Babad Galuh: Kyai Serengrana
Babad Galuh yang juga hangat diperbincangkan adalah koleksi naskah kuno
dari Kraton Kasepuhan Cirebon merupakan wari san karya para pendahulu
yang mempunyai nilai strategis bagi kehidupan dan perkembangan budaya,
sastra dan pengetahuan sejarah bangsa. Naskah aslinya diterjemaahkan
oleh Team Kra ton Kasepuhan Cirebon, kerjasama dengan Proyek Pembinaan
dan Pengembangan Perpustakaan Nasional 2003. Kemudian di terbitkan
dengan Judul BABAD GALUH : KOLEKSI NASKAH KUNO KRATON KASEPUHAN CIREBON,
Volume 1 dan 2, Proyek Pembinaan dan Pengembangan, Perpustakaan
Nasional, 2003.
Naskah ini pun diterjemahkan pula dengan judul WAOSAN BABAD GALUH dari
Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi : naskah Kraton Kasepuhan
Cirebon, ditulis Oleh Amman N. Wahju.
Menurut Amman N. Wahju naskah yang diperoleh berupa buku hasil alih aksara dari naskah aslinya yang dilakukan oleh Team Kraton Kasepuhan Cirebon sebagai hasil kerjasama dengan Proyek Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Nasional 2003. Naskah aslinya merupakan salah satu dari koleksi naskah-naskah Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Setelah melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya pada hasil alih aksara tersebut akhirnya diterjemahkan dalam bentuk seperti yang pembaca lihat sekarang, dengan tujuan agar dapat diketahui dan dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Menurut Amman N. Wahju naskah yang diperoleh berupa buku hasil alih aksara dari naskah aslinya yang dilakukan oleh Team Kraton Kasepuhan Cirebon sebagai hasil kerjasama dengan Proyek Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Nasional 2003. Naskah aslinya merupakan salah satu dari koleksi naskah-naskah Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Setelah melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya pada hasil alih aksara tersebut akhirnya diterjemahkan dalam bentuk seperti yang pembaca lihat sekarang, dengan tujuan agar dapat diketahui dan dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Naskah asli Babad Galuh disusun pada bulan dua, tanggal dua puluh
sembilan hari Senin Wage atau tercatat sebagai tahun Be atau tahun 1280
Hijriah atau tahun 1860 Masehi. Dalam nas kah disebutkan sasi kalih
tanggal kaping sanga, Senen Wage ing rang kepe, pengeting tahunipun,
tahun Be kang hijrah Nabi, sewu rongatus ika, punjul wolung puluh, ing
tahun Be Puni ka, among angsal wolulas dinten nenggih, wau ingkang kalam
pah. Ditulis seorang mantri dari Kasultanan Sepuh, bernama KYAI
SERENGRANA yang tinggal di Pulasaren. Melihat tahun penulisan berarti
ditulis pada masa Sultan Raja Sulaeman atau Sultan Syamsuddin II dari
Keraton Kasepuhan Cirebon, yang memerintah dari tahun 1845–1880 M.
Naskah asli ditulis tangan dengan menggu nakan huruf Arab Pegon, dalam
bahasa Jawa kuno dengan dialek Cirebon dan Sunda. Naskah babad ini
berbentuk tembang yang beruparang kaian dari pupuh-pupuh yang berjumlah
sebanyak 21 pupuh, 170 saleh dan 1.480 padan, yang terdiri dari (1) Kas
maran/Asmarandana 5 pupuh; (2) Sinom 5 pupuh; (3) Dangdang gula 6 pupuh
(4) Kinanti 5 pupuh.
Galuh dihati masyarakat Pulau Jawa memiliki tempat tersen diri, baik
baik suku Jawa maupun Sunda. Karena masing-masing memiliki kisah
tentang Galuh. Masyarakat tradisional meletakan sejarah Galuh sebagai
entitas yang memikiki runtutan dengan Me dang Kamulan, atau Mataram
Kuno, berikut eksistensi tokoh Sanjaya, putra Senna dan Sannaha yang
berbekas di Candi Wukir. Kekuasaan Sanjaya bukan sekedar menjadi raja di
raja di pulau jawa, melainkan juga sebagai pendiri Wangsa Sanjaya.
Namun ketika meletakan lokasi Galuh di petama ka urang Sunda akan
menyebutkan wilayah Galuh membentang dari sungai Citarum disebelah
barat sampai dengan daerah Tungtung Sunda, bahkan pada masa Sanjaya
menggantikan Terusbawa (raja Sunda) praktis kekuasaan meliputi seluruh
tatar sunda (Sunda dan Galuh) serta wilayah Mataram Kuno.
