Cerita Dadap Malang Sisi Cimandiri
Dikeremangan
malam, samarnya cahaya lampu berpadukan parukuyan, menerangi Juru
Pantun, memetik tali kecapi. Jentrengnya bunyi kecapi, mengalunkan asa
lama, masa nagara pralaya, jaman Pajajaran Sirna, pada jaman yang
berubah.
Terkisah Sang
Senapati dan Sang Putri Pajajaran, yang hidup di jaman salah, masa
tibanya Pralaya. Jentrengnya bunyi kecapi, membuka kotak ki buhun, yang
telah lawas menghilang, sengaja di sembunyikan. Tersebutkan kisah
Pantun, di wewengkon kota Bogor, yang pernah dihandeuleumkeun,
disembunyikan pemantun, konon dikelak masanya tiba, kembali di
ceritakan, dipantunkan Juru Pantun. Ki Juru Pantun ngarajah, tanda
awalnya cerita, seja amit minta ijin, kaanu boga carita.
Pun !
Kaula deuk nginjeum ngaran
Caturkeun dina beja
Lalakuna dadap malang
Nu baheula nyorang aya
Sisi kidul Ci Mandiri !
Paralun !
Saha nu dinjeum ngaranan ?
Putri Bungsu Purnamasari
Mayang Pajajaran anu lenjang!
Saha anu dilalakonkeun ?
Rakean Kalang Sunda
Nu engke salin rupa
Paralun !
Al kisah pada
masanya, benteng Pajajaran hancur, diserang musuh negara, dari barat dan
utara, meski Pakuan bertahan, akhirnya tinggal harumnya. Banyak
pengungsi ke timur menuju Sumedang Larang, pengungsi kearah barat menuju
ke Pulasari, pengungsi yang keselatan mipir sisi Ci Mandiri. Mereka pun
hampir musnah, diburu kepengungsian.
Di puing
benteng Pakuan, masih ada yang tersisa, tiga seuweu Pajajaran, Raden
Kumbang Bagus, Nyi Putri Purnamasari, dan Rakean Kalang Sunda. Raden
Kumbang Bagus yang tampan, dengan Nyi Purnamasari, putri bungsu
Pajajaran, keur meujeuh oleng panganten, alami hirup sengsara. Mereka
terpaksa lari, dikejar musuh negara, namun mereka dikawal, Sang Rakean Kalang Sunda.
Sang Rakean
Kalang Sunda, senapati Pajajaran, setia mengawal putri, menghadang para
musuhnya, yang hendak menculik putri. Ia membukakan jalan ketimur dan ke
selatan, mereka dikejar musuh hingga sampai pengungsian, berlari
bertahan mundur, meninggalkan bekas lacak, berupa tulang belulang yang
dibalai luka musuh.
Tiba waktu
Kalang Sunda berhadapan dengan teman, yang ada dipihak musuh, Jaya Antea
katelah, Al Kowanah sebutannya. Dahulu Jaya Antea, Senapati Pajajaran,
teman semasa berjuang, waktu Pajajaran ajeg. Kalang Sunda menerawang,
ingat masa jaman lalu, masa Jaya Antea Remaja, menginginkan putri
bungsu, mungkin dendam yang di bawa, karena ditolak putri. Antea tetap
Panglima tetapi dipihak musuh. Sang Rakean pun begitu, walau tiada lagi
laskar.
Jaya Antea
membujuk, agar Kalang Sunda ikut, Incah balilah adegan, membujuknya
dengan halus, tak mundur ditolak terus : ”tak ada niat menantang, tapi
mengajak bersama, menyambut jalan sekarang, hidup dijaman yang baru”.
Jawab Kalang Sunda lirih : “banyak somah jadi dangka, dihasut orang
hianat, tetapi Sang Raja kami, tak pernah mau menghukum, maka sudah
sepatutnya kuabdikan raga ini, agar Pajajaran panceg, agara negara
waluya”.
Jaya Antea
meradang, tak bisa nahan amarah, : ”sombong nian Kalang Sunda, sisa apa
yang kau bawa, hanya badan yang kau punya, tak takut melawan aku,
pandanglah disekeliling, hanya aku dan laskarku, tak ada lagi laskarmu,
sudah sepantasnya takluk ”. Sang Rakean pun menjawab :”aku tak perlukan
laskar, hanya niat keihklasan, aku abdikan baktiku, untuk negara
tercinta”. Jaya Antea berkata : “tak ada lagi negara, tak ada sadang dan
sanak, hanya sisa sisa puing, Pajajaran tinggal nama”. Kalang Sunda
tetap tenang, meluruskan pikirannya, membulatkan niat awal, tak mau
hatinya luluh.
Perang mereka
seimbang, panglima lawan panglima, pernah dididik bersama, menjadi
laskar Pakuan. Keduanya senapati, tanpa tanding di jamannya, Kalang
Sunda pun berpikir, bukan takut lawan musuh. Ini hanya mulur waktu, agar
sang jungjunan jauh, tak terjangkau langkah musuh, agar sang putri
selamat. Tiba-tiba Sang Rakean, hilang dari pandangannya, leungit tanpa
lebih, ilang tanpa karana, tak terlacak jejaknya, tinggal Jaya Antea
Sendiri. Sang Rakean telah pergi, mengawal sang Seuweu pergi, agar tiba
di tujuan, bersama sang Raden Bagus.
