semua perompak (dengan) mengalahkannya, semua penduduk Tarumanagara di bumi Jawa barat berbahagia, begitu pula sepanjang tepian laut Pulau Jawa bagian utara, tak ada (lagi) sang perompak. Karena semua sang perompak sudah digenggam oleh Sang Purnawarman, sebabnya sang perompak tidak ada yang hidup semuanya dibunuh oleh Sang Purnawarman. Laut lain yang ada perompaknya kemudian dikalahkan, dan sang perompak dilenyapkan oleh Sang Purnawarman.
Sudah beberapa ratus perompak yaitu perampok bengis binasa oleh Sang Purnawarman. Yang tertawan kemudian diikat dan dipotong tangan dan kakinya, ada yang dilemparkan ke atas api yang menyala, ada yang diumpankan kepada binatang buas, ada yang dijadikan makanan singa buas, anjing, ada yang digantung, ada yang dipatahkan tangan dan kakinya sampai akhirnya mati, (ada yang) disebus kemudian sang perompak lainnya dsuruh makan dagingnya. Begitu pula ada yang dipukuli badannya kemudian dipatukkan kepada ular, ada yang dipalu dengan cangkul, beliung, ada yang dilemparkan dari gunung dan sbagainya lagi. Sudah tidak terhitung sang perompak (yang) ditangkap kemudian dijatuhi (hukuman) mati oleh Sang Mahārāja Purnawarman.
Beliau membuat dan menyusun Nitipustaka Rājya Tarumanagara, Nitipustaka ning Aksohini, Nitipustaka Yuddhawarnana, Nitipustaka Desāntara i Bhumi Jawa Kulwan, Pustaka Warmanwamsatilakā kemudian Pustaka Ghosanājñārājya dan banyak lagi lainnya.
Selanjutnya digantikan (lagi) ceritanya sekarang, kemudian digantikan lagi kisahnya. Tersebutlah kepala pribumi Bakulapura di bumi Tanjungnagara, yaitu Sang Kudungga banabya. Sang Kudungga putra Sang Attwangga namanya, Sang Attwangga putra Sang Mitrongga Lugubhumi. Wangsa mereka sudah beberapa puluh keturunan mereka bertempat-tinggal di sini, menjadi kepala dari pribumi. Sudah beberapa ratus tahun sejak dahulu, nenek moyang dari Bhāratanagari. Adapun sang nenek moyang mereka Sang Pusyamitra yaitu manusia utama yang menang dalam perang.
Adapun sang nenek moyang wangsa Sungga dari Magadha di Bharatawarsa. Selanjutnya, mula-mula wangsa ini dikalahkan oleh wangsa Kusana. Mula-mula suami-istri dan keluargany laki-laki perempuan dari wangsa Sungga bersama-sama mengungsi menyebar ke beberapa negara. Ada yang ke utara, ke selatan, ke timur dan ada yang ke barat.
Salah satu kelompok keluarga dari wangsa ini dengan sanak-keluarganya dan semua pengiringnya sampai di salah satu pulau di Nusantara. Tempat ini kemudian disebut Bakulapura di bumi Tan-jung nagara. Selanjutnya berdirilah desa Kutanagara namanya, kelak menjadi kerajaan kecil yang dinamai Bakulapura. Selanjutnya diceritakan putri dari Sang Kudungga diperistri oleh Sang Aswawarman putra kedua dari Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salabhuwana dengan Rani Spatikārnawa Warmandewi. Kakak perempuan Sang Aswawarman ialah Dewi Minawati yang bernama gelar Parameswari Iswaratunggalpretiwi Warmandewi, diperistri oleh Raja Tarumanagara Sang Mahārsi RāJadhirājaghuru atau Jayasinghawarmanghuru Dharmapurusa namanya yang lain. Adapun adik Sang Aswawarman yang laki-laki menjadi yuwarāja atau rājakumara kemudian dia menjadi raja di Kerajaan Salakanagara sebagai Dewawarman IX.
Tetapi kerajaan Salakanagara sudah dikuasai oleh Tarumanagara. Adapun kerajaan Salakanagara sudah lama bersahabat dengan Sang Kudungga raja Bakulapura. Sang Kudungga dengan Sang Dewawarman VIII yakni Prabhu Dharmawirya bersahabat, mereka sudah akrab saling menyayangi berbimbingan tangan. Karena putra Sang Dewawarman yaitu Sang Aswawarman sejak kecil oleh Sang Kudungga seperti anaknya sendiri, ialah menjadi anak angkat. Selanjutnya tibalah (saatnya) putra mahkota Aswawarman menjadi menantu dari Sang Kudungga Raja Bakulapura.
Sesungguhnya Sang Aswawarman dengan istrinya adalah sanak keluarga, saudara satu buyut. Sebabnya ialah, ibu Sang Kudungga adalah kakak perempuan ibu Sang Rani Spatikārnawa Warmandewi, sedangkan Sang Rani adalah ibu Sang Aswawarman, dan istri Aswawarman adalah cucu Sang Kudungga.
Setelah Sang Kudungga mangkat, kemudian Sang Aswawarman diserahi tugas kerajaan, kemudian dinobatkanlah menjadi raja di Bakulapura menggantikan Sang Kudungga. Adapun perkawinan Sang Aswawarman dengan anak Sang Kudungga, berputra tiga orang, salah seorang di antaranya ialah Sang Mulawarman. Sejak Sang Aswawarman (memerintah), Kerajaan Bakulapura berubah menjadi negara besar. Kehidupan penduduk sungguh-sungguh sejahtera. Suamiistri semuanya makmur hidupnya.