Naskah ini tentunya menambah pengetahuan para peminat sejarah Galuh
untuk mengetahui suasana kebatinan ketika naskah ini disusun. Namun
naskah ini bukan satu-satunya yang dapat dipelajari, mengingat
pembahasan sumber-sumber informasi tentang dapat dirujuk dari sumber
sebagai berikut :
1. Babad Galuh : koleksi naskah kuno Kraton Kasepuhan Cirebon,
Perpustakaan Nasional (Indonesia). Proyek Pembinaan dan Pengembangan,
Kontributor Tim Kraton Kasepuhan Cirebon, Perpustakaan Nasional
(Indonesia). Proyek Pembinaan dan Pengembangan. Penerbit Proyek
Pembinaan dan Pengembangan, Perpustakaan Nasional, 2003.
2. Babad Galuh Imbanagara. Kajian Tentang Penerapan Unsur-Unsur.
Pemberdayaan Dan Hubungan Manusiawi Masa Pemerintahan Bupati Galuh Abad
Ke-19 Disertai Edisi Teks Penulis Nenny Kencanawati Penerbit Unpad.
Bahasa Inggris.
3. Babad Galuh Majapait. Penerbit [S.I] ; [S.n], [S.a]. Bahasa Jawa.
Cet. Umum Aks. Latin; Macapat; ditulis di atas kertas HVS; Rol 107.06.
62 hlm.; 38 baris/hlm.; 35x21 cm.
4. Babad Galuh Dumugi Mataram Penerbit [S.I] ; [S.n], [S.a]. Bahasa
Jawa. Cet. Umum Aks. Latin; Macapat; ditulis di atas ker tas HVS. 29
hlm.; 35 baris/hlm.; 34,5x21 cm.
5. Carita Parahiyangan : Naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16
Maséhi. Aca. 1968. Yayasan Kabudayaan dan Nusalarang, Bandung.
6. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" dari Cirebon. Ayatrohaédi. 2005. Pustaka Jaya, Jakarta.
7. Wawacan Sejarah Galuh. Ekajati, Edi S., ; Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh – 1981. 95 Halaman.
8. Waosan Babad Galuh: dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi : Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon, Amman N. Wahyu, Pustaka 2009. 429
Halaman.
BEBERAPA PERBEDAAN
Perbedaan dan persamaan versi sejarah Galuh bermula dari data-data
lisan maupun tulisan yang saat ini beragam keberadannya, seperti Babad
Galuh, bersumber dari Keraton Kasepuhan Cirebon, dan terjemaahannya
dalam judul Waosan Babad Galuh.
Demikian pula Galuh versi Jawa, paling tidak mengacu pada naskah Babad Galuh Majapait dan Babad Galuh Dumugi Mataram. Naskah ini ditulis dengan huruf latin; Prosa, diatas kertas HVS; Rol 107.04, berisi ringkasan sebuah naskah pegon yang dipinjam Pigeaud dari Tuan I. Behrens di Banyuwangi. Naskah induk berasal dari keluarga R.T. Kusumanegara, seorang Bupati Banyuwangi keturunan Madura. Naskah asli itu terdiri dari 889 halaman, semuanya teks diringkas, berisi: Babad Galuh Dumugi Mataram (43 pupuh), Suluk Abdul Jalil, Papali Ki Ageng Sela, Suluk Sahadat, berbagai keterangan tentang agama Islam, sebagian memakai ungkapan wangsalan, Serat Ambiya (27 pupuh), dan Cariyos Nabi Dawud anakekaken Dewi Wuryan, nanging boten tinanggapan (20 pupuh). Ringkasan disusun oleh R. Mandra sastra pada tahun 1934, atas permintaan Th. Pigeaud, mungkin di Yogyakarta. Lihat FSUI/-SJ.61 untuk turunan pupuh 1-10 teks Babad Galuh dari naskah induk yang sama.
Demikian pula Galuh versi Jawa, paling tidak mengacu pada naskah Babad Galuh Majapait dan Babad Galuh Dumugi Mataram. Naskah ini ditulis dengan huruf latin; Prosa, diatas kertas HVS; Rol 107.04, berisi ringkasan sebuah naskah pegon yang dipinjam Pigeaud dari Tuan I. Behrens di Banyuwangi. Naskah induk berasal dari keluarga R.T. Kusumanegara, seorang Bupati Banyuwangi keturunan Madura. Naskah asli itu terdiri dari 889 halaman, semuanya teks diringkas, berisi: Babad Galuh Dumugi Mataram (43 pupuh), Suluk Abdul Jalil, Papali Ki Ageng Sela, Suluk Sahadat, berbagai keterangan tentang agama Islam, sebagian memakai ungkapan wangsalan, Serat Ambiya (27 pupuh), dan Cariyos Nabi Dawud anakekaken Dewi Wuryan, nanging boten tinanggapan (20 pupuh). Ringkasan disusun oleh R. Mandra sastra pada tahun 1934, atas permintaan Th. Pigeaud, mungkin di Yogyakarta. Lihat FSUI/-SJ.61 untuk turunan pupuh 1-10 teks Babad Galuh dari naskah induk yang sama.
