Situs Candi Cangkuang dan Pemakaman Muslim Kuno
Bila mendengar kata ‘Cangkuang’ yang terbersit pada kebanyakan pembaca atau pelajar atau pecinta sejarah dan budaya adalah situs Candi Hindu yang dikatakan didirikan pada era Mataram Kuno, sekitar abad ke-8 M, yang secara ‘kebetulan’ terdapat ratusan makam tokoh muslim yang masih diziarahi dan terawat dengan baik oleh warga setempat dan bahkan diziarahi pula oleh warga dari desa lain yang tidak lain adalah keturunan dari tokoh-tokoh muslim yang dimakamkan di pemakaman ini.
Candi dan pemakaman muslim ini terletak di Pulau yang berada ditengah situ (danau) Cangkuang. oleh penduduk setempat pulau di tengah danau ini di sebut Kampung Pulo, untuk menuju lokasi pemakaman kuno dan Candi tersdia rakit untuk menyebrangi danau seluas 26 Hektar ini. Situs Candi dan kompleks pemakaman ini terletak di kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat.
Terdapat ratusan makam seperti ini yang tersebar di situs Cangkuang, walaupun makam-makam ini sudah tidak bernama, namun masih terawat dengan baik dan sebagian masih masih diketahui nama-nama almarhum.
Setelah berkeliling situs Candi dan pemakaman, serta mendapatkan informasi penting seputar Candi, semakin banyak kejanggalan-kejanggalan yang kami temukan, ternyata setelah kami telusuri dan dan pelajari lagi melalui berbagai sumber, keberadaan Candi Cangkuang sendiri banyak menuai kontroversi di kalangan arkeolog dan akademisi, karena pembangunan Candi Cangkuang hanya berdasarkan dugaan dan tidak ada objek candi yang tersisa di lokasi situs tempat berdinya candi ini sekarang.
Dengan banyaknya kejanggalan ini kami pun melakukan penelitian sederhana seputar bangunan candi yang berdiri diatas ratusan pemakaman muslim ini dan siapakah sebenarnya tokoh ulama yang bergelar Mbah Dalem Arief Muhammad ini? Benarkah beliau adalah salah seorang prajurit Mataram yang melarikan diri? Bila memang benar demikian mengapa kedudukan beliau sangat dihormati bahkan makamnya tetap diziarahi hingga kini oleh keturunannya yang tetap menjaga tradisi beliau yang telah bertahan selama ratusan tahun? Benarkah demikian?
Dengan mengunjungi langsung situs Cangkuang di Leles, Garut kami menemukan ratusan makam kuno yang berserak sebagian makam ada yang masih terawat dan sebagian lain sudah tidak diketahui lagi penghuni makamnya. Adanya ratusan makam di situs Cangkuang adalah bukti dan fakta yang tidak terbantahkan bahwa pada suatu masa di masa lalu situs ini bukanlah situs percandian agama Hindu namun situs pemakaman muslim kuno yang kemudian pada tahun 1974 atas perintah pemerintahan Orde Baru, dibangunlah candi hanya dengan modal dugaan seadaanya, candi ini diresmikan pada tahun 1976.
Sejak candi ini diresmikan lambat laun sosok Dalem Arief Muhammad seolah dihilangkan dari peta sejarah Islam Nusantara, namun karena tradisi penduduk setempat tetap berjalan dapatlah kita ketahui bahwa situs Cangkuang memiliki peranan besar dalam mengungkap sejarah Islam Nusantara yang abu-abu dan penuh dengan ketidakjelasan. Siapakah sebenarnya sosok Arief Muhammad? Dan apa kaitan beliau dengan sejarah Islam Nusantara khususnya Pulau Jawa? Benarkah sejarah beliau sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terungkapnya sejarah Islam di negeri ini? Untuk mengetahui lebih detail tentang sejarah situs Cangkuang, kami akan berbagi pengalaman kami ketika berkunjung ke situs ini dan hasil penelusuran kami tentang tokoh dan sekilas sejarah yang terkait dengan (Dalem)Arif Muhammad, berdasarkan fakta dan informasi yang kami temukan dari lokasi situs.
Sejarah Penemuan Candi, Bangunan Candi atau Makam?
Penelitian arkeologi di lokasi Situ Cangkuang ini diawali dengan di temukannya sebuah catatan perjalanan seorang Belanda bernama Vorderman, yang melakukan perjalanan ke wilayah Cangkuang ini pada tahun 1893, mungkin karena dianggap tidak terlalu penting, Vorderman hanya menulis catatan kecil mengenai wilayah Cangkuang ini, dalam jurnalnya yang berjudul; Minutes Bataviaasch Genootschap ia menulis sebuah catatan kecil tentang adanya pemakaman kuno dan patung Siwa yang rusak.
