Pantun Sunda
Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop,
namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi seni
dan cerita Pantun. Memang ada perubahan instrumen kecapi pantun yang
semula berda wai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya
seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan
akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang diguna kan untuk
mengiringi kacapi tersebut adalah pelog, selanjut nya banyak menggunakan
laras salendro.
Seni Pantun saling mempengaruhi dengan seni tembang Cianjuran, seperti
pada lirik (rumpaka), lagu Cianjuran dan waditra dari kacapi pantun
sampai sekarang, bahkan beberapa lagu cianjuran yang berwanda papantunan
sangat kental nuansa ritualnya. Ciri-ciri tembang cianjuran yang
berwanda papantunan berlaras pelog; lagu berirama merdika; tesisnya
jatuh pada nada-nada 2 (mi) dan 5 (la); cara pirig kacapi dikemprang;
tidak mengandung nada-nada tinggi; lirik (rumpaka) berbentuk puisi
pantun, setiap barisnya terdiri dari 8 suku kata, bersajak (murwakanti),
sisindiran atau pupuh. (Apung S. Wiraatmadja : 2006)
Pada masa tersebut pantun dibawa masuk kedalam ling kungan kedaleman
Bupati Cianjur, bahkan para juru pantun banyak diantaranya seniman
kadaleman, sehingga ada unsur yang saling mempengaruhi antara pantun dan
tembang Cian juran. Beberapa juru pantun ternama dari Cianjur,
diantaranya R.Tjandramanggala, yang hidup pada masa pemerinta han Dalem
Pamoyanan (1691-1707); R.Tjakradiparana, yang hidup pada masa
pemerintahan Dalem Moehidin (1776); Ki Wasita pada masa Dalem Enoch
Pancaniti (1834-1863); Aong Djajalahiman pada masa pemerintahan Dalem
Prawiradireja 2 (1863-1910).
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan
didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkirakan ditulis pada tahun
1518 Masehi, bahkan kebera daan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an.
Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ke
tepatan kepada siapa harus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun
maka perlu bertanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut
: "Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Haturwangi; prepantun tanya." (Bila ingin tahu tenetang pantun, seperti
Langgalarang, banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun).
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melainkan juga
kandungan dan makna dari kisah yang di tuturkan pemantun (petutur
pantun), terutama tentang toton den mangsa yang sering diselipkan Ki
Juru Pantun. Pantun Sunda sama hal nya dengan teater tutur di wilayah
Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyu mas,
warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sula wesi Selatan,
bakaba di Minangkabau.
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan dari penyediaan
sesajen; ngukus; mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari
pembukaan hingga penutupan; kemudian ditutup dengan mengumandangkan
rajah pamung kas. Alur cerita pantun terdiri dari tiga bagian, yaitu
Rajah Pembuka, isi cerita dan rajah penutup (pamunah). Rajah pem buka
dan rajah penutup biasanya dilagukan, sedangkan isi ce rita di dilagukan
atau di bacakan narasinya. Pertunjukan pan tun dilakukan pada malam
hari. Jakob Sumardjo megistilah kan waktu pertunjukan pantun, yaitu : di
luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara
ngaru wat (ruatan), biasanya dimulai tengah malam sampai hampir
terbitnya matahari. Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua
bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual nga ruat (ruatan). Cerita
untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang
dikuasai juru pantun, sedang kan untuk acara ritual (ngaruat), sama
halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.
Ngaruat
Ngaruat asal kata dari ruat. Menurut kamus bahasa Sunda (Danadibrata :
2006), berarti menyelamatkan barang baru atau manusia agar bermanfaat,
panjang umur, singkatnya su paya selamat dunia dan ahirat. (Kecap
pagawean kariaan nya lametkeun barang anyar atawa Jelema supaya awet
kapake na, genah dipibanda, panjang umurna, pendekna supaya sala met
dunia akhirat).
Kisah yang biasanya digunakan untuk acara ngaruat adalah cerita Batara
Kala, Kama Salah atau Murwakala. Biasa nya yang diruat adalah anak
tunggal,anggung bugang (anak yang adik dan kakaknya meninggal),kulah
dihapit kupancuran (anak perempuan yang adik dan kakaknya
laki-laki),pancuran di hapit kukulah (anak laki-laki yang kakak dan
adiknya perempuan), pandawa lima (anak laki-laki lima orang), rumah
sujen (tanah yang sekelilingnya rata namun te- ngahnya menjorok, ;lmah
gunting (tanah yang bentuknya seperti gunting).