Menurut Van Deur Meulen, Galuh berasal kata dari SakaLoh, hanya saja
lidah orang Banyumas menyebutnya Sagaluh. Demikian pula penggunaan kata
untuk suatu daerah, yang banyak menggunakan nama Galuh adalah para
penduduk Jawa Tengah bagian barat, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh
(Purbolinggo), Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan Sungai Begaluh
(Leksono), Samiga luh (Purworejo), dan Sagaluh (Purwodadi).
Galuh dimasa lalu digunakan untuk nama tiga kerajaan yang ada di daerah Jawa Bagian Barat.
Pertama Galuh Purba (Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh Lor – Galuh luar) berpusat di daerah Dieng. Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya).
Galuh dimasa lalu digunakan untuk nama tiga kerajaan yang ada di daerah Jawa Bagian Barat.
Pertama Galuh Purba (Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh Lor – Galuh luar) berpusat di daerah Dieng. Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya).
DALAM BABAD BANYUMAS
Letak Galuh Purba versi Babad Banyumas (Sumber : Babad Banyumas.
Wikipedia–Ensiklopedia Bebas. http://map-bms. Wikipedia.
org/wiki/Babad_Banyumas) berada disekitar Gunung
Slamet, untuk kemudian dilanjutkan disekitar Garut dan Kawali. Cuplikan
babad dimaksud, sebagai berikut :
Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangunnang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut-Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken peme rentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai. Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas. Babad Banyu mas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi leuwih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedulan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan. Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.
Galuh dalam versi Banyumasan mungkin tidak mengenal eksis tensi Karang
Kamulyan - Ciamis, sebagai lokasi Galuh pasca Kendan, sehingga jamannya
langsung melompat kemasa Kawali. Jika saja versi Banyumas digunakan
sebagai acuan pokok maka sejarah Sunda Terus-bawa menjadi hilang dan
tidak memiliki hubungan dengan Pajajaran. Dalam hal ini kiranya perlu
mempertimbangkan keberadaan Naskah Pararathon Parahyangan dengan
Carita Parahyangan, kedua naskah itu lebih fokus membincangkan masalah
Galuh (Parahyangan), sehingga runtutan sejarah yang sudah ditemukan
dapat dikaji lebih jauh. Namun Galuh versi Banyumasan tentunya dapat
menunjukan keberadaan tungtung Sunda sebagaimana yang ditulis Bujangga
Manik, pada abad ke-16, dan lalampahan Banyak Catra di Kerajaan Pasir
Luhur. Naskah menyebutkan pula bahwa wilayah kekuasaan Galuh (Ka wali)
meliputi lebih setengah dari wilayah Jawa Tengah sekarang (Kemungkinan
sampai Kedu dan Purwodadi).
BABAD GALUH IMBANAGARA
Kisah Galuh pasca runtagna karajaan Sunda ditulis pula didalam Naskah
Babad Galuh Imbanagara, meskipun naskah ini merupakan karya sastra
imajinasi pengarang, namun didalamnya tersimpan fakta dan pemikiran
yang dituangkan penulisnya yang mengutip dari paririmbon dan
catatan-catatan peninggalan menak terdahulu. Karya ini tidak lepas dari
kondisi yang turut memengaruhi suasan kebatinan pengarang Babad Galuh
Imbanagara. Apalagi, apabila dilihat dari geografi yang diutarakan atau
nama bupati yang dituliskan, tertulis pula dalam sejarah Kehidupan Kaum
Menak Priangan.
Dalam Babad Galuh Imbanagara disebutkan bahwa asal usul nama wilayah di
sekitar tersebut sebagai napak tilas perjalanan asal di sekitar Gunung
Padang yang ada di Desa Nagrog, kemudian disebutkan pula Desa Bungur, Desa Pasir
Angin, Astana Gede, Desa Darmacaang (di Darmaraja Sumedangkah???), Cikoneng-Ciamis, Sorok Tonggoh, Desa Kawali, Desa Cikedengan, Desa Ciherang dsb.
Seluruh desa yang ditulis di dalam Babad Galuh Imbanagara sampai
sekarang masih ada di Kabupaten Ciamis.
Naskah Babad Galuh Imbanagara menyebutkan leluhur yang melahirkan para
bupati adalah Maha Raja Adimulya (Ciung Wanara), putra dari yang bernama Ratu Permana (Permana di Kusuma/Ki Ajar Padang).