Dengan berbekal catatan inilah pada tanggal 9 Desember 1966, Drs. Uka Candrasasmita melakukan penggalian arkeologis, tidak ada penemuan penting dari hasil penggalian ini, yang dapat ditemukan hanyalah batu-batu andesit yang berserakan di sekitar makam yang di perkirakan sebagai bekas-bekas reruntuhan candi [1], patung Siwa yang rusak dan lubang di bawah tanah berukuran 4,5 × 4,5 m yang diduga sebagai fondasi candi.
Candi Cangkuang awal ditemukan 1966. Foto diatas menunjukkan keadaan Bukit Kampung Pulo pada saat awal penelitian.
Kampung Pulo adalah sebuah pulau di tengah danau. Menurut cerita penduduk setempat dan banyaknya bukti makam kuno yang tersebar di berbagai wilayah kampung ini, sangat besar kemungkinan wilayah pulau di tengah danau ini dahulunya adalah wilayah yang dikhususkan untuk pemakaman muslim, semacam tanah wakaf. Adanya pemakaman muslim kuno di wilayah ini adalah fakta yang dapat mematahkan teori yang mengatakan bahwa situs ini pada mulanya adalah situs bekas kerajaan Hindu di wilayah Jawa Barat.
Teori ini pertama kali diutarakan oleh Drs. Uka Candrasasmita, hanya dengan bukti berupa batu andesit yang berserakan di sekitar makam yang diperkirakan sebagai batu candi dan patung Siwa yang rusak.
Lubang yang lebih menyerupai sumur yang ‘diduga’ sebagai pondasi candi pada awal di temukan tahun 1966, lebih menyerupai sumur dari pada fondasi candi, atau dapat berupa bangunan apapun yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan lingkungan sekitarnya, yaitu pemakaman muslim. Dan yang terpenting adalah darimana dapat diketahui bentuk candi cangkuang bila awal ditemukannya hanyalah sepetak lubang yang diduga sebagai fondasi candi? Ketika di konfirmasi dengan penduduk sekitar yang sudah turun temurun di daerah Cangkuang, mereka juga tidak pernah mendengar atau diceritakan adanya candi di dearah kampung pulo. (Sumber foto: Museum Cangkuang)
Temuan Arca Sebagai Penentu Berdirinya Candi Cangkuang
Arca Dewa-Dewi atau reinkarnasi dan perwujudan mereka dalam ajaran Hindu, Budha atau Hindu Dharma di Bali mempunyai tatacara pembuatan yang khusus yang dilakukan oleh para pandita dan memiliki ritual khusus yang memerlukan kesabaran dan ketelitian yang menghasilkan suatu karya seni keagamaan yang sesuai dengan tatacara yang terdapat dalam kitab rujukan dalam agama mereka.
Namun sayangnya arca-arca cacat ini banyak ditemukan pada arca-arca di Nusantara, baik yang terdapat di area percandian atau hanya tergeletak ditempat-tempat yang dikeramatkan warga dan diyakini warga setempat sebagai makam leluhur. Kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia terutama di pulau Jawa, termasuk diantaranya arca Siwa yang terdapat di Cangkuang ini.
Keberadaan arca-arca cacat ini dapat dikenali dengan bentuk arca yang tidak simetris atau tidak proporsional, hal ini seharusnya tidak akan pernah terjadi bila arca-arca ini dibuat oleh penganut agamanya masing-masing. Arca-arca ini adalah lambang dan wujud dari dewa-dewa yang disucikan, mustahil dibuat secara asal seperti yang terdapat pada arca-arca di beberapa situs di Nusantara.
Foto di atas adalah arca cacat yang dikatakan sebagai arca Siwa yang sedang mengendarai Nandi (sapi sebagai wahana Siwa, karena itu sapi bagi agama Hindu India adalah hewan yang disucikan). Namun faktanya arca ini bukan rusak karena terkikis oleh waktu, tapi arca yang cacat sejak awal pembuatannya. Dengan melihat arca ini secara langsung dan membandingkannya dengan arca yang rusak karena waktu, jelas sekali perbedaannya. Belum lagi bila kita membandingkannya dengan melihat dari simbol dan posisi Siwa serta Nandhi. Menurut pendapat kami dengan adanya pengakuan bahwa arca ini adalah arca Siwa yang sedang mengendarai Nandi sama halnya dengan merendahkan kedudukan dewa Siwa yang disucikan dalam agama Hindu.