Sumber Kisah Batara kala berasal dari cerita lisan. Sumber dari berita
lisan berasal dari cerita Pantun, Wayang dan Beluk. Namun ditemukan pula
naskah Sunda Kuna, yang ber aksara Budha atau aksara Gunung, yang
diberi nama Kala Purbaka. Naskah tersebut diperkirakan seumur dengan
naskah Kidung Subrata. Naskah ini pemberian dari Friedirich, pemerihati
kebudayaan Jawa dan Bali. Secara bertahap dise rahkan pada bulan Mei
sampai dengan April 1869. Saat ini di simpan di perpustakaan pusat,
bernomor lontar 506 atau naskah Kala Purbaka. Naskah ini nyebutkan nama
lain dari Batara Kala, sebagai berikut :
Mari haran siya :
Sang bangbang
Sang kama salah
Sang keteriti
Sang Buta Tuwa
Sedangkan tempat tinggal Batara kala disebutkan didalam naskah tersebut,
sehingga urang sunda menghindari adanya kondisi lingkungan seperti
dibawah ini :
.............. Di tu kwata manuk Lemah/pedek hingseup-ingseup Garanggangan-garunggungan, Lenging landak panggung ning warak Kayu geutah, kayu getih, Oyod kumedang-kumedung, Rangdu kepuh karameyan, Catang nonggang catang nong geng (Di sanalah kota manuk, Tanah padat dan pengap, Tanah yang berbukit-bukit Sarang landak dan kubangan badak Kayu bergetah kayu berdarah, Akar menjalar kemana-mana, Pohon randu yang rimbun, Batang pohon berserakan).
Sumber Kisah Pantun yang sama dengan naskah kisah-kisah yang ditulis
didalam naskah Sunda Kuna dimungkinkan masih banyak, seperti kisah Ciung
Wanara (manarah) ditulis di dalam carita Waruga Guru dan Carita
Parahyangan, bahkan kisah ini bukan hanya mengalami transformasi lintas
budaya, melainkan lintas bentuk. Tidak hanya dikenal di bumi Parahya
ngan, melainkan juga di Banten dan Jawa Tengah. (Titik Pudji astuti :
2006).
1. CM. Pleyte (1911) menerbitkan kisah Ciung Wanara deng an judul De
Lotgevallen van Tjioeng Wanara Naderland vorst van Pakuan Padjajaran
(Tjarita Tjiung Wanara mimi tina Ditjaritakeun ti Nagara Galih Pakoean).
Didalam peng antarnya Pleyte menjelaskan, bahwa Ciung Wanara dan
kakaknya Aria Banga telah disebut-sebut di dalam naskah Tjarita
Parahiyangan yang digubah sekitar tahun 1500 AD.
2. Didalam Teks Sajarah Banten Besar, terdapat teks naskah Ciung Wanara
diantara sembilan teks lainnya, saat ini di simpan di Perpustakaan
Universitas Leiden (Belanda). Menurut Snouck Hurgronye, adalah salinan
naskah tua tuli san Jawa yang ditulis oleh Bupati Serang, Soetodiningrat
pada tahun 1892.
3. Kisah Ciung Wanara dikarang oleh Djajengwiardja di Yogyakarta.
Menurut Kiai Djaka Mangoe, penulisnya, naskah ini bersumber dari Babad
Tanah Djawi, yang naskah asli nya ditulis dalam aksara Jawa dengan
menggunakan dalu wang. Pada tahun 1933 oleh Pigeaud disalin kedalam ba
hasa Belanda. Naskah tersebut semula ditujukan untuk menjelaskan alasan
orang Jawa senang memelihara bu rung perkutut. Naskah tersebut saat ini
menjadi koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Salah satu cuplikan kisah Manarah didalam Carita Waruga Guru, sebagai berikut :
Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina. Ari dibuka, behna murang kalih, endog disileungleumkeun, keris. Tuluy diteundeunkeun murangkalih. Tuluy dirorok, dipangninggurkeun. Lawas-lawas datang ka tegus cangcut. Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.Bwat ciung. “Ayah, nahaeun eta?” “Ngaranna ciung, anaking.” Bot indung na, bwat bapana, bwat anakna. Purhiber bapana. “Ayah, ka mana eta arahna?” “Piaraheunnana ka daleum da yeuh.” “Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”
Kisah Sang Manarah didalam Carita Parahyangan dite rangkan, sebagai berikut :
Tembey Sang Resi Guru ngayuga taraju Jawadipa, taraju ma inya Gulunggung, Jawa mati wétan. Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan, dwa sapilanceukan denung Rahiyang Banga. Sang Mana rah males hutang; Rahiyang Tamperan sinikep deneng anak nira. Ku Sang Manarah dipanjara wesi na Rahiyang Tamperan. Datang Rahiyang Banga, ceurik, teher mawakeun sekul kana panjara wesi, kanyahoan ku Sang Manarah. Tuluy diprangrang deung Rahiyang Banga. Keuna mukana Rahiyang Banga ku Sang Manarah.Ti inya Sang Manarah adeg ratu di Jawa pawwatan. Carék Ja wana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu. Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dala panpuluh tahun, kena rampés na agama.
