Carita Masa Sanjaya
Pada
cerita sebelumnya dijelaskan identitas Balangantrang berikut
eksistensinya dalam membantu Purbasora merebut tahta Galuh dari Sana,
atau Bratasenawa. Namun Kisah kemenangan Senjaya, putra Bratasenawa
merebut kembali Galuh hampir tidak diketahui, jarang diceritakan atau
mungkin juga tidak pernah terceritakan dalam sejarah lisan, sehingga
kisah Balangantrang menjadi raib. Kisah ini baru muncul kembali dalam
cerita Ciung Wanara. Itupun karena Balangantrang disebut-sebut sebagai
pengasuh Ciung Wanara.
Meretas
alur kesejarahan Sanjaya di Galuh hemat saya menjadi penting, karena
eksistensi Sanjaya sebagai penguasa Sunda – Galuh didalam kesajarahan
nusantara menjadi tak tersambung, padahal Sanjaya adalah pendiri Wangsa
Sanjaya di Mataram Kuno - Medang, dan sekaligus penguasa Sunda dan
Galuh. Dengan demikian Sanjaya memiliki wilayah kekuasaan yang lebih
luas dari kekuasaan raja-raja Tarumanagara.
Sanjaya Dalam Sejarah Jawa Madha
Keharuman
nama Senjaya di Jawa Kwulon, Madha dan Pawathan tak terkirakan. Menurut
Slamet Mulyana, hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Ratu dalam
sirsilah raja-raja Medang, sedangkan yang lainnya menggunakan gelar Sri
Maharaja. Gelar Ratu identik dengan sebutan Datu, pemimpin, keduanya
diakui sebagai gelar orang Indonesia asli.
Prasasti
Canggal yang dibuat Sanjaya pada tahun 732 M menyebutkan Raja Sanjaya
merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang bertahta di Mataram Kuno – Jawa
Tengah, Prasasti itupun menyebutkan, bahwa ada raja Medang sebelum
Sanjaya yang memerintah Pulau Jawa, yakni Sanna.
Kisah
Karuhun Sanjaya di Jawa Madha dan Pawathan terputus dan tidak terlacak,
bahkan disinyalir hampir sama dengan kisah Raden Wijaya, pendiri
Majapahit, yang hanya mengkalim dirinya keturunan raja-raja Singasari.
Namun kedua sejarah tersebut diuraikan dalam sejarah Sunda.
Jika
saja mau sedikit telaten “Nyungsi Laratan” Sanjaya, atau sedikit mau
berbesar hati membuka wacana ke Indonesiaan, Karuhun Sanjaya sebenarnya
diuraikan dalam Carita Parahyangan. Ia disebut sebut sebagai putra
Sanna, sedangkan Sanna adalah Putra Mandiminyak dari hasil hubungan
gelapnya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakak Mandiminyak, atau
dikenal pula sebagai ayah dari Purbasora. Namun didalam buku pelajaran
kelas empat Sekolah Dasar, Sanjaya disebut-sebut berasal dari Kerajaan
Saunggalah, tapi entah dimana, yang jelas Kerajaan ciptaan itu
meleburkan eksistensi Galuh sebagai salah satu kerajaan yang ada di
tatar pasundan.
Carita
Parahyangan memberi nama Rakeyan Jambri, dengan panggilan Rahyang
Sanjaya. Fragmen dari Carita Parahyangan tersebut, sbb :
Lawasna jadi ratu, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.
"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"
Carek Rakian Jambri :
"Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."
Kemudian ada
juga yang mengaitkan Sannaha sebagai ibu dari Sanjaya. Karena dianggap
suatu hal yang mustahil jika Sannaha mau mendudukan Sanjaya di tahta
Medang sepeninggalnya Sena. Sannaha disebut sebut juga sebagai putri
Mandiminyak dari Parwati, Putri Ratu Sima dengan Kartikeyasinga,
penguasa Kalingga. Dengan demikian disinyalir pula adanya perkawinan
sedarah, antara Sena dengan Sannaha.
Prasasti
Mantyasih yang dibuat pada tahun 907 menyebutkan raja Medang pertama
adalah Rahyang ta rumuhun ri Medang Poh Pitu (Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya) namun tidak menjelaskan adanya Sanna sebagai pendahulunya.
Menurut versi
ini, Sanjaya menjadi Raja di Medang setelah Sanna meninggal yang
menimbulkan kekacauan. Kemudian Sanjaya menjadi Raja atas bantuan
Sannaha, yang disebut-sebut sebagai Saudara perempuan Sanna.
Jejak Balangantrang pada masa Sanjaya
Hilangnya jejak
Sanjaya menimbulkan putusnya jujutan Karuhun Sunda Galuh, terutama
kaitannya dalam Kisah Ciung Wanara. Salah satu contoh adalah Kisah
Bimaraksa atau lalakon Aki Balangantrang setelah kekalahan Purbasora
oleh Sanjaya.