Berdasarkan penelusuran kami untuk mengetahui bentuk sebenarnya dari arca Cangkuang, kami membandingkan arca cacat di Candi Cangkuang dengan arca yang lazim terdapat dalam Hindu India pada sebelah kiri gambar di bawah ini.
Bila dilihat dari bentuk dan posisi, arca Cangkuang seharusnya bermaksud untuk menggambarkan Shiwa sebagai avatar Wisnu dengan wahana singa bersayap. Arca Shiwa di foto sebelah kiri adalah bentuk seharusnya dari arca dewa Hindu yang sesuai dengan gambaran yang diyakini dalam kitab-kitab agama Hindu di India. Sementara foto di sebelah kanan adalah arca cacat di Cangkuang. Kemungkinan besar, karena yang membuat bukan orang beragama Hindu, apalagi seorang Pandita yang mengerti kitab, jadilah arca Siwa di Cangkuang seperti yang kita di sebelah kanan.
Kami dapat mengatakan yang membuat arca tersebut bukan orang Hindu, karena dalam kitab agama Hindu, terdapat tata cara dan arahan dalam pembuatan arca. Bila sang pembuat arca melihat hasil buatannya tidak sempurna bahkan cacat, arca tersebut harus dimusnahkan, karena ia tidak akan rela melihat dewa yang diagungkannya berbentuk fisik seperti arca Cangkuang di atas.
Namun, karena tidak menemukan bukti bangunan atau reruntuhan bekas candi di lokasi pemakaman Cangkuang, arca yang berbentuk tidak jelas dan cacat pada saat pembuatan ini dijadikan penentu didirikannya candi Cangkuang. Karena keberadaan arca ini, pemakaman muslim kuno dikatakan sebagai situs candi Hindu, dan batu-batu andesit yang berserakan di sekitar makam dikatakan sebagai batu candi, meskipun berbentuk jelas menyerupai nisan.
Dengan berbekal penemuan lubang dan patung Siwa yang rusak, dan tentunya teori-teori rekaan yang dipaksakan dan tanpa ada perbandingan dengan bangunan yang lain, Prof. Harsoyo dan Drs. Uka Tjandrasasmita mengutarakan adanya candi Hindu dan bekas-bekas kerajaan Hindu di Jawa Barat. Penelitian yang disponsori oleh Mr. Idji Htadji-ketua CV Haruman dan bekerjasama dengan mahasiswa IKIP Bandung ini berhasil merekayasa sebuah candi yang besar kemungkinan tidak pernah ada. Apalagi, seperti yang diakui oleh pihak peneliti sendiri, Candi Cangkuang yang ada saat ini tidak lebih hanyalah hasil rekayasa yang tidak bersandarkan bukti-bukti ilmiah. Hal ini dinyatakan pula oleh Agus Aris Munandar dalam bukunya ‘Bangunan Suci Sunda Kuno’ halaman 117, bahwa bangunan Candi Cangkuang adalah rekaan belaka dan sangat mungkin keliru.
Candi Cangkuang nampak muka, bersebelahan dengan makam kuno yang telah dikenal penduduk beberapa generasi sebelum keberadaan Candi Cangkuang sebagai makam leluhur mereka Arif Muhammad, berdasarkan penuturan penduduk setempat. Dari bukti geologis yang masih dapat dilihat–berupa danau–dapat diketahui bahwa daerah kampung Pulo hingga tahun 1960-an masih dikelilingi danau. Sekarang sebagian danau sudah di jadikan persawahan dan perumahan penduduk.
Bentuk pemakaman yang berlokasi di tengah pulau yang dikelilingi danau ini bukan satu-satunya di Jawa, bahkan di Nusantara. Pemakaman Cangkuang adalah salah satu bentuk makam dari ratusan pemakaman yang tersebar di kepulauan Nusantara yang digunakam leluhur Nusantara, bahkan sebelum masuknya Islam di Nusantara, sekitar abad ke-7 M.
Contoh jenis pemakaman leluhur di Nusantara yang berlokasi di pulau di tengah danau, dapat kita lihat pada pemakaman kuno di Ciamis Situ Lengkong, pemakaman kuno di pulau Samosir, Danau Toba, pemakaman kuno di Madura di pulau di tengah danau Telango, dan pemakaman kuno leluhur Palembang di delta Sungai Musi, dan masih banyak lagi. Pemakaman di di delta Sungai Musi sejak Suharto berkuasa telah dibangun jadi kelenteng, sehingga keberadaan makam leluhur Palembang tersebut seolah kehilangan jejak.