Kekhawatiran adanya pergeseran terhadap originalitas kisah Pantun sangat
cukup beralasan, jika tidak ada rujukan dokumentasi kisah-kisah patun.
Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan adanya kelemahan dari lajimnya
tradisi lisan; sa ngat merdekanya juru pantun membawakan kisahnya; serta
para pemantun sangat kontekstual di dalam mengisahkan suatu cerita,
dilarapkan dengan kondisi kekinian pada waktu pantun tersebut di
kisahkan, sehingga kisah yang di tuangkan dan diingat generasi
berikutnya dan penerusnya menjadi ikut bergeser. Demikian pula terhadap
pemaknaannya.
Kesenian Pantun Sunda bercirikan budaya Sunda deng an berbagai aspeknya,
terutama aspek kepercayaan dan Budi Pekerti Sunda Kuna. Hal ini memberi
dampak terhadap nilai dan kedudukan seni Pantun di masyarakat, sehingga
seni pan tun berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni Pantun bagi
masyarakat Sunda merupakan medium untuk merasakan ma sa keemasan sejarah
dan kebudayaan masa lampau di tatar Sunda. Menyimak kisah pantun
adakalanya bukan hanya men dengarkan rundayan cerita, seperti
mendengarkan kisah do ngeng melainkan harus memecahkan silib, sampir dan
siloka yang terkandung didalam kisah Pantun, sama ketika kita me
mecahkan yang dimaksud dalam Uga.
Cerita yang dikisahkan
Cerita pantun berkisar tentang masa lalu karuhun dan simbol-simbol
budayanya. Pantun sering pula membahas ma salah yang terkait dengan Uga
atau totonden mangsa, seperti pantun yang di tuturkan oleh Ki Buyut
Rambeng dari Bogor. Kisah yang terkenal adalah Dadap Malang Sisi
Cimandiri dan Pakujajar di Lawang Gintung. Biasanya dijelaskan tentang
ala san runtuhnya kerajaan Pajajaran, serta meramalkan tanda-tanda akan
lahirnya Pajajaran baru dimasa datang. Salah sa tu tanda lahirnya
Pajajaran didalam kisah Pakujajar di lawang Gintung, sebagai berikut :
Santarupa !
Kiwari, Pajajaran anggeus datang keuna wajah mudu pindah ka sejen alam !
Tapi engke, amun anggeus ngadeg deui Raja anu makuta inyana tina
buludru papak, jeung ngaran inyana wawayangan, Papajaran teh, baris
ngadeg sakali deui !
Tengerkeun !
Engke, amun aya deui Raja meuli prameswari bari rerebut, tah eta tandana
pisan Pajajaran ngahudang ngaran unggah panggung ngalalakon. Lalakona
Matapoe, anu muncur nyam peur aweuhan, aweuhan jaman mulang deui, pieun
ngamus nahkeun kajayaan arinyana : Anu sarakah datang ti wetan - Anu
nyarorok datang ti kaler-Anu baradegong datang di kulon -Anu naripu
datang ti kidul- Tapi masing dia nyaho: Ngadegna Pajajaran
kakalangkangan heula ....... di Rajaan ku loba raja panyelang.
Tengerkeun deui ku dia :
Amun aya raja nitah nuwar eta Pakujajar sadapuran, tah eta pisan tandana : Raja bakal paeh dipaehan !
Tapi lain ku bangsa Pajajaran ....... !
Amun aya raja nitah Pakujajar dijajarkeun jadi papajang taman tengah
Dayeuh anu anyar, Tah eta pisan nya tandana : Anu harita ngadeg raja,
Inya na teh bener titisan Salah sahiji raja Pajajaran !
Tapi, nagara Pajajaran mah acan ngadeg. Sabab nagarana mu du jadi deui
tegal peperangan, Laju nagara dijarieun deui ka rapyak nu eusisna lain
munding, tapi kunyuk nu rupa-rupa, anu baris ngarebutkan Payung Agung.
Anu rajet ku hujan angin !
Pantun Bogor dibagi menjadi dua bagian yakni Pantun Bogor Leutik dan
Pantun Bogor Gede. Pantun Bogor Leutik berkisah sekitar kehidupan
sehari-hari masyarakat Kerajaan Pajajaran atau para putri raja dan
kesatria. Sedangkan Pan tun Gede berkisah tentang ajaran agama Sunda,
silsilah Raja Sunda, Uga, dan pola pemerintahan Kerajaan Sunda.