Karena keadilan Maha Raja Adimulya (sang Manarah) selama memegang tampuk pimpinan, kerajaannya menjadi aman sentosa, sejahtera, dan rakyatnya mencintai sang raja. Kondisi negara yang kondusif ini menyebabkan Sang Maha Raja merasa puas, sehingga ia mempersiapkan dirinya secara tenang mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ia kemudian meletakkan jabatan yang diembannya kepada pembantu (mantri jero) kepercayaannya yang bernama Bondan (Hariang Banga).
Karena keadilan Maha Raja Adimulya (sang Manarah) selama memegang tampuk pimpinan, kerajaannya menjadi aman sentosa, sejahtera, dan rakyatnya mencintai sang raja. Kondisi negara yang kondusif ini menyebabkan Sang Maha Raja merasa puas, sehingga ia mempersiapkan dirinya secara tenang mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ia kemudian meletakkan jabatan yang diembannya kepada pembantu (mantri jero) kepercayaannya yang bernama Bondan (Hariang Banga).
Kearifan Maha Raja Adimulya itu pun dicontoh dan diteladani oleh
keturunan ke-13 atau bupati ke-16 yang memimpin Galuh, Adipati Aria
Koesoemadiningrat. Ia dikenal rendah hati dan merakyat, yang dapat
disimak dari kebiasaannya berjalan-jalan ke kampung-kampung setelah
salat Subuh untuk menyaksikan dari dekat kehidupan rakyatnya. Kedekatan
dengan masyarakat juga dilakukan dengan cara bergaul dan berkumpul
berkumpul dengan para sesepuh guna menyerap pengalaman masalalu dan menyimak sejarah para pendahulunya. Selain itu, Adipati juga membicarakan persoalan-persoalan dengan generasi muda.
Keberhasilan Adipati Aria Koesoemadiningrat memimpin Galuh diakui
pemerintahan kolonial Belanda sehingga mendapat penghargaan RIDDER ORDE
VAN DEN NEDELANDSCHE LEEUW dan GOUDEN MEDA-ILLE METEERE KETTING. Dari
naskah Babad Galuh Imbanagara banyak pelajaran yang dapat dipetik,
terutama tentang keteladanan dari pemimpin di masa itu. Padahal jabatan
pemimpin masa itu didapatkan dari turun-temurun.
DALAM NASKAH CARITA PARAHYANGAN
Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah
Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan
menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya,
pendiri Wangsa Sanjaya di Mataram Kuno, yang prasastinya ditemukan di
Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan
Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah
Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan
Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu
jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan
dianggap data sekunder.
Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan
beragam. Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap
tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan pamali, teu
wasa. Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang
kebetulan karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka
aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya
istilah tabu bukan lagi berasal dari teu wasa, melainkan takut
dicemoohkan sebagai agul ku payung butut, masalah inilah yang ikut
menghambat tutur tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.
Carita Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh, yakni :
Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandang greba dan Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun.
Sang Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerinta hannya
didaerah Kendan (sekitar wilayah Cicalengka Bandung) sekaligus bertindak
menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Sang Suraliman,
putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suraliman sebelumnya menjadi
senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang
yang tangguh. Dari sejarah Suraliman tersebut, masalah kegiatan agama
nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa
tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya.
Sang Suraliman memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati.
Sang Kandiawan kemudian dijadikan penguasa di Medang Jati. Didalam
Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun
bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya
ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalankan
pemerintahannya di Medang Jati. Sang Kandiawan memiliki lima orang
putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan
Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya adalah
mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra
bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan dise babkan berhasil
menombak kebowulan, mungkin maksud penulis Carita Parahyangan
menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Namun
mengingat penulis Carita Parahyangan sangat irit mengisahkan suatu
masalah, maka ia ditulis demikian.
Tentang Keturunan Kandiawan yang diuraikan dalam Cerita Pa rahyangan,
diterjemaahkan oleh Atja (1968) dengan mengguna kan bahasa sunda Kiwari,
sebagai berikut :
Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Raja putra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahi angta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeus na rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mang rupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungka lah, sang Katungmaralah, Sang Sandang greba jeung Sang Wretikandayun. Rahiyangan di Me dangjati lawasna nga deg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah Bunga tak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungka lah jadi tukang moro, Sang Katung maralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandang greba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.
Dalam Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh
bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda
Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi
kegiatan pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke
Karang kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan
pemerin tahan dan kegiatan keagamaan.
Sebagaimana diuraikan dalam naskah Wangsakereta, Manikmaya memperoleh
wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tenta ra dan penduduknya dari
Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan
Negara lain. Namun pada ta hun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh
melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara.
Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9 memang sudah
kurang wibawanya dimata raja-raja daerah. Ma salah ini terus berlanjut
hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal
dan tidak memiliki putra Mahkota, pemerintahan di serahkan kepada
menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan
Tarumanagara.
Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumana gara seperti
jaman Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura.
Keinginannya tersebut diwujudkan dengan cara ia memindahkan dan mengubah
Tarumanagara menjadi Sunda, namun ia tidak memperhitungkan akibatnya
terhadap negara bawahannya, yang merasa tidak lagi memiliki ikatan
kesejarahan.
Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kera jaan yang
menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar.
Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah
timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Dilihat dari masa periodenya,
Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni Galuh dapat dibagi
menjadi tiga jaman.
Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja–Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak–Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas.
Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja–Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak–Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas.
GALUH DALAM WAOSAN BABAD GALUH
Babad Galuh dari koleksi Kraton kasepuh Cirebon, kemudian di jadikan
rujukan dalam Waosan Babad Galuh, ditulis oleh Amman Wahju, intinya
mengisahkan tentang Galuh pada masa Ciung Wanara sampai dengan Prabu
Siliwangi dan sekeselerna. Misalnya tentang Ciungwanara mendirikan
negara Pakuan; Para pembantu Prabu Ciungwanara; wilayah kekuasaan;
Purbasari; dan pembagian kerajaan Pajajaran. Kemudian kisah Prabu
Linggahiyang menjadi raja di pakuan dan Parbu Linggawesi anak Prabu
Linggahiyang. Kisah Prabu Wastukancana menjadi raja di Pajajaran. Susuk
Tunggal (putra Wastukancana) dinobatkan menjadi raja di Pajajaran,
serta kisah Anggalarang yang mencari ayahnya. Prabu Susuk Tunggal
meninggalkan Pajajaran dan melarikan diri ke Sindangkasih. Prabu
Anggalarang menjadi raja di Pajajaran. Kisah Prabu Jayalengkaradan
kelahiran Mundingkawati, serta Munding kawati mengganggu isteri-isteri
Jaya Lengkara. Kisah bayi Siliwangi yang tertinggal di Tegal Siliarum.
Dalam Babad ini Prabu Mundhing-kawati disebut-sebut sebagai ayah dari
Prabu Siliwangi. Ia sangat gemar berburu kijang. Dikisahkan sang raja
melakukannya secara berlebihan, hal mana telah meresahkan
kijang-kijang siluman yang kemudian melakukan serangan balik kepada
sang raja beserta rakyatnya. Tak ada yang mampu mengalahkan
kijang-kijang siluman tersebut sehingga akhirnya sang raja melarikan
diri ke gunung Tarogong yang terletak di kaki Gunung Guntur di arah
barat laut kota Garut sekarang. Kisah berburu tidak saja diceritakan
dalam Naskah Babad Galuh, melainkan pula didalam Carita Parahyangan,
bahkan Wretikandayun memperoleh tahta Galuh setelah ia keluar pemenang
sebagai pemenang sayembara berburu.
Menghadapi serangan kidang menjangan yang bertubi-tubi ini, raja
Mundhing-kawati bersama sanak keluarga, isteri dan para pengikutnya
pergi mengungsi. Habis semuanya menyingkir ke segala penjuru, mereka
keluar dari kutha Pajajaran. Mereka pergi berduyun-duyun dengan
tergesa-gesa semua melarikan diri dengan caranya masing-masing. Gunung
Tarogong lah yang menjadi tujuan, tepatnya ke arah utaranya ke Tegal
Uwar ayu. Maksudnya akan pergi bersembunyi untuk menghindar, disitulah
tempatnya pandhe siluman, yang awalnya bernama Pagongan halimun. Dahulu
gunung itu termashur dengan nama Gunung Antragangsa. Itulah gunung yang
dituju untuk mengungsi oleh sang Prabu bersama isteri dan para selirnya
yang ikut serta. Dengan tergesa-gesa mereka pergi berduyun-duyun ke
tempat itu, yang tertinggal sudah tidak diperdulikan lagi.
Pada waktu itu permaisuri raja sang Dewi Terusgandarasa sedang hamil
sembilan bulan, sang Permaisuri berjalan dengan perlahan-lahan seperti
layaknya yang sedang hamil tua. Dalam perjalanan mereka me lalui Tegal
Sili yang harum baunya, disitu sang putri dikejutkan oleh Kijang
Langgon, dan Menjangan Gumalunggung.