Makam disekitar Candi Cangkuang ini jumlahnya bisa mencapai ratusan makam, namun sayangnya keberadaan pemakaman ini seolah seperti sengaja tidak pernah disebut, dan timbul kesan keberadaan makam ini-lah yang telah menghilangkan jejak peradaban kerajaan Hindu di wilayah cangkuang ini yang dikatakan dari abad ke-8, fakta yang kami dapati di lokasi situs justru sebaliknya, adanya Candi Hindu rekaan ini telah berhasil menutupi sejarah Islam di Nusantara.
Siapakah Sebenarnya Tokoh Yang Bernama Arief Muhammad Ini?
Bila kita hanya mencari informasi mengenai situs arkeologi ini melalui internet tanpa melakukan kunjungan langsung ke lokasi situs, keberadaan pemakaman muslim ini sering kali dilewatkan. Hanya satu makam yang disebutkan ada di wilayah ini, yaitu makam Arief Muhammad. Makam tokoh ini hingga kini rutin diziarahi oleh penduduk Kampung Pulo. Siapakah Arief Muhammad? Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, kami mendapat informasi penting bahwa Mbah Dalem Arief Muhammad adalah leluhur mayoritas masyarakat Kampung Pulo. Karenanya, penduduk setempat menyebut Arief Muhammad “Eyang Mbah Dalem Arief Muhammad”. Berdasarkan penelusuran silsilah beliau yang kami temukan di museum Cangkuang, beliau masih keturunan Nabi Muhammad saw dari putri beliau Sayyidah Fatimah Zahra (Ratu Fatimah) yang hidup sekitar abad ke-9 M atau sekitar tahun 800-an Masehi. Artinya, kurang lebih 200 tahun setelah wafatnya Rasul saw. Itulah sebabnya kita tidak akan pernah menemukan tokoh ini didalam daftar penduduk yang dibuat pemerintah kolonial tahun 1625 karena beliau hidup sekitar tahun 800-an.
Bila menurut silsilah ini, Arif Muhammad adalah keturunan ke-8 dari Rasulullah saw, dari cucu beliau Imam Husen yang berputra Imam Ali Zaenal Abidin atau Seh Jenal Abidin berputra Seh Mashur berputra Seh Masajid berputra Sultan Arif berputra Sultan Seh Maulana Maghribi berputra Sultan Arif Muhammad, sultan Arif Muhammad inilah yang dikatakan sebagai Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad.
Dalam urutan silsilah akan terlihat bahwa Arief Muhammad hidup sekitar tahun 800-an Masehi, yang artinya beliau hidup dan memimpin wilayah Cangkuang dan sekitarnya kurang lebih 1200 tahun yang lalu! Dan yang terpenting adalah dengan penelusuran tokoh Arief Muhammad ini, melalui silsilah yang ada kita mengetahui bahwa 1200 tahun yang lalu Islam telah menjadi agama resmi wilayah ini dengan dengan tokoh wali-wali muslim sebagai pemimpinnya. Jabatan kepemimpinan ini dapat dilihat dari gelar Almarhum yang sudah melekat dengan nama beliau, seperti yang kami temukan di wilayah ini, gelar Mbah Dalem, Sunan, dan sebagainya.
Untuk mengetahui masa hidup beliau, karena Mbah Dalem Arief Muhammad masih keturunan Rasulullah saw, melalui silsilahnya kami membandingkannya dengan keturunan Rasulullah yang lain juga menjadi Imam besar bagi para pengikut ajaran keluarga nabi pada masanya, yaitu Imam Muhammad al Jawad yang hidup tahun 817 M-842 M.