Dalam perkembangannya, cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu
terus bertambah. Sampai saat ini diperkira kan tidak kurang dari 75
judul kisah pantun. Masyarakat Ka nekes yang hidup dalam budaya Sunda
Kuna sangat akrab de ngan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian
dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disaji
kan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung
Kasarung.
Adapun kisah Pantun yang masih ditemukan dari berbagai sumber, terutama dari buku Lima Abad sastra Sunda, sebagai berikut :
Ciung Wanara
Lutung Kasarung
Mundinglaya di Kusumah
Aria Munding Jamparing
Banyakcatra
Badak Sangorah
Badak Singa
Bima Manggala
Bima Wayang
Budak Manjor
Budug Basu
Sri Sadana
Sulanjana
Bujang Pangalasan
Burung Baok
Buyut Orenyeng
Dalima Wayang
Demung Kalagan
Deugdeug Pati Jaya
Gajah Lumantung
Gantangan Wangi
Hatur Wangi
Raden Tanjung
Senjaya Guru
Munding Jalingan
Munding Kawangi
Munding Kawati
Munding Liman
Munding Mintra
Munding Sari Jaya Mantri
Munding Wangi
Nyi Sumur Bandung
Ringgit Sari Jaka Susuruh
Jalu Mantang
Jaya Mangkurat
Kembang Panyarikan
Kidang Panandri
Kidang Pananjung
Kuda Gandar
Kuda Lalean
Kuda Malela
Kuda Wangi
Langla Larang
Langga Sari
Langon Sari
Layung Kumendung
Liman Jaya Mantri
Lutung Leutik
Malang Sari
Manggung Kusuma
Matang Jaya
Rangga Katimpal
Rangga Malela
Rangga Sena
Ratu Ayu
Ratu Pakuan
Paksi Keling
Panambang Sari
Panggung Karaton
Parenggong Jaya
Raden Mangprang di Kusumah
Raden Tegal
Rangga Sawung Galing
Rangga Gading
Siliwangi
Pantun Bogor :
Kalang Sunda Makalangan
Paku jajar Beukah Kembang
Pakujajar di Lawanggintung
Kujang di Hanjuang Siang
Dadap Malang Sisi Cimandiri Pajajaran Seren Papak
Curug Sipadaweruh
Tunggul Kawung Bijil Sirung
Lawang Saketeng ka Lebak Cawene
Ronggeng Tujuh Kalasima.
Pantun Kanekes
Langgasari Kolot
Langgasari Ngora
Lutung Kasarung
Upaya pelestarian melalui cara mengumpulkan kembali cerita pantun yang
patut mendapat perhatian, dan sekaligus penghargaan dilakukan atas upaya
Ajip Rosidi, dengan sebu ah badan swasta yang diberinama Proyek
Penelitian Pantun & Folklore Sunda. Team ini berhasil mengumpulkan
kisah pan tun, seperti, kisah :
1. Demung Kalagan dan kembang Panyarikan dari juru pantun Ki Kamal Lebak Wangi, Kuningan;
2. Mundinglaya Dikusumah dan Panggung Karaton dari Ki Aceng Tamadipura, Situraja, Sumedang;
3. Parenggong Jaya dari Ki Samid, Cisolok Sukabumi;
4. Gantangan Wangi dari Ki Asom, Pringkasap, Subang; Cerita Ciungwanara dari Ki Subarna, Ciwidey, Bandung.
Dewasa ini perkembangan seni Pantun sangat mempri hatinkan, namun dari
sisi lain ada hal yang cukup mengesan kan, bahwa seni Pantun dapat
bertahan tanpa harus melebur kan diri menjadi satu bentuk kesenian pop,
sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa
lalu, terutama pada fungsi yang sakral menjadi profan.
Rajah
Sakralitas seni pantun akan sangat dirasakan ketika di awali dengan
ngarajah. Pengertian Rajah di dalam kamus bahasa Sunda (Danadibrata :
2006) :
(1) doa, atu jampe nu di lagukeun, memeh prak mantun supaya
salamat lahir bathin salamat nungala lakonkeun, salamat nu nanggapna.
(2) Nga rajah teh minangka menta widi ti para Dewa-dewi, ti sang Rumuhun memeh prak mantun.
Rajah Pamunah: Rajah pikeun tulak bala jeung
pikeun pangnyinglar bala. (berarti : (1) doa atau jampe yang
dinyanyikan, sebelum memulai mantun agar selamat juru pantun maupun
penyelengaranya.