Prabu Mundhingkawati kepergiannya seperti diburu musuh, ti dak ingat
anak isteri, mereka berlarian menyelamatkan dirinya masing-masing,
sehingga sang puteri yang sedang hamil pun me lahirkan bayinya di Tegal
Sili yang baunya wangi. Sang bayi tidak terasa keluar karena
terburu-buru mengikuti suaminya lari untuk berlindung di gunung Antra
gangsa. Prabu Mundhingkawa ti berseru, “He Gunung Tarogong, tolonglah
kami yang sedang prihatin ini yang tengah diburu oleh Kidang sakti dan
Menjangan racun. Semula kidang-kidang itu banyak yang kami buru, sekarang kami yang diburu mereka. Mereka mengamuk, dan para mentri kami
tidak ada yang mampu menghadapinya. Prajurit kami banyak yang mati,
ditendang atau digigit. Orang Pakuan semua bubar kesini dengan maksud
akan menghindar, cepat tolong lah kami”. Dimintai pertolongan dengan
beramai-ramai seperti itu gunung Sanghyang Gunung Tarogong kemudian
terbuka, dan terlihat di perut gunung ada alam lain.
Mundhingkawati beserta rombongannya masuk ke dalamnya, ke alam yang
berada di dalam perut gunung. Sesudah masuk semua kemudian gunung itu
menutup kembali seperti semula. Hal ini merupakan meradnya Prabu
Mundhingkawati ke Gunung Tarogong. Mereka tidak akan keluar lagi
selamanya, Kidang dan Men jangan itu pun tidak bisa menggangu sang Prabu
lagi.
Selanjutnya dikisahkan Dewi Trusgandarasa terkejut ketika dia sadar
bahwa perutnya sudah kosong, perasaannya akan melahir kan namun dia
tidak merasa hamil lagi karena lupa waktu lari tadi. Permaisuri menangis
dengan sangat sedihnya, “Anakku di manakah kau berada, dimana gerangan
jatuhnya, siapa yang bisa menemukan bayi kami yang tertinggal itu?”.
Prabu Mundhingka wati menghiburnya dengan lembut, “Perihal anak kita
yang ter tinggal itu, tentunya dialah yang akan meneruskan peninggalan
kita”.
Dikisahkan mengenai sang bayi yang tertinggal di Tegal Siliarum. Bayi
itu ternyata telah diketemukan oleh seekor induk harimau. Sang harimau
menjilati pepelem sang bayi itu seperti halnya me mandikannya,
ari-arinya yang tertinggal digigitnya hingga putus dan puput.
Tindakannya sama seperti halnya induk kucing yang tengah membersihkan
anaknya. Sang bayi meronta-ronta, dan tidak lama kemudian induk harimau
itu pergi meninggalkannya. Kemudian ada seorang pencari kayu bernama
Kakek Borit melihat bayi tergolek menangis di tengah hutan maka dia pun
merasa belas kasihan dan segera mengambilnya. Bayi itu dibawanya pulang dan diberi nama Siliwangi, karena asalnya diketemukan di Tegal
Siliarum, di pinggir hutan di gunung. Bayi Siliwangi kemudian
dibesarkan di tengah keluarga pencari kayu itu. Begitulah sebagai anak
Kakek Borit, Siliwangi seperti halnya anak pemungut kayu penampilannya
kumuh, dan badannya kotor. Dengan keadaan seperti itu waktu kanak-kanak,
tidak terlihat petunjuk bahwa dia adalah anak seorang raja. Siliwangi
tumbuh sebagai anak kecil dari gunung yang kotor dan tidak pernah mandi,
dengan rambut yang gimbal tidak terurus. Pemberian nama Siliwangi
tentunya berlainan dengan pendapat ahli kasundaan, yang banyak
menyebutkan Siliwangi adalah gelar, bukan nama sebenarnya. Ini pun
dihubungkan dengan Gelar Sri Maharaja yang gugur di bubat sebagai Prabu
Wangi. Sedangkan para penggantinya disebut Sili(h)wangi.
Dikisahkan Kidang jejadian mengetahui hilangnya sang Prabu. Mereka
menjadi marah dengan mengobrak-abrik Pajajaran. Para menak dan kuwu
hilang melarikan diri dikejar ketakutan sehingga tidak ada lagi yang
mau tinggal di kota. Pemukiman di tinggal pergi hingga keadaannya kosong
dan sekarang diisi Kidang dan Menjangan yang bergerombol hilir mudik
siang dan malam. Keangkuhannya bagaikan tentara yang telah memenangkan
peperangan dan dia yang sekarang menjadi penguasanya. Di situlah awalnya
tempat tinggal para menak dan kuwu menjadi seperti kena tulah, mereka
takut untuk menyerang karena takut diamuk. Dalam ketakutan mereka semua
minggir ke tempat yang jauh-jauh.
