Islam Abad ke 11 di Desa Leran Kecamatan Mancar Gresik
Batu Bersurat
Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Jawa pada akhir abad ke-11. Data tersebut berupa inskripsi pada bangunan makam (nisan) yang terdapat di Desa Leran, Kecamatan Manyar – delapan kilometer Utara kota Gresik - Jawa Timur. Kompleks makam Islam kuno tersebut menempati lahan seluas 2.280 m², terletak di tepi Sungai Manyar yang merupakan salah satu jalur transportasi air dari daerah pesisir menuju ke pedalaman. Kubur Panjang – sesuai dengan namanya, komplek pemakaman yang berada di Desa Leran ini memiliki panjang hingga 9 meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lainnya.
Dalam kompleks pemakaman ini terdapat salah satu makam dengan bangunan cungkup dari batu putih yang memiliki inskripsi Arab pada batu nisannya. Hasil pembacaan dari inskripsi tersebut menyebutkan nama seorang wanita yaitu: Fatimah Binti Maimun Bin Hibatullah, meninggal pada hari Jumat 12 Rabiul’awal 475 Hijriyah / 1082 Masehi (Moquette, 1921:397. Menerjemahkannya tanggal 7 Rajab 475 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Nopember 1082).
Makam Fatimah binti Maimun, Leran. Cungkup makam berupa gedung tembok persegi dari batu kapur putih. |
Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini adalah bacaan J.P. Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sbb.
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana. Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya. Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun Putera Hibatullah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh Sudah berlewat bulan Rabiul’awal dan pada tahun 475 (sebagian membaca 495 H). Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi Bersama pula Rasulnya Mulia
Makam Siti Fatimah binti Maimun, Leran Gresik-Jawa Timur. |
Makam Fatimah berada dalam kelambu, berjajar di sampingnya: makam Putri Kucing dan Putri Keling. |
Baris pertama merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan Surah Ar-Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di Mesir. Huruf yang digunakan untuk menulis pada nisan tersebut menggunakan huruf Kuffi (Arab). Bukti tersebut menunjukkan bahwa pada sekitar abad XI sudah ada suatu komunitas Islam di sekitar Gresik. Belum diketahui secara pasti ketokohan dari Fatimah Binti Maimun Bin Hibatullah serta peranannya dalam sejarah Gresik sendiri.
Kuffi
Gaya Kuffi pada tulisan Arab di nisan tersebut menunjukkan, bahwa di antara pendatang di kawasan pantai tersebut, terdapat orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka juga merupakan pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kuffi serupa juga ditemukan di Phanrang, Champa Selatan – Kamboja. Hubungan perdagangan Champa-Jawa Timur tersebut adalah bagian dari jalur perdagangan komunitas Muslim pantai pada abad ke-11 yang membentang di bagian Selatan Cina, India, dan Timur Tengah.
Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, "Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (Persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut Jabar, Jeer dan Pees. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”
Perniagaan
Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke-9 hingga 10 masehi, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat. Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri Utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, "Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan mullah, para ulama di datangkan dari luar."
Mengenai kemampuan melaut orang Jawa, Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudera jauh sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian, seperti cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni: keris, yang bahan bakunya harus dicari sampai ke Afrika Timur. Itulah sebabnya, orang Jawa memberanikan diri berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana. Akan tetapi ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi, melainkan juga batu metorit –watu lintang atau batu bintang sebagai bahan pamor atau "kesaktian" pada keris atau tombak. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud, di Arab Saudi, misalnya pamor "Subhanallah, Alif dan Ahadiyat" yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor "Rahmatullahi" yang mendatangkan banyak rezeki. Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunjukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sudah mengunjungi tanah Arab dan sudah memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di kawasan Timur Tengah. Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi, orang Indonesia merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit. Kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung. Keahlian membuat keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa: Wayang, Gamelan, Metrik (cara dan alat penimbang), Batik, Logam (dan cara mengolahnya), sistem uang, ilmu pelayaran, Astronomi (ilmu perbintangan), penanaman padi basah, dan sistem pemerintahan yang sangat teratur.
Siapakah Fatimah binti Maimun?
