Alkisah Kerajaan Galuh Sunda

Ada suatu naskah peninggalan karya intelektual orang sunda yang hingga kini masih ada, yaitu naskah Carita Parahiyangan. Naskah ini diyakini ditulis di Galuh pada saat kerajaan pajajaran mengalami kehancuran, sehingga naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke-16 M. Karena itu naskah ini dianggap merupakan sumber primer dalam mengkaji peradaban sunda masa lampau.

Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte dari negeri Belanda. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai Batu Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda. Dan dalam tulisan ini diambil dari terjemahan dalam bahasa Sunda  karya  sejarawan Sunda, yang bernama Atja (1968),  yang berjudul Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. (Bandung, Jajasan Kebudajaan Nusalarang).

Naskah ini seolah menjadi benang merah yang menghubungkan peradaban sunda masa lalu dengan masa kini. Naskah Carita parahiyangan ini berlatar belakang sejarah Galuh, karena di daerah inilah peradaban sunda dimulai sesungguhnya, meskipun sunda lebih mengarah ke kerajaann sunda yang didirikan oleh tarusbawa. Atau yang pertama kali menggunakan nama sunda sebagai tempat adalah Purnawarman dari kerajaan tarumanagara, dengan memindahkan ibukotaya dari Candrabagha (daerah Bekasi) ke Sundapura (daerah Bogor), Tetapi secara legitimate sejarah kerajaan  sunda yang sebenarnya berasal dari Galuh, karena raja-raja sunda setelah Tarusbawa mempunyai sejarah keturunan dari Galuh.

Jadi Novel Sejarah Sunda galuh, berlatar dari Naskah carita Parahiyangan. Dan jika kita pernah mengkaji ilmu keislaman, novel ini lebih mirip semacam tafsir, atau dengan kata lain, bahwa buku ini merupakan tafsiran tentang Naskah Carita Parahiyangan. Versi penulis. Dengan keterangan-keerangan diambil dari berbagai sumber, diantaranya: nakah bujangga manik, naskah wangsalerta, dan sumber sejarah lainna, dan para pakar sejarah dan juga internet.



BAB I. ASAL MUASAL SEJARAH GALUH
Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.

Alkisah bahwa sejarah yang ditulis dalam cerita parahiyangan diawali dengan tokoh Sang Resi Guru. Yang akan menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya Sang resi Guru  itu?  Dan Siapa juga tokoh-tokoh yang disebut dalam awal naskah Carita Parahiyangan tersebut?

1. Sang Resi Guru
Sang Resi guru adalah gelar untuk Resi Manikmaya. Ia berasal dari keluarga calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah mengembara  mengunjungi beberapa negara, seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa sapi (Ghohnusa) atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan lain-lain.

Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp. 535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah  perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja  resi guru di daerah ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.

Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.

2. Rajaputra
“Sang Resi Guru boga anak Rajaputra”, demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut. Rajaputra merupakan gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang.  Ia terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman  diangkat menjadi senopati Kendan, dan akhirnya  diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.

Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang ke-2. Penobatannya berlangsung  pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan,  keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.

Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.

3. Sang Kadiawan
Sang Kandiawan merupakan anak dari Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.

Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan,  ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan  diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.

Setelah ia  dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan  pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M).

Sang Kandiawan  mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun.  Kelima anak sang Kandiawan  dalam naskah ini dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,

Tahun 612 M,  Sang Kandiawan  mengundurkan diri dari tahta kerajaan, alalu menjadi pertapa  di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di Menir.


BAB II. BAGAWAT RESI MAKANDRIA
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”
Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi. Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek Sang Resi Guru : “Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung.”
Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak Mangalengale.

Pada bab kedua dari Carita Parahiyangan menceritakan kisah seorang resi, yang bernama Bagawat Resi Makandria, yang kelak akan menjadi mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh.

Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi denga banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.

Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”

Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk memiinta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.

Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.  