Kidang Panawungan dan Menjangan Gumalunggung terus melampiaskan
amarahnya mengamuk ke arah barat, menyerang Pakuan Parahyangan, tempat
Prabu Sepuh Ciungwanara. Menak Parahyangan menghilang ketakutan. Mereka
pergi mengungsi meng hindar ke gua dan gunung yang jauh. Prabu
Ciung Wanara mengungsi ketempat sunyi di pertapaannya Ajar Ujung
Banaliwung. Disitu dia dilindungi oleh Ki Ajar Padang.
Prabu Ciungwanara sangat memahami jika anak cucunya sudah bercerai berai menyelamatkan diri. Mereka semua berlarian tidak memikirkan lagi kedudukan. Negara sudah porak poranda dikalahkan Kidang jejadian dan ditempati oleh Kidang menjangan inton-inton.
Prabu Ciungwanara sangat memahami jika anak cucunya sudah bercerai berai menyelamatkan diri. Mereka semua berlarian tidak memikirkan lagi kedudukan. Negara sudah porak poranda dikalahkan Kidang jejadian dan ditempati oleh Kidang menjangan inton-inton.
Dalam keangkuhannya mereka mengusir raja, membalas dendam karena diburu
oleh Mundingkawati. Yang semula memburu sekarang berganti diburu.
Kidang Panawungan beserta pengikutnya menguasai di Pakuan Barat yaitu
Parahiyangan. Malahan mereka sudah mempunyai anak bernama Kidang
Pananjung yang kemudian berubah menjadi manusia. Adapun Manjangan
Gumlunggung dengan pengikutnya menguasai wilayah Pajajaran, para kuwu
Pakuan sebelah timur. Sedangkan daerah Pajajaran sebelah tenggara sudah
dikuasai oleh Kidang Sampati, sebelah baratnya oleh Kidang Panawung, dan
sebelah timurnya oleh Manjangan Kumlingking yang sudah menurunkan anak
bernama Manjangan Gumaringsing yang berupa manusia.
Siliwangi masih kecil dan masih menjadi anak penggembala. Jelek dan
kotor, anak kecil yang tidak mengetahui adat istiadat. Tidak lama
kemudian dia memperoleh kebahagiaan. Puteri dari menak Sindangkasih yang
bernama Nyi Rara Sigir tertarik untuk mengambil Siliwangi. Anak itu
diurus serta dimandikannya sehingga muncul cahaya kebesarannya.
Sekarang tampak tanda-tanda bahwa dia adalah keturunan dari bangsawan
besar. Gilang-gemilang bersinar cahayanya, memancar keluar sehingga
sang Ayu Rara Sigir jatuh cinta kepadanya dan menginginkannya untuk
menjadi jodohnya. “Jadikanlah Jaka Siliwangi ini menjadi jodohku, semoga
tercapai keinginan hatiku”, begitulah permintaannya.
Dikisahkan pula bahwa pada waktu itu terjadi malapetaka. Ciptaannya
Dalem Palimanan bermaksud akan menculik Putri Rara Sigir. Raksasa itu
datang menyambar sang putri, namun sang putri Sigir dapat mengelak dan
segera ditolong oleh Siliwangi. Dua raksasa itu dilawannya, ditendang
hingga raksesa itu jatuh terguling-guling. Ketika itu semua orang di
Sindangkasih menyaksikan akan kesaktian Siliwangi. Mereka menduga bahwa
anak itu pasti nya bukan anak sembarangan karena mampu mengusir kedua
raksasa itu. Dengan kejadian itu orang Sindangkasih mulai melihat
Siliwangi tidak bisa diremehkan.
Setelah sekian lama, timbul keinginan Siliwangi untuk mengusir para
menjangan jejadian, hal mana dicegah oleh Rara Sigir. “Jangan laku kan
itu, aku khawatir kamu tidak akan mampu melawannya karena kesaktian
mereka itu tidak tertandingi. Mereka telah mampu mengalahkan Prabu
Mundingkawati”. Pemuda Siliwangi menjawab, “Mati dalam membela negara
adalah permata bagi seorang laki-laki. Mencari apa lagi, bukankah dengan
perbuatan itu surga indah akan diperoleh nya kelak”. Tidak dapat
dihalangi lagi, kemudian Siliwangi berangkat. Tanpa membawa pengiring
dan hanya dengan membawa panah dan busurnya dia pergi menantang bahaya
yang menantinya. Kyan Manjangan Gumulung sudah bersiap-siap menghadapi
kehebatan manusia yang datang itu. Siliwangi diterjangnya namun lolos
seperti menerjang bayangan saja. Kemudian serangan Manjangan
Gumalunggung diba lasnya, anak-anak panahnya dilepaskan dan diamuk
dengan pemukul, hingga akhirnya rusa itu pun rebah dan mati. Kemudian
anaknya, yaitu Manjangan Gumaringsing, datang membela dengan bala
tentaranya. Namun Manjangan Gumaringsing segera di sambut oleh senjata
Siliwangi. Senjata itu mengenainya dan dia terbawa terbang, dan ketika
jatuh dia berubah menjadi manusia. Kemudian Manjangan Gumaringsing
segera menyerahkan diri de ngan memberi hormat kepada Siliwangi.