Tak ada penduduk yang melanggar peraturan negara dan raja, begitu pula adat kebiasaan, tak ada yang melanggar seperti yang telah terjadi sejak nenekmoyang. Sang Aswawarmanlah sesungguhnya yang membuat besar serta jaya sentosa negaranya. Sehingga Sang Kudungga tidak disebut sebagai pendiri wangsa karena anaknya perempuan.
Oleh karena itu Sang Aswawarman menjadi pendiri wangsa raja-raja Bakulapura. Kemudian setelah Sang Aswawarman mangkat, digantikan oleh putranya yang tertua (yaitu) Sang Mulawarman. Semua desa di bumi Bakulapura termasuk raja-raja di sekitarnya di bawah kekuasaannya.
Sang Mulawarman adalah raja yang sangat besar kekuasaannya. Begitu juga (ia adalah) raja yang teguh pada kewajiban, gagah perkasa dan mahir berperang. Dengan raja Taruma ia bersahabat erat tak putus senantiasa berbimbingan tangan saling mengasihi. Duta Bakulapura ada di Tarumanagara begitu pula duta Tarumanagara ada di sana. Karena rukun bersaudra. Selanjutnya diganti kisahnya mmengenai Kerajaan Tarumanagara. Setelah Sang Purnawarman mangkat, kemudian putra raja yang tertua yaitu Sang Wisnuwarman namanya, menggantikan ayahnya menjadi Raja Tarumanagara di bumi Jawa Barat.
Adapun (dia) adalah putra mahkota yang telah dewasa. Perbuatannya tidak tercela, dan ia tidak ada kekurangannya, sama 10 seperti ayahnya. Beliau seorang raja yang teguh pada kewajibannya dan gagah perkasa, terutama dalam pertempuran pada waktu perang, ia mahir alam berperang.
Sang Wisnuwarman dinobatkan menjadi Raja Tarumanagara pada waktu bulan purnama tanggal 14 paruh-terang bulan Posya, tahun 356 tarikh Saka (= 434 Masehi).
Pada waktu itu Sang Mahārāja Wisnuwarman mengadakan peryaan besar siang-malam, selama tiga hari tiga malam. Istana kerajaan dihiasi dengan bunga serba harum. Semua raja yang ditundukkan dan raja-raja kecil dari bumi Jawa Barat ada di situ. Banyak duta dari negara sahabat, orang yang terkemuka di bawah raja, yaitu Sang Mahāmantri, beberapa pembesar kerajaan dari Tarumanagara ada di situ, juga sang brahmana, sang pendeta istana, orang suci, panglima angkatan laut, hulubalang, beberapa panglima mandala, kemudian keluarga raja, dan banyak (yang) lainnya lagi. Semuanya dijamu dan mendapat berbagai makanan lezat. Sebab berbagai kenikmatan serta berbagai penganan ada di situ. Begitu juga diadakan berbagai berbagai kegiatan pada perayaan besar tersebut berupa gending dan penari-penari perempuan yang cantik. Tampak penari-penari cantik, mereka semua (kaum) laki-laki terpesona, (membangkitkan) nafsu birahi.
Sedangkan berbagai makanan dan minuman lezat diantarkan oleh para penari istana yang berwajah cantik Alangkah meriahnya pesta tersebut. Kemudian semua yang hadir menyampaikan selamat kepada Sang Mahārāja Tarumanagara.
Kemudian pada tanggal 10 paruh-terang bulan Magha tahun 357 tarikh Saka (= 435 Masehi) Mahārāja Tarumanagara mengutus dutanya ke Negeri Cina, Bharatanagari, Syangkanagari, Campanagari, Yawananagari, Swranabhumi, Bakulapura, Singhanagari, Dharmanagari dan semua negaranegara sahabat, juga seluruh raja yang ada diPulau Jawa.
Adapun kedatangan duta tersebut diminta memberitahukan bahwa Mahāhāraja Wisnuwarman telah menjadi raja di Tarumanagara mengantikan Sang Purnawarman, Begitu jua persahabatan yang dahulu tidak terputus janganlah kita bercerai berai, sudah satu tujuan dan akrab saling mengasihi, saling berbimbingan tangan, janganlah saling bertentangan dan saling hormatyangmenghormati dan kecintaan terhadap Negara umumnya. Tiga tahun kemudian setelah Sang Wisnuwarman menjadi Maharaja
Tarumanagara, ada peristiwa gempa bumi, tetapi kecil dan tadak lama. Setahun kemudian ada peristiwa gerhana bulan, tetapi tidak lama kemudian terang bulan. Adapun peristiwa kedua, oleh Sang Mahārāja (dianggap) sebagai tanda bahaya. Supaya tidak ada rintangandan terhindar dari marabahaya bagi negerinya, mahārāja menuruti perkataan sang brahmana yang mahir dalam mantra, pergilah mahārāja mandi di Sungai Ghangga, yang ada di wilayah Indraprahasta.
Dua malam kemudian Sang Wisnuwarman ketika sedang tidur bermimpi bertemu dengan harimau tua, babi hutan, garuda, dan beberapa ekor binatang lainnya lagi, semua binatang buas. Masing-masing ingin membinasakan sang mahārāja yang sedang menunggangi anak gajah (sehingga) sang mahārāja hampir jatuh ke tanah. Tetapi sang anak gajah patuh dan menghindarkannya dari marabahaya. Sementara itu datanglah lebah menunggangi sang gajah Erawata, kemudian membinasakan semua binatang buas yang mendesak, dan matilah binatang itu menjadi bangkai, tetapi sang garuda yang bermuka dua tak terkalahkan, bahkan bolak-balik di angkasa.