Dari kisah ini kemungkinan penulis ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.



BAB III. SAYEMBARA MENJADI RAJA
Carek sang Mangukuhan: “Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan.”
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun. Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh. Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara. Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.

Dalam suatu hari kelima orang putra Sang Kandiawan, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun  mengadakan acara berburu ke suatu tempat  berbukit (tegalan) di dekat pertapaan Bagawat Resi Makandria.  Acara berburu  itu dipimpin oleh putra tertua, yaitu: Sang Mangukuhan, dan berkata: “Mari adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).”

Dan sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal  (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima orang tersebut, dan kebowulan tertumbak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.

 
BAB IV. WRETIKANDAYUN
Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.

Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.

Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun, katujuhna diturunkeun, lantaran goreng lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi, lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.

Setelah menjadi raja selama lima belas tahun dari tahun 597 sampai tahun 612 M, Sang kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati  kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya, Wretikandayun di Galuh.

Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya yang menjadi resi pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Pada awalnya ia  menjadi rajaresi di Menir, dan kemudian diangkat menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya. Wretikandayun tidak berkedudukan di  di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).

Ketika ia dinobatkan sebagai raja Kendan,  penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M).  Dan ketika tahta tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali brebes sekarang).   

Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini  kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.

Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).

a. Saudara Saudara Wretikandayun
Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih menjadi  tukang moro (Tukang berburu), Kakak ketiganya,Sang Katungmaralah memilih menjadi  tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula), dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).

Tetapi kemudian ketika Wretikandayun diangkat menjadi Raja Galuh, keempat saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah kekuasaannya :
· Sang Mangukuhan diangkat dmenjadi penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan  berkuasa selama 80 tahun.
· Sang Karungkalah diangkat menjadi penguasa di  Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang kurang bagus.
· Sang Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik.
· Sang Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun

   

BAB V. PUTRA-PUTRA WRETIKANDAYUN
Diganti ku Rahiangtang Mandiminyak.
Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.
Carek Sang Resi Guru: “Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya manehna pibatureun hidep tatapa.”
Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang bodas etah?”
Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi di talaga Candana.
Carek Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?” Sampingna dileled ku sumpit, beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.
Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.

Wretikandayun atau Rahiyangta Menir dari istrinya Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, mempunyai 3 orang  putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).

a. Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru)  di Galunggung.

Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan)  Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.

Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.

Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.

b. Rahiyang Kidul
Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622 M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut Selatan).

c. Rahiyang Mandiminyak
Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M,  Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.

 
BAB VI. SKANDAL PERCINTAAN YANG MENGGEMPARKAN ISTANA GALUH
Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: “Patih, na naon eta ateh?”
“Bejana nu ngigel di buruan ageung!”
“Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing. Geuwat bawa sacara paksa!”
Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nyalahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.

Suatu waktu Rahiyang Mandiminyak yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknya tinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).

Kehadiran Pwah Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang ntuk melihatnya, sehingga buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.

Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.

Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia dilahirkan dari hubungan yang salah.

a. Istana Gempar
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat menggemparkan istana galug dan juga kerajaa. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan  setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.

b. Menyingkirkan Putra Mahkota
Untuk meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat keagamaan.    Menurut sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.

Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).

Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.


BAB VII. MENYERAHKAN BAYI HASIL SKANDAL
Carek Rahiang Sempakwaja: “Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah.”
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
“Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea.”
Carek Rahiangtang Mandiminyak: “Anak aing maneh teh, Sang Salah?”
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: “Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan!”
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.
“Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!”
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.

Setelah melahirkan anak hasil skandal dengan Rahiyang Mandiminyak, Pwah Rababu oleh suaminya (sempak Waja) disuruh untuk memberikannya kepada Rahiyang Mandiminyak di Galuh. Sempak Waja berkata:” Berangkatlah kamu Rababu, berikan bayi (budak) ke Rahiyang Mandiminyak, hasil zinah kamu, Sang salah lampah.”