Betapa kagumnya para menak dan kuwu yang menyaksikan kesaktian
junjungannya. Selama sebelas tahun kota-kota telah kosong dan baru
sekarang ada seorang pemuda Siliwangi yang mampu merebut kembali, dan
lebih dari itu Manjangan Gumaringsing telah menyerahkan diri dan
berbakti kepadanya. Dia di ampuni dan diberi daerah kekuasaan di Gunung
Galunggung.
Siliwangi pergi ke arah barat menuju Parahiyangan. Kidang Panawugan
waktu melihat berkelebatnya kedatangan manusia maka segera memburunya
dan Jaka Siliwangi pun kemudian dihadapinya. Namun dengan mudah disabet
dan dipanah oleh Siliwangi hingga Kidang Panawungan pun mati. Kemudian
sang anak, Kidang Pananjung, datang hendak membela ayahannya. Dia menghadapi Siliwangi namun diapun segera terkena oleh panahnya Siliwangi.
Kidang Pananjung jatuh dan berubah menjadi manusia. Kemudian dia datang
menyembah kehadapan Siliwangi. Itulah awalnya bagaimana menak-menak
Parahiyangan bisa kembali lagi ketempatnya dan berkedudukan lagi seperti
waktu dahulu. Sebelas tahun lamanya mereka mengungsi dan sekarang bisa
dipulihkan kembali oleh Jaka Siliwangi. Kidang Pananjung kemu dian
diampuni dan diberi daerah di Panawungan.
Pulih sudah keamanan di Bumi Pajajaran, Siliwangi mulai meng himpun
pemerintahan di Pajajaran yang kelak bakal diperintah nya sebagai raja
yang kuat. Tidak antara lama Prabu Sepuh Ciung wanara pergi ke
Ujungbana. Dia sangat berterimakasih atas pertolongan jejaka perwira
muda yang sakti ini, yang telah merebut kemuliaan yang sangat besar, dia
akan menjadi penerus raja Pajajaran. Tidak lama kemudian datang
Sanghyang Parwatali, Sang hyang Talibarat, Gelap Nyawang dan para
saudaranya yang lain memberitahukan bahwasanya pemuda itu adalah anaknya
Mundingkawati yang dilahirkan di tegal padang Siliarum. Ketika di buru
oleh Kidang Manjangan, waktu itu sudah waktunya sang bayi lahir hingga
dilahirkan di perjalanan. Sang bayi jatuh tertinggal di Tegal
Siliwangi. Adapun kedua orang tuanya masuk ke gunung meninggalkan bayi
itu. Sang bayi dibersihkan oleh seekor induk harimau, kemudian
ditemukan oleh Ki Borih dimana dia memperoleh kekebalan dan kesaktian.
MENAFSIRKAN SEJARAH SUNDA
Sumber informasi tertulis diluar masa lalu selain prasasti, yang sering
dirujuk pada dasarnya masih belum menemukan titik persamaan. Mungkin
hal ini disebabkan oeh bedanya waktu dan tempat penulisan, atau para
penulis memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentang para tokoh,
sehingga Sosok Siliwangi pun yang keberadaannya sangat diyakini oleh
masyarakat tradisional, oleh para akhli di masa modern ini hanya
dianggap sebagai tokoh sastra. Sekalipun demikian, ada pula yang
menyanggah pendapat ini. Seperti menyebutkan bahwa Siliwangi itu gelar,
bukan nama sebenarnya. Selain itu urang sunda merasa teu wasa bila
nyebut rasa yang dhormatinya dengan sebutan nama aslinya, sehingga nama
gelar yang sering digunakan. Menafsirkan sejarah Sunda masa lalu tentu
pula tidak dapat ditafsirkan sacerewelana.
Mengingat banyak menggunakan simbol, silib, siloka maka gunakan Sandi; Simbol; Siloka; Silib; Sindir-Sampir dan Sasmita dalam menafsirkan sejarah sunda.
Mengingat banyak menggunakan simbol, silib, siloka maka gunakan Sandi; Simbol; Siloka; Silib; Sindir-Sampir dan Sasmita dalam menafsirkan sejarah sunda.
Tidak ada komentar