Pada saat ditemukan batu nisan (prasasti) tersebut tidak dalam keadan menancap pada tanah –sebagaimana layaknya batu nisan sebuah makam, tapi bersandar pada dinding gedung makam yang menurut cerita orang-orang setempat adalah makamnya Raden Ayu Mas Putri atau Dewi Retno Suwari yang bernama asliAminah binti Mahmud Saddah Alam atau Mahmud Syah Alam, kebenaran yang harus dibuktikan tentang 5 makam yang ada dalam cungkup (gedung makam) adalah makamnya Aminah binti Mahmud dan para dayangnya. Dan apabila “penghuni makam” tersebut adalah keluarga Syeh Maulana Malik Ibrahim, maka yang dimaksud adalah Aminah binti Mahmud Saddad Alam, yang tugasnya adalah mengajak Prabu Brawijaya masuk Islam dengan cara damai tanpa kekerasan. Dalam legenda masyarakat setempat, Dewi Suwari – Dewi Suvara atau Dewi Swara, dikenang karena suaranya yang menarik masyarakat sekitar meskipun mungkin masyarakat sekitar tidak tahu arti dari bacaan Dewi Suwari, beliau seorang pembaca Al Quran yang merdu dan mampu mempengaruhi jiwa masyarakat sekitar untuk masuk menjadi seorang Muslim.Sumber tertulis tertua yang menulis legenda mengenai seorang putri dari Leran ialahSajarah Banten, yang ditulis tahun 1662 atau 1663. Disebutkan bahwa pada masa Islamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja terakhir dari Majapahit. Moquette juga menyampaikan legenda setempat yang dicatatnya saat ia mengunjungi Leran, bahwa makam tersebut adalah kubur seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang memainkan peranan penting di awal sejarah Islam di Pulau Jawa. Putri tersebut dihubung-hubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/1419 M), seorang wali terkenal yang makamnya terdapat di kota Gresik. Legenda tersebut tidak dapat diterima karena terdapat jarak 400 tahun antara kedua tokoh tersebut.
Versi lain menyebutkan bahwaFatimah binti Maimun yang dikenal dengan Putri Retno Suwari adalah putri Raja Kamboja, Sultan Machmud Syah Alam. Kedatangannya ke tanah Jawa adalah untuk misi penyebaran agama Islam, dimana pada waktu itu hampir seluruh penduduk Jawa masih menganut ajaran Hindu/Budha. Belum diketahui pasti strategi politik yang digunakan, mengapa untuk penyebaran Islam di tanah Jawa tersebut harus mengirim seorang wanita untuk menyebarkan ajaran Islam
Cungkup makam beliau pun cukup unik, terbuat dari batu putih berbentuk persegi empat dengan dinding yang cukup tinggi, tebal, dan atap berbentuk limasan serta disekeliling dinding makam dihiasi lubang-lubang angin. Makam ini dikeliling oleh tembok setinggi pinggang, dengan sebuah gapura masuk yang rendah, sehingga orang harus menundukkan kepala dan membungkukkan badan ketika melewatinya, konon sebagai perlambang pemberian hormat bagi penghuni makam.
Sebenarnya, pada akhir abad XI tersebut merupakan suatu masa di antara pemerintahan raja Airlangga –yang turun tahta pada tahun 1042, dengan masa pemerintahan raja-raja Kadiri – yang mulai berkuasa pada tahun 1222. Agaknya di tengah masa antara dua mata rantai sejarah ini telah terjadi hubungan antara penduduk yang bermukim di pesisir Utara Pulau Jawa dengan para pendatang dari luar yang menyebarkan ajaran Islam di Gresik. Dapat dipastikan bahwa hubungan daganglah yang memungkinkan terjadinya pertemuan antara para pendatang yang membawa ajaran Islam di belahan Barat dengan orang dari Timur yang dahulunya banyak menganut agama Hindu dan Budha. Demikian juga dengan berita yang di buat oleh tim penelitian arkeologi, nomer 48, judulnya “laporan penelitian arkeologi di situs pesucinan kecamatan Manyar (1994-1996)“. Di situ ditemukan sebuah mangkuk keramik abad ke-10 dan 11 masehi yang di temukan berdasarkan hasil penggalian dan eskavasi di dusun pesucinan desa Leran Manyar Gresik.
Di salah satu pulau nusantara, Jawa pada zaman itu sudah terjadi interaksi sosial yang bersifat global, dan bahwa juga masyarakat Gresik telah mengenal pedagang-pedagang Islam yang bersifat penuh sopan santun dan akhlaq yang mulia, sehingga menimbulkan rasa simpati dari penduduk sekitar.
Ahli sejarah Cirebon abad ke-17, Pangeran Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton, pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten. Hasilnya sebagai berikut : Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad Al-Baqir – bapak Ja'far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi – ayah Sulaiman Al-Basri, yang menetap di Persia, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan Ahmad Al-Baruni – ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun. Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian Selatan.
Sedangkan pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkannya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur. Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara.
Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur Tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.
Leran
Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya "Leren", suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.
Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. Mungkin Fatimah berasal dari Parsi (Persia), sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke-11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran. Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi –untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa di sana.
Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa tepatnya di Gresik, lalu perkampungannya di sana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke-11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi. Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana?
_______
Bacaan :
Harkatiningsih, Naniek, dkk., 1997/1998. Laporan Penelitian Situs Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, No. 48. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta.
Umiati, N.S., 2003. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
Tidak ada komentar