Kemudian sang garusa selalu mengikuti sang raja dan berusaha keras untuk membinasakan Sang Putra Purnawarman. Ketika sang garuda dan binatang buas datang menyerng, terus sang gajah Erawata menyerang, sedangkan sang lebah terbang ke atas dan menyerang, akhirnya sang garuda dikalahkan oleh sang raja, jatuhlah dan kemudian mati. Karena mimpi itu, Sang Wisnuwarman kecewa hatinya. Karena itu banyak brahmana dan pendeta istana yang diperintahkan untuk dating menghadap dan diajak bicara.
Tiga hari berikutnya Sang Wisnuwarman dan semua pengiringnya juga para brahmana, orang-orang suci berangkat pergi ke timur ke Kerajaan Indraprahasta. Di sini sang mahārāja disambut dengan senang oleh Raja Indraprahasta yaitu Sang WirYabanyu salah satu namanya.
Pada keesokan harinya ketika sanghyang matahari belum menaiki keraton Indraprahasta, Sri Nerpati disertai oleh Sang Wiryabanyu dan semua brahmana, orang-orang suci, dan hamba-hambanya sudah ada di Sungai Ganggha. Sri Nerpati dan Sang Wiryabanyu, sang brahmana, orang-orang suci, dan pembesar serta beberapa orang raja sekitarnya dan sang tanda, sang juru, pemimpin wilayah, semuanya kemudian mandi di pemandian di Sungai Ganggha. Sepanjang tepian sungai dijaga oleh bala tentara yang mem bawa berbagai senjata, bersiaga lengkap yaitu tombak, gada, panah, keris, pisau, dan sebagainya lagi. Tampak dari kejauhan pasukan tersebut semuanya bersenjata dan memakai baju besi.
Setelah itu sri mahārāja berangkat menuju pertapaan, terus menyembah pada patung Bhatara Wisnu dan Bhatara Sangkhara yang ada di situ. Setahun kemudian setelah Sang Wisnuwarman mandi di Sungai Gangha, ada suatu kejadian di dalam keraton yaitu ketika sri mahārāja dan permaisuri sedang tidur.
Pada waktu tengah malam ada orang bersembunyi kemudian memasuki tempat tidur sri mahārāja, dengan membawa badik tajam dan keris, kemudian orang mengarahkan badiknya kepada sang raja. Ketika ia (akan) membunuh sang raja, jari-jarinya gemetar, tangannya berkeringat, terlepaslah badik itu dari genggamannya (dan jatuh) ke bawah. Sang raja kaget terbangun, juga sang permaisuri. Orang itu kemudian ditangkap dan diikat.
Sang raja marah, akhirnya bala tentara semuanya datang di situ. Adapun sebabnya jari-jari tangan si pembunuh itu gemetar dan berkeringat (karena) si pembunuh itu sudah lama tidak bersetubuh dengan istrinya dan ia gemar bersetubuh dengan banyak wanita, di situ ia melihat sang permaisuri tidak berpakaian dan tidak mengenakan kain sehelai pun. Karena melihat sang permaisuri tidur tanpa mengenakan pakaian, jadi ia ingin menyetubuhinya. Karena itu perbuatannya tidak berhasil.
Adapun mengenai permaisuri, luar biasa cantik rupanya, tak ada duanya di Pulau Jawa. Beliau adalah adik perempuan Raja Bakulapura. Sang permaisuri ialah Suklawarmandewi namanya. Parasnya memancarkan sinar, ia adalah wanita yang sempurna kecantikannya, bagaikan bidadari turun ke bumi. Siapa yang melihat kecantikannya sungguh senanglah hatinya. Sedangkan suaminya yaitu Sang Wisnuwarman adalah raja yang sangat berkuasa, lemah lembut dan adil. Beliau berbakat dalam bermain judi.
Berbeda dengan sifat ayahnya (yang) besar amarahnya, galak dan menakutkan dan ia senang beperang dengan musuhnya. Beberapa orang istri Sang Purnawarman dahulu, semua istrinya masing-masing berputra. Dari permaisuri, Sang Purnawarman berputra Sang Wisnuwarman raja yang selalu memiliki rasa belas kasihan kepada sesamanya. Selanjutnya keesokan harinya ketika sang matahari ada di atas 20 istana, ketika itu pada tanggal 14 paruh-gelap bulan Asuji tahun 359 tarikh Saka (= 437 Masehi).
Sang Mahāhāraja Wisnuwarman duduk di tengah-tengah paseban, beberapa orang raja tetangga, sang adhyaksa, sang brahmana, sang tanda, sang juru, semuanya sedang berkumpul menghadap kepada Sang Mahārāja.
Inilah bedanya, karena Sri Mahārāja Wisnuwarman menghadapkan sang pembunuh yang tidak berhasil, tangan dan kakinya diikat dan dikawal oleh pasukan pengawal raja.
Kemudian berkatalah Sri Mahārāja kepada sang pembunuh, “apa sebabnya kamu hendak membunuhku, dan siapa yang menyruhmu demikian?”
Sang pembunuh tidak kuasa berkata, sementara itu hanyalah menangis yang diperbuatnya. Tampaklah bercucuran air matanya. Kemudian yang bersalah merebahkan diri dan menyembah, terdengar tangisnya.