(2) ngarajah sama halnya dengan mohon ijin dari para
Dewa-dewi, dari Sang Rumuhun sebelum mantun. Sedangkan Rajah Pamunah
adalah Rajah untuk tulakbala dan untuk mencegah bala. Seba gai kesenian
yang hidup sejak masa Pra Islam, tak heran jika ungkapan dan ajaran
(petuah) juru pantun merupakan pem bauran keduan jaman itu. Selain
istigfar (Islam) terdengar pu la ungkapan kepada dewata, Pohaci, para
karuhun (leluhur).
Di dalam cerita pantun, rajah termasuk bagian dari ceri ta pantun yang
berisi pemberitahuan tentang permulaan atau akhir cerita. Rajah
pembukaan disebut rajah bubuka, sedang kan pada bagian akhir disebut
rajah pamunah. Rajah bubuka mengandung tujuan, untuk :
1. tanda di mulainya kisah pantun ;
2. memanjatkan doa selamat ;
3. memohon ijin kepada tokoh yang dikisahkan.
Rajah bubuka yang mengandung unsur doa, berisi kata-kata pun sapun (maaf
ijinkanlah), sang rumuhun (yang terdahulu), bul kukus (mengepul asap).
Contoh rajah bubuka tersebut, sebagaimana di bawah ini :
Bul Kukus mendung ka manggung
Kamanggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci neda suci
Kuring reka dia ajar ngidung
Nya ngidung carita Pantun
Ngahudang carita wayang
Nyilokakeun nyukcruk laku
Dalam perkembangan kandungan dan pemaknaan pan tun mendapat pengaruh
seiring dengan kayakinan yang ada di masyarakat Sunda. Hal demikian
nampak dari rajah (doa atau mantra) misalnya tentang kosmologi yang
menyebutkan pohaci, batara, dewa, Batara Guru (Siwa), Hiyang. Pada per
kembangannya, setelah islam masuk ketatar Sunda kerap di selipkan
kata-kata Allah, Nabi Muhammad, Rasul. Pengucap an kalimat ahung,
aslinya aum, kependekan dari mantra Aum Nani Padme Hum, diganti dengan
kalimat Astagfirullah hal-adzim. Hal ini menunjukan seni pantun
dipengaruhi pula oleh nilai-nilai keyakinan, atau simbol-simbol
kosmologi yang ada saat itu, seperti contoh pada rajah bubuka, sebagai
berikut :
Kisah Mundinglaya Dikusumah :
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Bul kukus mendung ka manggung
Nyambuang ka awang-awang
Ka manggung neda suci
Ka dewata neda maap
Kuring rek diajar ngidung
Nya ngidung carita pantun
Ngahudang carita anu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Kadalapan keur disorang
Bok bilih nerus narutus
Bok bilih narajang alas
Palias nerus narutus
Palias narajang alas
Kisah Gantangan Wangi :
Pun sapun
Sang kuyupu ngaraning parukuyan
Sang rupay puting ngaraning seuneu
Sang lingsir putih ngaraning menyan
Kukus nyambuang
Pangandika gusti rosul
Mangka terus ka nu alus
Ka purba ka nu kawasa
Ka nu dihin
Ka nu pasti
Kukus nyambuang
Nuja katatar pasagi handap
Ngungkab bumi tujuh lapis
Cundukna ka ratu bungsu
Ka pangeran rangga sinuhun
Ka batara naga raja
Kanu aya di sakuriling cai
Rajah yang bertujuan memohon ijin kepada tokoh yang akan dikisahkan,
sebagaimana contoh didalam Rajah untuk Pantun Dadap Malang Sisi
Cimandiri, sebagai berikut :
Pun
Kaula dek nginjeum ngaran
Caturkeun dina beja
Lalakuna dadap malang
Nu baheula nyorang aya
Sisi kidul Cimandiri !
Paralun !
Saha nu di injeum ngarana ?
Putri bungsu Purnamasari
Mayang Pajajaran anu lenjang
Saha anu di lalakonkeun ?
Rakean Kalang Sunda
Nu engke salin rupa ....
Paralun !
Rajah Pamunah dicontohkan sebagaimana di bawah ini :
Ahung guru hiyang bayu
Sang pamunahing rajah hiang musada
Nu puguh maha mulya
Pangmunahkeun uing itu
Hiyang wosesa ti wisesa
Ratu wisesa uing wisesa
Di buana pancatengah
Langit kapunah bumi kapunah
Kapunah ku para wises
Ka wisesa ku awaking
Sumur pamunah ratu
Ngabulungbung tanpa puhun
Kula agung nya paralun
Neda panjang pangampura
Untuk menghindarkan gangguan bathin dari para pende ngar lainnya, juru pantun Bogor dengan tegas menghimbau :
Sampuuuuura Isun,
Ku nu ngarintip ti mata bilik
Ku nu narempo ti balik panto
Ku nu ngalanglang tina buruwan
Ku nu arunggah keuna tepas ..... !!!!