Sang Rakean
Kalang Sunda, tiba menghadap tuannya, mengajak terus berlari, mendaki
jalan-jalan yang terjal, nyusur sungai yang membentang, lelah tak
terpikir lagi. Hampir saja pelarian, tersusulkan para musuh, berjarak
sependakian, Kalang Sunda pun terhenti. Sang putri dan suaminya disuruh
berjalan terus, Kalang Sunda pun berbalik, kembali menyongsong musuh.
Terjadilah perang tanding, satu orang lawan banyak. Kalang Sunda pun
mengamuk, bagai harimau terluka.
Kalang Sunda
meyakini : “Papasten teh henteu dipastikeun ieu ku raketna tuntutung
tumbak, atawa ku baruang diruruhit panah ! tapi ku tepungna waktu anu
tangtu, nangtukeun ayana aya, jeung nangtukeun ayana euweuh.” [takdir
tidak dipastikan oleh dekatnya tombak, atau racun di ujung panah ! tapi
tibanya waktu yang telah dipastikan, oleh yang menentukan adanya ada dan
adanya tiada]. Tunda.
-o0o-
Purnamasari dan
Raden Bagus tibalah di hutan lebat. Mendapat rintangan alam, binatang
buas dan lapar, ketika di lilit ular, karena badan sangat lunglai, maka
keduanya pingsan. Untung saja Kalang Sunda, sudah tiba ditempatnya, sang
ular pun di usirnya, hingga sang seuweu selamat.
Di ufuk nampak
cahaya, tanda Cakra manggilingan, tanda bakal muncul jaman, masa depan
yang gemilang. Pajajaran ajeg deui, bukan Pajajaran lama, jaman baru
akan tiba. Tuturusna perlu waras, perlu diaping di jaga, agar dapat
melanjutkan, trah Ki Sunda nu saestu. Sang Rakean makin kukuh, tidak
tergoda hasutan, dijauhi rasa bingbang, ceg panjeg dina ajegna.
Mereka jalan
bersama, memasuki goa panjang, gelap mata tak berujung, tak ada cercah
cahaya. Kalang Sunda masih tegar, terdesak semangat juang, menyelamatkan
dua sewuweu, tuturusna Pajajaran. Dua seuweu sangat letih, lunglai
sudah tak terkira, lapar tak tertahan lagi, hingga harus jatuh pingsan.
Kalang Sunda dihadapkan, pada pilihan yang bingung, untuk membawa sang
putri, meninggalkan Raden Bagus, khawatir terancam musuh. Jika gendong
Raden Bagus, ia tinggalkan sang putri, celakalah nanti putri, jika musuh
telah tiba. Kalang Sunda pun segera, membawa sang putri pergi,
digendong di pangkuannya, berlari keluar goa. Jika Raden Bagus bangun,
niscaya bisa melawan, walau harus susah payah, karena dia satria. Wanita
harus di aping, dijaga keselamatannya, jangan ditinggal di goa, dibawa
ketempat aman.
Ketika putri
digendong, tidur lelap dipangkuan, sir hati Rakean tiba, kahum cantiknya
sang putri. Kalang Sunda belum pernah, memiliki rasa aneh, ia Panglima
sejati, lali ningali cawene. Sir hati tak tertahankan, ingin mereguk
sang putri, namun ingat pada janji, diri Panglima sejati. Kalang Sunda
tetap kukuh, tidak incah balilahan, henteu jalir kana janji, sumawon
milaku rucah. Tunda.
-o0o-
Haleuang ki
Juru pantun, makin lama makin hanyut, menggambarkan gundah hati, hate
ratug tutunggulan. Sulit dilukiskan kata, tidak bisa diucapkan, gambaran
kesetiaan, keteguhan Kalang Sunda. Akhirnya ki Juru Pantun, hanya mampu
melukiskan, sumpah setia Rakean, sebagai satria luhung : “segenap
pengisi alam, seisinya marcapada, saksikan para binatang, saksikanlah
gunung-gunung - yang berjajar keselatan, jika ku tak mampu lagi -
menahan nafsu dan cinta - merengut Purnamasari, jadikanlah aku Lutung”.
Setelah hari
berlalu, ketika seuweu selamat, tiba ditempat tujuan, tak lagi dikejar
musuh. Kalang Sunda menetapkan, menjauh dari sang putri, ia memilih
hidupnya, menjadikan diri Lutung. Sang Lutung anu ka sarung, ka sarung ku sadulurna, ka sarung ku prajuritna, ka sarung ku jungjunana. Sang Rakean
Kalang Sunda, tak ragu pendiriannya, seperti orang meludah, tak dapat
dijilat lagi. Milih hidup jadi lutung, lebih terhormat jadinya, dari
pada manusia, sering ngarumpak larangan. Dikelak hari mendatang,
masyarakat menemukan, seekor Lutung bertengger, diatas sebatang pohon,
dadap malang sisi Cimandiri.
Sumber:
Dari Buku Khazanah Pantun Sunda, Jakob Sumardjo, Kelir, Bandung – 2006.
Tidak ada komentar