Setelah itu Sri Mahārāja berkata lagi Kepada yang bersalah, “Tenangkanlah hatimu, aku mau berkata kepadamu. Itu, sangat hina sekali perbuatan dan tingkah lakumu. Adakah pantas perbuatan itu? Semua perbuatan dan sifatnya tak ada pemimpinnya, seperti binatang buas. Sangat besar dosamu daripada dosa sang perompak.”
Menangislah orang yang bersalah itu karena malunya, sedang air matanya selalu bercucuran, kemudian Sri Mahārāja berkata lagi kepada yang salah, ”Jika kamu mengatakan nama orang yang menyuruhmu membunuhku, aku berjanji membebaskanmu dan kamu akan diberi anugrah olehku. Betapa senang hatiku, jika perkataanku diturut olehmu. Tetapi jika membantah dan tak menurut kehendakku, kamu akan dihukum mati.”
Mendengar perkataan Sri Mahārāja yang dihayati oleh yang bersalah, kemudian menyejukkan dan menggetarkan (hatinya). Karena perbuatannya yang hina, sang pembunuh yaitu yang bersalah kemudian sangat menyesal karena ia akan membunuh Sri Mahārāja Wisnuwarman. Adapun (ia) disuruh oleh Mandalamantri Sang Cakrawarman namanya, yaitu sanak keluarga Sang Wisnuwarman Raja Tarumanagara. Adapun Sang Cakrawarman (adalah) adik Sang Purnawarman, sejak kakaknya meninggal, Sang Cakrawarman ingin menjadi raja di Tarumanagara.
Para pengikut Sang Cakrawarman itu banyak, di antaranya beberapa panglima di wilayah kerajaan dan beberapa orang balatentara yang tidak menyukai Sang Wisnuwarman, tetapi mereka yak berani menyerang karena Sri Mahārāja senantiasa dijaga oleh para pengawalnya yang tak terbilang banyaknya.
Mereka takut tidak berhasil melaksanakan niatnya. Seperti yang telah terjadi beberapa bulan sejak itu, sang perusuh ditangkap ketika mau menyerang Sri Mahārāja pada waktu sedang berburu di hutan. Kemudian si perusuh berusaha melarikan diri dan bersembunyi, walaupun demikian ia diikuti oleh pasukan pengawal raja.
Akhirnya mereka yang bermaksud membunuh Sri Mahārāja banyaknya empat orang ditangkap kemudian mereka dijatuhi hukuman mati digantung. Pengikut Sang Cakrawarman yaitu kedua panglima Tarumanagara, ialah Sang Dhewaraja namanya. Kemudian kepala pasukan pengawal, ialah Sang Hastabahu namanya. Kemudian tokoh panglima angkatan laut ialah Sang Kudasindu namanya, kemudian sang juru istana ialah Sang Bayutala namanya, dan banyak lagi pengikutnya, kelompok balatentara Tarumanagara.
Mendengar ucapan yang bersalah begitu, Sang Mahārāja Wisnuwarman terkejutlah. Begitu pula semua pembesar kerajaan dan semua yang berkumpul di paseban. Oleh karena itu Sang Cakrawarman tidak datang ke paseban. Ia bersama banyak pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan, seperti ayam hutan.
Selanjutnya ingin pergi ke arah timur sampai di tepi Sungai Taruma. Sang Cakrawarman bersama semua pengikutnya menyamar di kerajaan Cupu, yang wilayahnya ada di Sungai Cupunagara. Adapun raja Cupu ialah Sang Satyaguna namanya, tidak menginginkan persahabatan dengan mereka, dan mereka diusir pergi dari Cupunagara.
Karena Sang Raja Cupu dikuasai oleh Mahārāja Taruma. Sang Cakrawarman terkejut dirinya disuruh segera pergi, tidak boleh menetap di ibukota Kerajaan Cupu. Meskipun sementaraā itu sudah berjanji serta bersahabat antara Sang Cakrawarman dengan Sang Raja Cupu, lagi pula mengharapkan perlindungan.
Selanjutnya Sang Cakrawarman dengan seluruh pengikutnya pergi ke arah timur terlunta-lunta, mengembara di hutan dan gunung, semuanya sudah dijelajahi. Kemudian tersesat ada di tengah hutan lebat. Sementara menetap di situ.
Padahal mereka mengharapkan hidup lanjut dan selamat. Karena itu mereka berusaha bersembunyi hutan dan gunung. Dengan demikian banyak raja-raja yang ada di seluruh bumi Jawa Barat oleh Sri Mahārāja Wisnuwarman diperintahkan (untuk) Membinasakan Sang Cakrawarman (dengan) semua pengikutnya. Dengan berbagai upaya semua raja-raja di bumi Jawa Barat masing-masing mencari jejak Sang Cakrawarman dengan semua pengikutnya.
Tidak lama antaranya Raja Indraprahasta mengetahui jejak Sang Cakrawarman yang sedang bersembunyi di hutan wilayah selatan Kerajaan Indraprahasta. Oleh karena iitu Sang Raja Indraprahasta memerintahka (balatentaranya) menyerbu musuh. Semua balatentara Kerajaan Indraprahasta berpakaian perang dan menggenggam berbagai senjata Tampaklah mereka ada yang menunggang kuda, ada yang menunggang gajah, ada yang menunggang kereta dan banyak juga pasukan pedati, banyak jumlahnya.
Sang Cakrawarman sekarang sudah memiliki banyak balatentara. Bala tentara tersebut, diperoleh dari desa-desa, oleh karena itu tidak takut terhadap balatentara Kerajaan Indraprahasta. Tampaklah pasukan yang besar pergi ke selatan diiringi pembawa perlengkapan, lengkap dengan semua perbendaharaan begitu pula nasi dengan lauk-pauknya, air minum, barang-barang panji-panji Kerajaan Indraprahasta, yaitu panji-panji bergambar singa tampak berkibar-kibar dari kejauhan.