Maka berangkatlah Rababu ke Galuh, dan memberikan bayinya ke Rahiyang Mandiminyak. Rababu berkata:” Saya disuruh oleh Rahiyang empak Waja untuk memberikan anak kecil ini, hasil paksaan kamu terhadap saya.”

Maka berkatalah Rahiyang Mandiminyak:” Kamu itu anak saya sang salah.”. Dan mandiminyak menyuruh patihnya untuk  menyimpan anaknya di jambangan, setelah itu kemudian di suruh dibawa ke hutan (tegalan). Kata Rahiyang Mandiminyak : “Patih bawa anak itu ke Jambangan, kemudian bawa ke hutan.”. Tetapi kelihatan  oleh patih, dan kelihatan juga oleh rahiyang Mandiminyak di hutan tersebut keluar tanda-tanda (kila-kila) sampai ke angkasa (awang-awang). Kemudian rahiyang mandiminyak menyuruh patihnya untuk mencari lagi ke hutan pembuangan anak tersebut, dan kelihatan oleh sang patih anak itu masih hidup. Hal ini kemudian dibawa ke hadapan Rahiyang Mandiminyak, dan kemudian anak itu dinamakan Sena.


BAB VIII. KUDETA PURBASORA DAN BALASAN KUDETA SANJAYA
Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.
Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, sarta anak saha sia teh?”
Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku
Rahiang Purbasora.”
“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga
ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.”
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?”
“Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.

Dalam bab ini menceritakan tentang lamanya kekuasaan Rahiyang Mandiminyak, yang kemudian diganti oleh putranya, Sena, yang berkuasa selama tujuh tahun, tetapi kemudian dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, putra tertua Rahiyang Sempak Waja. Dan juga diceritaan upaya-upaya Sanjaya atau rakeyan Jambri yang merupakan anak Rahiyang Sena untuk membalas dendam ayahnya yang dikudeta oleh Purbasora. Sanjaya sebagai putra dari Rahiyang Sena juga dapat membalasnya dengan mengkudeta Purbasora.

1. Rahiyang Mandiminyak (mp. 702-709 M)
Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang mandiminyak menajdi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak  berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga  posisi Rahiyang Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun  703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan.

Mandiminyak berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Sena.

2. Rahyang Sena (mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Mandiminyak.  Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya (Mandiminyak meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima oleh kakak seibunya, Purbasora, yang  merasa lebih berhak naik tahta Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.

a. Kudeta Purbasora
Karena merasa mempunyai hak tahta  dari Semplak Waja sebagai putra pertama Wretikandayun, maka Purbasora kemudian merebut kekuasaan (mengkudeta) dari tangan Sena pada tahun 716 M.

Pada awalnya rencana kudeta ini diketahui oleh Sena. Karena itu  Sena  lalu mengundang tentara dari kerajaan Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Tetapi justru Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari kerajaan indraprahasta (kerajaan mertuanya), Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M.

Dalam situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, ke negeri istrinya Sanaha, di Kalingga Utara (Medang Bumi Mataram) yang waktu itu diperintah  oleh mertuanya dan juga istri ayahnya, Parwati.

b. Menjadi Raja di Kalingga Utara ( Medang Bumi Mataram)
Setelah dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, Rahiyang Sena kemudian melarikan diri ke negeri istrinya, Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Di Bumi Mataram ini ia mewarisi tahta dari istrinya,  menjadi raja di Medang Bumi Mataram tersebut.

Medang bumi mataram beribukota di sekitar daerah yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah jawa timur sekarang.  Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang Bumi Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. Berdasar Prasasti Mantyasih tahun 907 M atas nama Dyah Balitung menyebut nama  Rakai mataram sang ratu Sanjaya. Tetapi dalam Prasasti canggal tahun 732 M, menyebut raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.

Jadi ada korelasi sejarah dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti yang ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.