Rampes, Nun !
Ulah dia hiri dengki ;
Ulah dia heureuy ;
Sabab kula memang wani ;
Sabab nyaho di ngaran dia.
Isi seluruh rajah dapat diartikan bahwa juru pantun me mohonkan untuk
memusnahkan segala bahaya dan aral rin tangan, serta memintakan
keselamatan bagi juru pantun mau pun yang mendengarkan. Mungkin untuk
pantun priangan, Juru pantun menciptakan mandala dipertunjukan, dengan
ca ra menghadirkan kuasa-kuasa dari dunia atas, dan dia sendiri
menganggap berada di dalam 8 mata angin, seperti pada ucapan : “Lulurung
tujuh ngabandung, Kadalapan keur disorang”. Jakob Sumardjo (2006)
mengungkapkan, bahwa juru pantun menempatkan diri sebagai bagian
kedelapan dari arah mata angin tidak mewakili dirinya, melainkan bagian
dari adi kodrati, penguasa kosmos yang kedelapan.
Setelah selesai ngarajah dilakukan paparan, berisi gam baran perilaku
para tokoh atau sesuatu yang perlu di tonjol kan. Seperti dikenal dengan
alam lingkungan di dalam cerita pantun. Contoh nataan dri pantun
Cisolok, dalam menggam barkan kecantikan Nyi Ratna Inten, dikisahkan :
Keur geulis ditambah leucir
Keur denok ditambah montok
Keur lenjang ditambah lesang
Keur weuteuh ditambah peungkeur
Kasohor nangtung galungan
Kasohor malang sigangna
Geulis leucir weuteuh peungkeur
Paranaman angin-angin
Bulu bitis museur-museur
Contoh nataan lainnya didalam cara menggambarkan aleutan menak (rombongan pembesar), sebagai berikut :
Burudul anu ti kidul
Aleutan para tumenggung
Leugeudeut aleutanana
Leugeudeut tanggeuyanana
Melengkung umbul-umbulna
Biribit ampiranana
Beleber bendera kancana
Naon cacandakanana
Bawana gadung jeung iwung
Tuntungna muncing buntung
Parabon degung jeung angklung
Alur cerita pantun dituturkan dengan gaya prosa-liris se perti lajimnya
ciri dari bahasa dengan gaya khusus dan me nunjukan kekayaan sasta dan
bahasa Sunda. Menggunakan irama delapan suku kata menjadi ciri bahasa
puisi pantun. Bentuk pengulangan bunyi vokal dan konsonan, perulangan
bunyi suku kata, perulangan kata, bahkan perulangan kalimat atau bagian
kalimat banyak ditemukan. Pada setiap perganti an adegan didahulu dengan
ucapan :
Cag ! Teundeun di handeuleum sieum, Tunda di hanjuang siang, Paranti nyokot ninggalkeun, Kacaritakeun di ..(lokasi) ....., Sang ...(tokoh)...................
Makna dan Kandungan Pantun
Jakob Sumardjo (2006), seorang budayawan, penyusun Buku Khasanah Pantun
Sunda memaparkan tentang Pertunju kan seni Pantun dan Latar Belakang
Sejarah Budaya Pantun. Dianggap sebagai arkeologi pemikiran masyarakat
Sunda bu hun. Pada intinya memiliki pandangan Dasar, serta mengi sahkan
tentang tafsir Kosmologi Sunda buhun, seperti cerita Mundinglaya Di
Kusumah, Ciungwanara, Nyai Sumur Ban dung Panggung Karaton, Lutung
leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Lumantung, Lutung Kasarung,
dan Sri Sada na. Terkandung pula maksud maksud dari siloka pantun, se
perti tentang Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci,
Lengser, Asas Tri tangtu, Asas Dalam-Luar Bu daya Sunda, Arketip
kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun,
perempuan dalam ma syarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasundan.
Pantun menceritakan pula tentang Primordial Sunda, seperti topografi,
habitat dan budaya, pola perkampung dan ru mah, religiu sitas,
kosmologis, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual.
Masalah primordial Sunda bi asanya digambarkan didalam nataan. Dalam
pantun ditemu kan pola tetap yang merupakan asas primordial Sunda yaitu
tritangtu, atau trilogi Budaya Sunda, tentang tilu sapamula, atau
gambaran fungsi rama, resi dan ratu sebagai satu kesa tuan peneguh
dunia. Sistim perkampungan Sunda menggam barkan adanya tiga fungsi,
yakni tangtu, panamping dan luar. Ketiga fungsi tersebut di tentukan
berdasarkan kemandala annya, sama halnya dengan yang diyakini masyarakat
Baduy, Suku Naga di Tasikmalaya dan Kasepuhan Gunung Halimun.