Adapun seluruh balatentara dipimpin oleh prajurit utama yaitu Sang Panglima Ragabelawa namanya, menunggangi gajah Sang Dungkul namanya. Adapun gajah itu dihadiahkan oleh sang mahārāja beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan panglima pasukan pedati ialah Sang Panglima Bonggolbhumi namanya, ia adalah pemimpin masyarakat Desa Sindangjero. Selama dalam perjalanan balatentara mengembara di hutan lebat dan hutan-gunung yang ada di wilayah selatan, kemudian ke barat terus behenti se mentara karena senja menjelang malam sudah tiba, yang menyebabkan semua binatang buas lari ketakutan.
Pada waktu malam yang terlihat kegelapan hutan, hanya terdengar suara burung hantu dan binatang buas dari kejauhan, suara anjing melolong, suara kera, ada juga suara harimau, dan suara kuda meringkik. Kemudian pada keesokan harinya ketika matahari sudah tampak di sebelah timur, semua panglima bala tentara berunding, ketika itulah saatnya untuk menentukan penyerangan menggempur untuk menghancurkan dan membinasakan musuh.
Tidak lama antaranya berangkatlah pasukan besar serempak menuju dan mendatangi musuh. Sebab desa (yang ditempati) musuh tidak jauh dari situ. Balatentara Kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh sang prajurit utama, Panglima Perang Sang Ragabelawa, menyerang bagaikan celeng mendesak maju. Adapun balatentara orang yang bersalah dipimpin oleh panglimanya
Sang Dewaraja, Sang Kudasindhu, Sang Hastabahu dan Sang Bayutala, menyambut musuh yang datang menyerangnya, menyerang balatentara yang menyerbu. Bergumullah orang-orang yang berperang itu, tampak balatentara berperang menyeruduk dan saling tikam, ada yang membelit saling tarik, saling tempeleng, kemudian api dipanahkan ke rumah dan terbakarlah. Api menyala, semua rumah yang ada di desa baru itu terbakar. Karena kencangnya angin, kobaran api tak berhenti.
Balatentara Cakrawarman terbakar (dan) bercerai-berai, ada yang saling menyerbu terlunta-lunta, ada yang saling melilit, saling tempeleng (hingga) keduanya tewas. Ada yang tersesat, dalamperang itu ada yang takut berkelahi, ada yang melarikan diri mengikuti musuh. Dalam peperangan (itu) terlihat keributan, saling
menyerang, saling menyeruduk, berteriak sambil berperang, antara kedua pihak yang berperang. Ada yang berlumuran darah karena terluka dan putus asa.
Banyaklah mayat di medan pertempuran. Gegap-gempita bunyi senjata dan pasukan sebesar amarahnya. Ada yang meratap dan merana karena kesakitan, sedangkan darahnya bercucuran. Sekarang medan perang telah berubah menjadi lautan darah (dan) lautan mayat. Pada akhirnya pasukan dari Kerajaan Indraprahasta memperoleh Kemenangan dalam peperangan. Adapun bala tentara Sang Cakrawarman kalahlah mereka, banyak yang tewas, beberapa puluh orang sisa yang tewas dan luka-luka.
Sedangkan Sang Cakrawarman dan semua panglima balatentaranya tewas dalam peperangan. Sisa yang tewas semuanya mereka ditangkap kemudian dibawa ke ibukota Tarumanagara.
Di sana semua yang bersalah dijatuhi hukuman mati. Setelah itu semua panglima dan balatentara diberi anugrah kemenangan perang.
Begitu pula Raja Indraprahasta, yaitu Sang Wiryabanyu, dianugrahi emas, perak, permata dan barang-barang. Dan karena itulah Sang Wisnuwarman menikah dengan putri Raja Indraprahasta, yaitu Suklawatidewi namanya.
Dari permaisuri Sang Wisnuwarman tidak berputra, karena sang permaisuri meninggal ketika umurnya masih muda, karena sakit perut.
Oleh karena itu istrinya Suklawatidewi dijadikan permaisuri. Dari istri ini Sang Wisnuwarman berputra beberapa orang, laki-laki dan perempuan. Salah seorang anaknya yang tetua yaitu Sang Indrawarman namanya. Kelak Sang Indrawarman menggantikan ayahnya.
Sudahlah, sampai di sini dahulu Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa.
Tarumanagara, ada peristiwa gempa bumi, tetapi kecil dan tadak lama. Setahun kemudian ada peristiwa gerhana bulan, tetapi tidak lama kemudian terang bulan. Adapun peristiwa kedua, oleh Sang Mahārāja (dianggap) sebagai tanda bahaya. Supaya tidak ada rintangandan terhindar dari marabahaya bagi negerinya, mahārāja menuruti perkataan sang brahmana yang mahir dalam mantra, pergilah mahārāja mandi di Sungai Ghangga, yang ada di wilayah Indraprahasta.
Dua malam kemudian Sang Wisnuwarman ketika sedang tidur bermimpi bertemu dengan harimau tua, babi hutan, garuda, dan beberapa ekor binatang lainnya lagi, semua binatang buas. Masing-masing ingin membinasakan sang mahārāja yang sedang menunggangi anak gajah (sehingga) sang mahārāja hampir jatuh ke tanah. Tetapi sang anak gajah patuh dan menghindarkannya dari marabahaya. Sementara itu datanglah lebah menunggangi sang gajah Erawata, kemudian membinasakan semua binatang buas yang mendesak, dan matilah binatang itu menjadi bangkai, tetapi sang garuda yang bermuka dua tak terkalahkan, bahkan bolak-balik di angkasa.