Berikut adalah urutan perkiraan tahun dari nama yang kami peroleh dari silsilah Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad di atas :
- Muhammad Rasulullah saw 570 M-632M
- Ratu Fatimah (605M-632M)+Sayidina Ali kw (600M-661M)
- Imam Husen (625 M-681 M) [1]
- Seh Jenal Abidin (Imam Ali Zaenal Abidin 658 M- 713 M)
- Seh Mashur (salah seorang putra dari imam Ali Zaenal Abidin, hidup satu masa dengan Imam Muhammad al Bagir-juga salah seorang putra Imam Ali Zaenal Abidin yang hidup pada tahun 676 M- 732 M)
- Seh Masajid (satu masa dengan putra imam Muhammad al Bagir; Imam Ja’far as Shadiq yang hidup pada tahun 702 M-765M)
- Sulthan Arif (satu masa dengan putra imam Ja’far as Shadiq; Imam Musa al Kadhim yang hidup pada tahun 750 M-805 M)
- Sulthan seh Maulana Maghribi (satu masa dengan putra Imam Musa al Kadhim; Imam Ali ar Ridho yang hidup pada tahun 770 M-825 M)
- Sulthan Arif Muhammad (satu masa dengan putra Imam Ali ar Ridho; Imam Muhammad al Jawad yang hidup pada tahun 817 M- 842 M)
Selain makam Arif Muhammad, di Kampung Pulo ini juga terdapat ratusan makam kuno lain yang tersebar di berbagai wilayah di Kampung Pulo ini. Dan seperti pada umumnya pemakaman pada masa itu, setiap makam memiliki bangunan makam atau cungkup makam yang berbentuk persis sama dengan yang kita kenal sebagai Candi sekarang. Bangunan makam atau cungkup makam ini pada umumnya terbuat dari bata atau batu andesit atau yang lebih dikenal dengan batu candi atau batu alam yang terdapat di sekitar lokasi makam.
Penduduk nusantara pada masa lalu adalah bangsa yang sangat menghargai leluhurnya. Meskipun nenek moyang nereka telah berpulang, mengunjungi makam atau berziarah ke makam leluhur adalah suatu ritual istimewa yang diselenggarakan dari mulai golongan para pemimpin hingga rakyat biasa, tradisi ini melambangkan tradisi ajaran Millah Ibrahim atau agama Brahmanik. Ketika mayoritas penduduk negeri ini telah memeluk Islam tradisi ini tetap berjalan karena tradisi ziarah tidak Berentangan dengan ajaran Islam. Pentingnya tradisi ziarah bagi bangsa Indonesia telah menjadikan pemakaman sebagai tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta dan dengan tradisi ziarah mengingatkan manusia akan kefanaan dirinya.
Pemakaman di nusantara memiliki lokasi dan bangunan khusus yang mendukung ritual berziarah tetap terlaksana, ketika Islam telah menyebar dikalangan penduduk nusantara bangunan makam menjadi satu bagian dengan bangunan Masjid. Salah satu bangunan khusus yang hingga kini masih terjaga adalah fakta bahwa hampir setiap makam kuno di nusantara memiliki bangunan makam atau cungkup makam atau bekas-bekas cungkup makam, seperti gambar makam Sunan Pangadeggan ini.
Situs makam Sunan Pangadeggan, berbentuk punden berundak, makam dengan bentuk punden berundak terdapat di beberapa lokasi di situs Cangkuang, makam dengan bentuk punden berundak sebenarnya banyak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia hanya saja asumsi Hinduisme yang telah mengakar, seringkali situs pemakaman ini dijadikan situs Hindu atau Budha.
Cungkup makam umumnya terbuat dari batu alam, batu bata yang dikombinasi dengan kayu pada bagian atapnya. Dilihat dari bentuk bangunan, bangunan makam hampir tidak bisa dibedakan dengan bangunan candi, hanya satu hal yang membedakan yaitu keberadaan arca dan relief.
![]() |
Proses pencetakan batu-batu tiruan untuk membangun candi yang diduga pernah berdiri di lokasi ini (Sumber: Museum Candi Cangkuang) |
![]() |
Penyusunan sementara badan candi (Sumber foto: Museum Cangkuang) |
![]() |
Penyusunan sementara badan candi (Sumber foto: Museum Cangkuang) |
![]() |
Keadaan badan candi setelah tersusun (Sumber foto: Museum Cangkuang) |
![]() |
Bagian atap candi, batu baru digabung dengan batu lama dibuat candi (Sumber foto: Museum Cangkuang) |
![]() |
Peta Lokasi Cagar Budaya Candi Cangkuang |
![]() |
Makam Wiradijaya dan Wirabaya |
![]() |
Daftar Nama dan Makam Tokoh Leluhur Kampung Pulo |
![]() |
Situs Makam Sunan Pangadeggan (Sumber : Museum Cangkuang) |
![]() |
Batu andesit yang digunakan pada kaki dan badan candi |
Batu andesit yang digunakan pada kaki dan badan Candi sama dengan yang digunakan pada makam-makam kuno yang tersebar di situs ini.
![]() |
Batu andesit yang digunakan pada Makam Arief Muhammad dan Sunan Pangadegan |
![]() |
Beberapa cotoh bentuk makam dan nisan yang terbuat dari batu andesit yang tersebar di lokasi situs |
Post Comment
Tidak ada komentar