3. Rahiyang Purbasora  (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora bergelar  Prabu Purbasora jayasakti mantraguna menjadi Raja di Galuh yang ke-4, setelah berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun 716 M. Ia mewakili orang yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan di Galuh.

Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh, Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong, disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang bernama Dewi Citrakirana.  Diceritakan bahwa Purbasora  dianggap type ideal Raja Galuh waktu itu, dan  patihnya bernama Bimaraksa, atau yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, merupakan anak dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).

Rhiyang Purbasora terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat idealis. Latar belakang idealis dan juga pada awalnya termarjinal, Prabu purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang leBih mengacu pada agama dan moralitas, bahwa sang Raja, Prabu Sena bukan orang yang cocok menjadi raja. Prabu Purbasora masih menganut idealisme kekuasaan di galuh. Ayahnya tidak berkuasa hanya alasan  giginya ompong, padahal dia adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang harus berkuasa di tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua, Jantaka Rahiyang Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak Raja jatuh pada pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia sehat, tetapi secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat skandal dengan ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru yang menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.

Secara moral lingkungan kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja Sena berada dalam masa yang rendah, dan masyarakat Galuh seolah mencibir keadaan istana yang penuh dengan skandal, dan telah terjadi pembenaran. Meskipun Prabu Sena tidak bersalah atau patut disalahkan, karena ia hanya hasil skandal. Tetapi masyarakat seolah tidak mau tahu dan hal ini berkembang menjadi bahan ejekan masyarakat. Hal inilah kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora. Disamping sangat dihormati secara moral, Purbasora oleh masyarakat justru dianggap sebagai tokoh ideal untuk menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa, purbasora adalah cucu pertama dari Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan kudeta terhadap Sena seolah didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat cepat dapat dilakukan.

Pada tahun-tahun pertama berkuasa, ia mencoba menghancurkan basis-basis kekuasaan Prabu Sena. Dan ketika sudah merasa aman dia berkuasa ia memulai melakukan langkah-langkah untuk memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa Purbasora ini keberadaan Galuh mulai diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya juga sangat mumpuni. Dengan bantuan dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat dengan mudah menguasai kerajaan Galuh dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu Purbasora tidak memprediksi kudeta dari keponakannya, Sanjaya, yang justru datang tidak diduga duga.

Purbasora hanya berkuasa selama 7 tahun (716-723 M), dan kemudian digulingkan oleh keponakannya, Sanjaya (Rakeyan Jambri), putra Sena, penguasa yang dikudeta sebelumnya.

4. Rahiyang Sanjaya
Rahiyang Sena dari istrinya Sannaha mempunyai seorang anak yang bernama Rakeyan Jambri, yang dikemudian hari terkenal dengan nama rahiyang Sanjaya.  Ia lahir pada tahun 683 M, yang berarti ketika ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun.

Ia kemudian berencana untuk menuntut balas dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta ayahnya. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan untuk pergi ke Kuningan untuk menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul juga menyarankan untuk pergi ke kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana istri Sanjaya berasal.  

Di Galuh, Sanjaya juga menemui opsisi  Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan teman ayahnya, Rahiyang Sena,  untuk meminta pusaka darinya  yang merupakan lambang kekuasaan Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal Sanjaya berkata:” saya putra Prabu sena, saya mau menanyakan tentang pustaka kepunyaan Rubuyut  Syawal, yang isinya ‘Retuning Bala sarewu”, yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan Sang Resi Guru.” Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang merupakan sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.

a. Kudeta Sanjaya terhadap Rahiyang Purbasora pada tahn 723 M
Setelah mendapat  pusaka dari Rubuyut Syawal, yang diselamatkan dari kudeta Prabu purbasora. Maka Sanjaya mulai menyusun kekuatan untuk mengkudeta Prabu Purbasora. Meskipun ia telah menikah dengan cucu Tarusbawa dari kerajaan Sunda,  ia belum berani menyerang galuh. Dan hasratnya dilaksanakan setelah Prabu Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M, dan ia menggantikan menjadi raja di Pakuan atas nama istrinya.