Kemudian sang garusa selalu mengikuti sang raja dan berusaha keras untuk membinasakan Sang Putra Purnawarman. Ketika sang garuda dan binatang buas datang menyerng, terus sang gajah Erawata menyerang, sedangkan sang lebah terbang ke atas dan menyerang, akhirnya sang garuda dikalahkan oleh sang raja, jatuhlah dan kemudian mati. Karena mimpi itu, Sang Wisnuwarman kecewa hatinya. Karena itu banyak brahmana dan pendeta istana yang diperintahkan untuk dating menghadap dan diajak bicara.
Tiga hari berikutnya Sang Wisnuwarman dan semua pengiringnya juga para brahmana, orang-orang suci berangkat pergi ke timur ke Kerajaan Indraprahasta. Di sini sang mahārāja disambut dengan senang oleh Raja Indraprahasta yaitu Sang WirYabanyu salah satu namanya.
Pada keesokan harinya ketika sanghyang matahari belum menaiki keraton Indraprahasta, Sri Nerpati disertai oleh Sang Wiryabanyu dan semua brahmana, orang-orang suci, dan hamba-hambanya sudah ada di Sungai Ganggha. Sri Nerpati dan Sang Wiryabanyu, sang brahmana, orang-orang suci, dan pembesar serta beberapa orang raja sekitarnya dan sang tanda, sang juru, pemimpin wilayah, semuanya kemudian mandi di pemandian di Sungai Ganggha. Sepanjang tepian sungai dijaga oleh bala tentara yang mem bawa berbagai senjata, bersiaga lengkap yaitu tombak, gada, panah, keris, pisau, dan sebagainya lagi. Tampak dari kejauhan pasukan tersebut semuanya bersenjata dan memakai baju besi.
Setelah itu sri mahārāja berangkat menuju pertapaan, terus menyembah pada patung Bhatara Wisnu dan Bhatara Sangkhara yang ada di situ. Setahun kemudian setelah Sang Wisnuwarman mandi di Sungai Gangha, ada suatu kejadian di dalam keraton yaitu ketika sri mahārāja dan permaisuri sedang tidur.
Pada waktu tengah malam ada orang bersembunyi kemudian memasuki tempat tidur sri mahārāja, dengan membawa badik tajam dan keris, kemudian orang mengarahkan badiknya kepada sang raja. Ketika ia (akan) membunuh sang raja, jari-jarinya gemetar, tangannya berkeringat, terlepaslah badik itu dari genggamannya (dan jatuh) ke bawah. Sang raja kaget terbangun, juga sang permaisuri. Orang itu kemudian ditangkap dan diikat.
Sang raja marah, akhirnya bala tentara semuanya datang di situ. Adapun sebabnya jari-jari tangan si pembunuh itu gemetar dan berkeringat (karena) si pembunuh itu sudah lama tidak bersetubuh dengan istrinya dan ia gemar bersetubuh dengan banyak wanita, di situ ia melihat sang permaisuri tidak berpakaian dan tidak mengenakan kain sehelai pun. Karena melihat sang permaisuri tidur tanpa mengenakan pakaian, jadi ia ingin menyetubuhinya. Karena itu perbuatannya tidak berhasil.
Adapun mengenai permaisuri, luar biasa cantik rupanya, tak ada duanya di Pulau Jawa. Beliau adalah adik perempuan Raja Bakulapura. Sang permaisuri ialah Suklawarmandewi namanya. Parasnya memancarkan sinar, ia adalah wanita yang sempurna kecantikannya, bagaikan bidadari turun ke bumi. Siapa yang melihat kecantikannya sungguh senanglah hatinya. Sedangkan suaminya yaitu Sang Wisnuwarman adalah raja yang sangat berkuasa, lemah lembut dan adil. Beliau berbakat dalam bermain judi.
Berbeda dengan sifat ayahnya (yang) besar amarahnya, galak dan menakutkan dan ia senang beperang dengan musuhnya. Beberapa orang istri Sang Purnawarman dahulu, semua istrinya masing-masing berputra. Dari permaisuri, Sang Purnawarman berputra Sang Wisnuwarman raja yang selalu memiliki rasa belas kasihan kepada sesamanya. Selanjutnya keesokan harinya ketika sang matahari ada di atas 20 istana, ketika itu pada tanggal 14 paruh-gelap bulan Asuji tahun 359 tarikh Saka (= 437 Masehi).
Sang Mahāhāraja Wisnuwarman duduk di tengah-tengah paseban, beberapa orang raja tetangga, sang adhyaksa, sang brahmana, sang tanda, sang juru, semuanya sedang berkumpul menghadap kepada Sang Mahārāja.
Inilah bedanya, karena Sri Mahārāja Wisnuwarman menghadapkan sang pembunuh yang tidak berhasil, tangan dan kakinya diikat dan dikawal oleh pasukan pengawal raja.
Kemudian berkatalah Sri Mahārāja kepada sang pembunuh, “apa sebabnya kamu hendak membunuhku, dan siapa yang menyruhmu demikian?”
Sang pembunuh tidak kuasa berkata, sementara itu hanyalah menangis yang diperbuatnya. Tampaklah bercucuran air matanya. Kemudian yang bersalah merebahkan diri dan menyembah, terdengar tangisnya.