Kekisruhan
sejarah lainnya ditenggarai dalam menempatkan identitas Ciung Wanara
atau Manarah dengan Banga atau Haryang Banga. Padahal keduanya merupakan
penerus syah dari kekuasaan raja-raja di tatar pasundan.
Ciung Wanara
dan Haryang Banga dianggap “dulur pateterean”, dan palaputra dari Prabu
Brama Wijayakusumah, dari dua ini yang berbeda, yakni Pohaci Naganingrum
yang berputra Ciung Wanara dan Dewi Pangrenyep yang berputra Haryang
Banga.
Konon kabar
ketika Haryang Banga berumur 3 tahun Pohaci Naganingrum belum juga
hamil. Ketika hamil Dewi Pangrenyep memrintahkan semua embank
meningalkan Dewi Pohjaci dengan alasan, : kelahiran bayi Pohaci akan
diurus langsung oleh Pangrenyep. Menurut cerita pula, ketika lahir bayi
itu dibuang dan digantikan oleh seekor anjing, sehingga Dewi Pohaci
dianggap melahirkan seeokr anjing. Serta dianggap aib dan harus dibuang.
Disinilah dimulainya “lalakon” Ciung Wanara.
Dari untaian
cerita rakyat, saya agak sulit menarik kesimpulan tentang : Siapa yang
dimaksud dengan Prabu Brama Wijayakusumah ?, Tamperan Barma Wijaya atau
Permana Dikusumah. Karena keduanya pernah memiliki istri yang sama,
yakni Dewi Pohaci dan Dewi Pangrenyep (lihat kisah balangantrang dalam
Masa Ciungwanara).
Bisa saja
pasilih carita ini disebabkan dari cara menafsirkan rujukannya, karena
dalam Carita Parhyangan Tamperan secara sepintas dapat disebut ayah
Manarah. Cuplikan dari persitiwa tersebut sebagai berikut :
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,
ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu
kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah,
tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Masalah
kedua, status Ciung Wanara dengan Haryang Banga yang dianggap saudara
satu ayah, menimbulkan terputusnya kisah perseteruan keturunan
Wretikandayun dari Sempakwaja dan Jantaka dengan Mandiminyak. Berakibat
pula eksistensi Purbasora dan Senjaya menjadi tidak terceritakan, serta
peran Balangantrang didalam Kisah Ciung Wanara hanya menjadi bumbu
cerita.
Masalah
ketiga menyebabkan kisah kasih Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, istri
Permana Dikusumah tercampur dengan “lalampahan” Mandiminyak yang
berhasil menghamili Rabbabu, istri kakaknya, yakni Sempak Waja.
Kisah
ini disebut-sebut didalam Carita Parahyangan, dari hasil perselingkuhan
melahirkan Sena (Bratasenawa) ayah Sanjaya. Bagi saya, ketidak utuhan
penangkapan informasi oleh masyarakat menjadi wajar, karena masalah
Mandiminyak maupun Tamperan dianggap aib, sehingga pesannya disampaikan
secara bisik-bisik.
Mungkin
kekisruhan kisah ini yang menyebabkan peran Bimaraksa menjadi terpisah
dengan nama Balangantrang. Karena Balangantrang dalam sejarah lisan
hanya diberi peran sebagai pengasuh dan bumbu dari cerita Ciung Wanara.
Padahal didalam sejarah Galuh, Balangantrang memiliki epos tersendiri,
mengantarkan Ciungwanara ketampuk kekuasaan Galuh.
Sanjaya Mengembalikan Tahta Galuh
Pengambilan alihan kembali tahta Galuh oleh Sanjaya, sebagai pewaris syah dari Sena diuraikan dalam cerita Parahyangan :Carek Rahiangtang Kidul:
"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"
Carek Rakian Jambri:
"Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."
"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal:
"Sia teh saha?" Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, 'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru."
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh.
Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.
Kedatangan
Sanjaya kepada Jantaka seperti diuraikan diatas sebenarnya hanya untuk
meminta agar dapat bertindak sebagai pemberi keadilan, namun permintaan
ini membuahkan kegalauan bagi Rahyang Guru (Jantaka). Mengingat, disatu
sisi ia menganggap Sanjaya sebagai pewaris syah tahta Galuh disisi lain
Bimaraksa, anaknya terlibat membantu Purbasora. Kisah selanjutnya
Eahyang Guru memilih diam dan tidak terlibat dalam perseturan anak
Sempakwaja, kakaknya dengan anak Mandiminyak, adiknya.
Kisah
Sanjaya di Galuh tentunya sejaman dengan Kisah Balangantrang, mengingat
keduanya actor intelectual dari persitiwa tersebut dan keturunan dari
Wretikandayun, pendiri Galuh, yang sedang bersebrangan.