Khusus Pantun Bogor hanya berisi alur cerita pendek, yakni tokoh-tokoh
yang berupaya lepas dari kejaran musuh, seperti kisah Rakean Kalang
Sunda di dalam Dadap Malang Si si Cimandiri. Selanjutnya menyelipkan
totonden mangsa ten tang kapan Pajajaran akan jaya kembali. Kisah
pelarian para putra Pajajaran tersebut di uraikan dengan seksama dan pe
nuh empati. Juru pantun menjelaskan daerah-daerah yang di singgahi,
seperti tempat menangis Nyi Mas Purnamasari kelak na ma daerahnya
menjadi Ciwening (Cibening), kemudian tanah Cogreg, Rancamaya, petilasan
mbah Badigul, Cihomas (Cio mas) Sanghyang Purwa (Gunung Gede) dan
Katulampah.
Pantun pada umumnya mengandung siloka tentang se gala sesuatu berasal
dari yang satu, dari Yang Tunggal. Seba gai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari ajegnya kehidu pan. Kisah ini nampak dari cerita pantun
yang berjudul Paku an Pajajaran. Di silokakan Pajajaran sebagai sentra;
Pange ran Pajajaran, dan Raja bawahan. Semakin banyak raja bawa han dan
semakin luas para pangeran menguasai raja bawah an, maka semakin kuat
pula posisi pajajaran. Ketiganya satu kesatuan yang saling melindungi.
Pusat kekuasaan tidak mungkin ajeg-kokoh tanpa ditunjang oleh
bawahannya, yang dikendalikan para pangeran.
Siloka juga mewarnai tentang adanya dua kutub berla wanan, akhirnya bisa
saling bekerjasama, seperti di dalam ki sah Parenggong Jaya, antara
Pangeran Pajajaran dengan Pa renggong Jaya, semula bertentangan,
kemudian saling beker jasama. Kisah lainnya dari cerita laki-laki dan
perempuan; ada siang dan ada malam; ada panas dan ada dingin, tapi tidak
mengetengahkan adanya konflik, atau konfrontasi, mela inkan
komplementer, saling melengkapi, saling membutuh kan, karena melahirkan
sinthesa dari seluruh proses dialekti ka, melahirkan kemajuan dan
kebaikan, terutama kelangsung an kehidupan. Tidak mungkin manusia lahir
jika tidak ada ibu dan bapak. Sama ketika memahami siloka “Dua
Sakarupa”, sekalipun dua tapi tetap sama. Pola tiga atau nu tilu merupa
kan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh lelaki dan perem puan, dari
perkawinannya melahirkan anak. Perkawinan Du nia Atas atau Buana
Nyungcung dan Dunia Bawah (Buana La rang) menghasilkan Dunia Tengah
(Buana Panca Tengah). Mi salnya dalam pangrajah dalam panggung Bogor,
tentang bu wana sela, diantara buwana ruhur (atas) dan buawana han dap
(bawah) :
Ka Anu Agung Sang Rumuhun :
Papayung Buwana ruhur,
Papayung Buwana Tengah,
Papayung Buwana Handap,
Papayung Buwana di sela-sela !
Contoh dari cerita Panggung Karaton yang dibawakan oleh Ki Aceng Tamadipura, sebagai berikut :
Teras kangkung galeuh bitung
Tapak meri dina leuwi
Tapak soang dina bantar
Tapak sireum dina batu
Kalakay pare jumarum
Sisir serit tanduk ucing
Sisir badag tanduk kuda
Kekemben layung kasunten
Kurambuan kuwung-kuwung
Tulis langit gurat mega
Panjangna sabudeur jagad
Inten sagede baligo Batang kangkung adalah batang bambu
Jejak anak itik di telaga
Jejak angsa di tanah gosong
Jejak semut diatas batu
Batang padi kering seperti jarum
Sisir suri tanduk kucing
Sisir besar tanduk kuda
Berkemban langit lembayung
Aneka warna pelangi
Tulisan di langit gambar di mega
Panjangnya sekeliling dunia
Intan sebesar buah beligo
Teras kangkung galeuh bitung/Tapak meri dina leuwi/Ta pak soang dina
bantar/Tapak sireum dina batu, menggambar kan kekosongan. Apa yang
kosong itulah dunia manusia. Hi dup ini kosong, maya tak berarti.