Setelah itu Sri Mahārāja berkata lagi Kepada yang bersalah, “Tenangkanlah hatimu, aku mau berkata kepadamu. Itu, sangat hina sekali perbuatan dan tingkah lakumu. Adakah pantas perbuatan itu? Semua perbuatan dan sifatnya tak ada pemimpinnya, seperti binatang buas. Sangat besar dosamu daripada dosa sang perompak.”
Menangislah orang yang bersalah itu karena malunya, sedang air matanya selalu bercucuran, kemudian Sri Mahārāja berkata lagi kepada yang salah, ”Jika kamu mengatakan nama orang yang menyuruhmu membunuhku, aku berjanji membebaskanmu dan kamu akan diberi anugrah olehku. Betapa senang hatiku, jika perkataanku diturut olehmu. Tetapi jika membantah dan tak menurut kehendakku, kamu akan dihukum mati.”
Mendengar perkataan Sri Mahārāja yang dihayati oleh yang bersalah, kemudian menyejukkan dan menggetarkan (hatinya). Karena perbuatannya yang hina, sang pembunuh yaitu yang bersalah kemudian sangat menyesal karena ia akan membunuh Sri Mahārāja Wisnuwarman. Adapun (ia) disuruh oleh Mandalamantri Sang Cakrawarman namanya, yaitu sanak keluarga Sang Wisnuwarman Raja Tarumanagara. Adapun Sang Cakrawarman (adalah) adik Sang Purnawarman, sejak kakaknya meninggal, Sang Cakrawarman ingin menjadi raja di Tarumanagara.
Para pengikut Sang Cakrawarman itu banyak, di antaranya beberapa panglima di wilayah kerajaan dan beberapa orang balatentara yang tidak menyukai Sang Wisnuwarman, tetapi mereka yak berani menyerang karena Sri Mahārāja senantiasa dijaga oleh para pengawalnya yang tak terbilang banyaknya.
Mereka takut tidak berhasil melaksanakan niatnya. Seperti yang telah terjadi beberapa bulan sejak itu, sang perusuh ditangkap ketika mau menyerang Sri Mahārāja pada waktu sedang berburu di hutan. Kemudian si perusuh berusaha melarikan diri dan bersembunyi, walaupun demikian ia diikuti oleh pasukan pengawal raja.
Akhirnya mereka yang bermaksud membunuh Sri Mahārāja banyaknya empat orang ditangkap kemudian mereka dijatuhi hukuman mati digantung. Pengikut Sang Cakrawarman yaitu kedua panglima Tarumanagara, ialah Sang Dhewaraja namanya. Kemudian kepala pasukan pengawal, ialah Sang Hastabahu namanya. Kemudian tokoh panglima angkatan laut ialah Sang Kudasindu namanya, kemudian sang juru istana ialah Sang Bayutala namanya, dan banyak lagi pengikutnya, kelompok balatentara Tarumanagara.
Mendengar ucapan yang bersalah begitu, Sang Mahārāja Wisnuwarman terkejutlah. Begitu pula semua pembesar kerajaan dan semua yang berkumpul di paseban. Oleh karena itu Sang Cakrawarman tidak datang ke paseban. Ia bersama banyak pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan, seperti ayam hutan.
Selanjutnya ingin pergi ke arah timur sampai di tepi Sungai Taruma. Sang Cakrawarman bersama semua pengikutnya menyamar di kerajaan Cupu, yang wilayahnya ada di Sungai Cupunagara. Adapun raja Cupu ialah Sang Satyaguna namanya, tidak menginginkan persahabatan dengan mereka, dan mereka diusir pergi dari Cupunagara.
Karena Sang Raja Cupu dikuasai oleh Mahārāja Taruma. Sang Cakrawarman terkejut dirinya disuruh segera pergi, tidak boleh menetap di ibukota Kerajaan Cupu. Meskipun sementaraā itu sudah berjanji serta bersahabat antara Sang Cakrawarman dengan Sang Raja Cupu, lagi pula mengharapkan perlindungan.
Selanjutnya Sang Cakrawarman dengan seluruh pengikutnya pergi ke arah timur terlunta-lunta, mengembara di hutan dan gunung, semuanya sudah dijelajahi. Kemudian tersesat ada di tengah hutan lebat. Sementara menetap di situ.
Padahal mereka mengharapkan hidup lanjut dan selamat. Karena itu mereka berusaha bersembunyi hutan dan gunung. Dengan demikian banyak raja-raja yang ada di seluruh bumi Jawa Barat oleh Sri Mahārāja Wisnuwarman diperintahkan (untuk) Membinasakan Sang Cakrawarman (dengan) semua pengikutnya. Dengan berbagai upaya semua raja-raja di bumi Jawa Barat masing-masing mencari jejak Sang Cakrawarman dengan semua pengikutnya.
Tidak lama antaranya Raja Indraprahasta mengetahui jejak Sang Cakrawarman yang sedang bersembunyi di hutan wilayah selatan Kerajaan Indraprahasta. Oleh karena iitu Sang Raja Indraprahasta memerintahka (balatentaranya) menyerbu musuh. Semua balatentara Kerajaan Indraprahasta berpakaian perang dan menggenggam berbagai senjata Tampaklah mereka ada yang menunggang kuda, ada yang menunggang gajah, ada yang menunggang kereta dan banyak juga pasukan pedati, banyak jumlahnya.