Jika
dipetakan kekuatan politis dan militer Sanjaya, tentunya pada saat itu
masih unggul dibandingkan Purbasora. Sekalipun Purbasora berhasil
menurunkan Sena (ayah Sanjaya) dari tampuk pimpinan Kerajaan Galuh,
namun tidak dapat begitu saja bisa menikmati kejayaannya, dan Purbasora
sangat dihantui serangan Sena yang akan datang sewaktu-waktu.
Untuk
mempertahankan kekuasaanya, Purbasora kemudian membentuk pasukan khusus
dari legiun Indraprahasta (mertua Purbasora) yang panglimanya langsung
berada dibawah Bimaraksa. Maka dalam cerita ini, Balangantrang masih
memiliki eksistensi.
Sena
pada waktu itu sangat bersahabat dengan Terusbawa, raja Sundapura yang
memiliki legiun cukup kuat untuk menyerang Galuh. Sewaktu-waktu bias
saja Sena meminta bantuan Terusbawa.
Kedua
Sena cucu suami dari Parwati, penguasa Mataram dan iapun masih
bersaudara dengan Dewasinga, keduanya keturunan Kalingga. Namun Sena
yang dikenal santun dan alim ini menyadari kondisi percaturan politik di
Galuh yang tidak menyenangi kehadirannya. Cukup beralasan jika tidak
berniat melakukan pembalasan.
Lainnya
dengan Sanjaya, putra Sena. Ia menganggap peristiwa ini sebagai
penghinaan kepada ayahnya. Ketika peristiwa tersebut terjadi Sena tidak
ada di Galuh. Kemudian Mempersiapkan diri menuntut balas atas penghinaan
kepada Sena. Namun sama halnya dengan Sena, Sajnaya pun tidak
berkeinginan menjadi Raja di Galuh.
Titik
kekuatan lainnya yang dimiliki Sena setelah ia menikahkan Senjaya,
putranya dengan putri Terusbawa, putri mahkota Sundapura.
Sanjayapun
sebelumnya dinikahkan dengan Sudiwara putri Dewasinga. Dengan demikian
posisi Sanjaya ketika itu sebagai putra mahkota Mataram dari Sanaha,
ibunya ; sebagai putra mahkota Galuh dari Sena, ayahnya ; dan suami dari
putri mahkora Sundapura. Jika diletakan dalam atlas, secara politis
Sanjaya bisa menguasai 3/4 pulau jawa.
Untuk
melaksanakan niatnya Sanjaya melatih pasukan khusus di Gunung Sawal
atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Disisi lain
Sanjaya pun dibantu pasukan sunda yang dipimpin langsung oleh Patih
Anggada. Sehingga hanya dalam satu kali penyerangan dimalam hari,
Purbasora dan keluarganya dibantai habis.
Dalam
cerita ini memang ada yang sedikit aneh, karena Bimaraksa, senapati
yang sekaligus patih dari Galuh, bersama sebagian kecil pasukannya
berhasil meloloskan diri, sehingga bias ditafsirkan adanya
persekongkolan. Namun alasannya diuraikan dalam sejarah Jawa Barat,
bahwa : Sanjaya mendapat pesan dari Sena, kecuali Purbasora, anggota
keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati.
Dalam
cerita ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demuwan diminta
Sanjaya untuk menjadi memegang pemerintahan Galuh dibawah Sanjaya,
sedangkan Bimaraksa kemudian menetap di Geger Sunten dan menyusun
kekuatan baru. Iapun lebih dikenal dengan sebutan Balangantrang, dalam
sejarah lisan disebut Aki Balangantrang, penyampai benang merah kisah
Galuh kepada Ciung Wanara.
Permana Dikusumah
Sanjaya
sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia pun
berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap
orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati
orang-orang tua di Galuh. Langkah ini nampak dari cara Sanjaya meminta
restu dari Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat
sebagai “piparentaheun” – pemerintah yang mewakili kepentingan Sanjaya
di Galuh.
Sempakwaja
sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai
permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak
Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi
bawahan sundapura pembunuh Purbasora. ia pun masih teringat perjuangan
Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun
tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan
permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun
Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.
Untuk
menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan
tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka
Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja
di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil.
Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada
maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago
andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan,
kajaron dan Kalanggara.
Sempakwaja
juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga
serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan
Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan
Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai
berikut :
Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,
carek Dangiang Guru:
"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,
Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.
Da beunang ku aing kabawah.
Turut kana ucapan aing.
Da aing wenang ngelehkeun,
hanteu kasoran. Da aing anak dewata."
Sebagai
orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan
ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan
pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta
(Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh
Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai
jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang
besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.
Kekalahan
Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi
janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja
menunjuk Permana Dikusumah, putra Wijayakusumah, cucu Purbasora untuk
memegang pemerintahan Sanjaya di Galuh, dan Sanjaya menyetujuinya
Untuk
mengontrol kekuasaan Permana Dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau
Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga
diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di
Purasaba Galuh
Tidak ada komentar