Bagaimana mengetahui bah wa yang di gambarkan serba kosong adalah
manusia dan du nianya?. Hal ini dijelaskan di dalam baris: Kalakay pare
juma rum/Sisir serit tanduk ucing. Menggambarkan sesuatu yang
keras/tegang adalah laki-laki, melambangkan dunia bawah. Dunia atas
berazaskan perempuan (Sunan Ambu), seperti pa da kata-kata : Kekemben
layung kasunten. Sedangkan Tulis langit gurat mega/Panjangna sabudeur
jagad, melambangkan hakekat hidup manusia, takkan pernah habis dibaca
dan di pelajari. Itulah sesungguhnya langit, dunia atas, yang kosong itu
sejatinya adalah bobot isi yang amat padat dan tak terni lai harganya,
ibarat Inten Sagede Baligo. Sedangkan Intan memancarkan aneka warna yang
ada didunia. Melambangkan yang banyak (warna) berasal dari yang satu
(intan), yang plu ral itu satu, yang satu. Manusia sebagai salah satu
unsur plu ral, adalah dari Yang Tunggal.
Makna dari keseluruhan, adalah : hidup manusia dan ke beradaan ini
seperti dunia terbentuk. Yang tampak isi bermak na, sesungguhnya hanya
kosong dan sia-sia. Dan yang tam pak kosong tak berarti, sesungguhnya
adalah isi dan makna hidup sejati. Hukum serba terbalik ini dikenal
dalam waringin sungsang (pohon beringin terbalik), akarnya diatas, daun
dan batangnya dibawah akar. Hidup manusia itu berasal dari du nia atas,
langit. Hidup manusia yang sejati ada di alam atas yang kosong-sunyi
(jatiniskala) tersebut.
Untuk mengenal diri kita sendiri manusia harus mengenal kekosongan dunia
atas. Manusia tidak akan mengenal se jati dirinya hanya bersandar pada
daun-daun, ranting dan ba tang beringin hidup ini. Yang tampak dan wadag
itu dapat me nipu manusia menuju penemuan hakikat dirinya. Diri manu
sia adalah bagian dari Diri Universal, di sanalah terdapat akarnya,
asal-usulnya. Disanalah keberadaan Intan Besar, Yang Tunggal sekaligus
plural.
Prepantun
Para petutur Pantun Sunda yang terkenal di jamannya. Di Cianjur dikenal
nama R. Aria Cikondang abad ke-17, Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja abad
ke-19, di Bandung terke nal Uce, juru pantun kabupaten Bandung awal
abad ke-20 dan Pantun Beton Wikatmana pertengahan abad ke-20, di Bo gor
terkenal jurupantun Aki Ujut Badju Rambeng. Bahkan Ki Buyut Rambeng saat
ini tidak dapat dipisahkan dari kebera daan Pantun Bogor. Penerus dari
Aki Ujut Badju Rambeng di sebut Rakean Minda Kalangan. Jenis pantun
Bogor betul-betul mewakili cerita rakyat (cacah), oleh karenanya bahasa
pantun pun menggunakan gaya bahasa yang egaliter, tanpa tedeng
aling-aling, dan sangat dinamis. Seperti dari Pamunar tulisan Ki Pandjak
(1970) :
Seug geura batja ieu tjarita Pantun Bogor Padjajaran tengah nu kiwari
mangrupa teuteundeunan Ki Rakean Minda Kalangan haneuleum Aki Ujut Badju
Rambeng ..... tabe pun !
Tapi mudu heula “rantjage” di angen bari ngarti harti “Sunda” anu munggaran, anu napak dina bener djati nu madjadjaran ....... !
Lantaran, ari Pantun Padjadjaran tengah mah hanteu sarua djeung bogana
urang (.....) anu asa “ieu-ngaing” pangbenerna pang-Sunda-na; padahal
dja sadapan ti Pantun Bogor ....... !
Mantakna; tiheula mudu “nyunda” sabari “rantjage” samemeh matja ieu
tjarita; lantaran loba UGA nu mudu dibuka ...... anu dina Pantun ......
moal deuk aja hanteu bogaeun atuh !
Di bogana ................ ; dja bawa “si lurik” ti tanah wetan anu
padjarkeun (“..........”) sahiji-hijina nu boga ngan bisa ngara malkeun
wajah nu bakal datang ...... !
Dja heueuh, atuh djadi kekesed bae mah, deuk iraha Ki Sunda bisana
hudang tina hees nu katibrana ......... balas di pepende ku rante
.......... Meureun hudangna oge, kaboro kabeurangan mantaro .......
hantjaeun gatrah deui bae ...... ! mantakna seug geura garuwar ieu
wangsit wangsit Karuhun Padjadjaran Tengah nu kiwari geus ngabangbang
.... pieun di pedar ....... !
Sampura .... Isun ..... !
Tidak ada komentar