Sang Cakrawarman sekarang sudah memiliki banyak balatentara. Bala tentara tersebut, diperoleh dari desa-desa, oleh karena itu tidak takut terhadap balatentara Kerajaan Indraprahasta. Tampaklah pasukan yang besar pergi ke selatan diiringi pembawa perlengkapan, lengkap dengan semua perbendaharaan begitu pula nasi dengan lauk-pauknya, air minum, barang-barang panji-panji Kerajaan Indraprahasta, yaitu panji-panji bergambar singa tampak berkibar-kibar dari kejauhan.
Adapun seluruh balatentara dipimpin oleh prajurit utama yaitu Sang Panglima Ragabelawa namanya, menunggangi gajah Sang Dungkul namanya. Adapun gajah itu dihadiahkan oleh sang mahārāja beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan panglima pasukan pedati ialah Sang Panglima Bonggolbhumi namanya, ia adalah pemimpin masyarakat Desa Sindangjero. Selama dalam perjalanan balatentara mengembara di hutan lebat dan hutan-gunung yang ada di wilayah selatan, kemudian ke barat terus behenti se mentara karena senja menjelang malam sudah tiba, yang menyebabkan semua binatang buas lari ketakutan.
Pada waktu malam yang terlihat kegelapan hutan, hanya terdengar suara burung hantu dan binatang buas dari kejauhan, suara anjing melolong, suara kera, ada juga suara harimau, dan suara kuda meringkik. Kemudian pada keesokan harinya ketika matahari sudah tampak di sebelah timur, semua panglima bala tentara berunding, ketika itulah saatnya untuk menentukan penyerangan menggempur untuk menghancurkan dan membinasakan musuh.
Tidak lama antaranya berangkatlah pasukan besar serempak menuju dan mendatangi musuh. Sebab desa (yang ditempati) musuh tidak jauh dari situ. Balatentara Kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh sang prajurit utama, Panglima Perang Sang Ragabelawa, menyerang bagaikan celeng mendesak maju. Adapun balatentara orang yang bersalah dipimpin oleh panglimanya
Sang Dewaraja, Sang Kudasindhu, Sang Hastabahu dan Sang Bayutala, menyambut musuh yang datang menyerangnya, menyerang balatentara yang menyerbu. Bergumullah orang-orang yang berperang itu, tampak balatentara berperang menyeruduk dan saling tikam, ada yang membelit saling tarik, saling tempeleng, kemudian api dipanahkan ke rumah dan terbakarlah. Api menyala, semua rumah yang ada di desa baru itu terbakar. Karena kencangnya angin, kobaran api tak berhenti.
Balatentara Cakrawarman terbakar (dan) bercerai-berai, ada yang saling menyerbu terlunta-lunta, ada yang saling melilit, saling tempeleng (hingga) keduanya tewas. Ada yang tersesat, dalamperang itu ada yang takut berkelahi, ada yang melarikan diri mengikuti musuh. Dalam peperangan (itu) terlihat keributan, saling
menyerang, saling menyeruduk, berteriak sambil berperang, antara kedua pihak yang berperang. Ada yang berlumuran darah karena terluka dan putus asa.
Banyaklah mayat di medan pertempuran. Gegap-gempita bunyi senjata dan pasukan sebesar amarahnya. Ada yang meratap dan merana karena kesakitan, sedangkan darahnya bercucuran. Sekarang medan perang telah berubah menjadi lautan darah (dan) lautan mayat. Pada akhirnya pasukan dari Kerajaan Indraprahasta memperoleh Kemenangan dalam peperangan. Adapun bala tentara Sang Cakrawarman kalahlah mereka, banyak yang tewas, beberapa puluh orang sisa yang tewas dan luka-luka.
Sedangkan Sang Cakrawarman dan semua panglima balatentaranya tewas dalam peperangan. Sisa yang tewas semuanya mereka ditangkap kemudian dibawa ke ibukota Tarumanagara.
Di sana semua yang bersalah dijatuhi hukuman mati. Setelah itu semua panglima dan balatentara diberi anugrah kemenangan perang.
Begitu pula Raja Indraprahasta, yaitu Sang Wiryabanyu, dianugrahi emas, perak, permata dan barang-barang. Dan karena itulah Sang Wisnuwarman menikah dengan putri Raja Indraprahasta, yaitu Suklawatidewi namanya.
Dari permaisuri Sang Wisnuwarman tidak berputra, karena sang permaisuri meninggal ketika umurnya masih muda, karena sakit perut.
Oleh karena itu istrinya Suklawatidewi dijadikan permaisuri. Dari istri ini Sang Wisnuwarman berputra beberapa orang, laki-laki dan perempuan. Salah seorang anaknya yang tetua yaitu Sang Indrawarman namanya. Kelak Sang Indrawarman menggantikan ayahnya.
Sudahlah, sampai di sini dahulu Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa.
Maaf mau tanya., apakah ada bukti kalau kerajaan salakanegara itu di Jawa Barat,.?
BalasHapusOrang dulu sering meng indentifikasi sesuatu dari tempat atau gunung,. Sedangkan di jaman penjajahan hampir semua gunung di ganti nama,. Contoh,. Gunung salak sekarang dulu bernama Sapto Argo,. Gunung Semeru sekarang dulu namanya salaka,. Gunung Ijen sekarang dulu bernama Semeru,. Sedangkan di Jawa Barat apakah ada nama tempat bernama salaka,.? Atau di Jawa Barat ada nama tempat bernama Kawi,.? Mungkin yang dari pertanyaan saya,. anda sudah maksud dengan pembicaraan saya,. Mungkin bisa dikuak dandi telusuri lagi tempat yang bernama salaka (perak) di sekitar Jawa Barat atau di tempat lain,. Terima kasih atas waktunya
BalasHapus