Rencana serangan terhadap Rahiyang Purbasora di Galuh,  disusun sangat hati hati dengan bantuan Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari Rubuyut Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin oleh paman istrinya,  Patih Anggada.

Serangan dilakukan pada malam hari  dengan diam-diam dan mendadak yang menyebabkan seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil  meloloskan diri hanyalah menantunya yang menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan, yang bernama Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa  ini yang dikemudian hari  terkenal dengan nama Aki Balangantrang, memainkan peranan penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari turunan sanjaya, yang diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat sering disebut dengan Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya menjadi batu sandungan Sanjaya  berikutnya.

Dengan demikian pada tahun yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah Sunda, yaitu kerajaan sunda dan kerajaan Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat dipersatukan lagi oleh Sanjaya.

5. Tarusbawa Sang Tohaan Sunda 
Tohaan Sunda dalam naskah ini artinya raja sunda, yang waktu itu adalah Prabu Tarusbawa.  Tarusbawa berkuasa dari tahun 699 sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.

Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa  akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Linggawarman kepada menantunya, Tarusbawa. Dari sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dan sejak itulah, Kerajaan Sunda mulai dikenal dalam panggung sejarah.

Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya menjadi raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.

Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  melakukan beberapa kebijakan, diantaranya  memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, ( Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada) yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.  Dalam Naskah  Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura  Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.

Dengan membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya).  Tetapi, pada waktu itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang berkuasa di Galuh, yang telah berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya wilayah  dibagi 2, dengan bantuan besannya dari Kalingga, Ratu Sima.

Untuk menghindari perpecahan, akhirnya disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan kekuasaan. Tarusbawa disebelah barat citarum sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.

Putra Tarusbawa terbesar, dan sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.

Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang kemudian digantikan Sanjaya, suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.


BAB IX. SANJAYA SETELAH MENGUASAI GALUH
Carek Rahiang Sanjaya: “Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna.”
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: “Na aya pibejaeun naon, patih?”
“Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi
Rahiang purbasora.”
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.
Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji
Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.”
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan. Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.
“Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran.”
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?”
“Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.” Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.

Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh, Sanjaya dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara.  Dalam urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh ia merupakan raja urutan ke-5.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi/hasrat untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh.   Ia melakukan penyerangan hanya  untuk menghapus  dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora, ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.

Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di tanah Galuh, yang menjadi  batara/ rahiyang di Galunggung, yaitu Sempak waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya.

Karena itu kemudian sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk menemui Sempak waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai  raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.

Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja  disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.

Batara dangiang Guru berkata: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.  Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.” (Rahiyang Sanjaya pergilah dapatkan oleh diri sendiri, Kalahkan Guruhaji Pagerwesi, kalahkan Wulan, Sang Tumanggal,  kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan guruhaji Balitar,  Dan pergilah  Rahiyang Sanjaya, kalahkan  Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa  di Kuningan. Mereka memenangkan kesaktian, yang menjadikan Sang Wulan, Sang Tumangga dan Sang Pandawa di Kuningan tidak menjadi bawahan Batara Dangiang Guru (sempak waja). Kalau  terkalahkan kamu bener-benar sakti.

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.

Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya measa tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya  untuk menyerang ketiga serangkai di  Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan. Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.

Dan kekakalahan ini kemudian dilaporkan ke Batara Dangiang Guru, dan ia dikejar-kejar oleh pasukan  Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.



BAB. X UPETI SANJAYA
Carek Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan: “Mawa pisajieun,
urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit (?), beas sacukupna pikeun dahar.”
Sadatang ka Galunggung, eureun di Pakembangan. Kasampak ku (Sang) Pakembangan. tuluy popojan ka Batara Dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: “Aya beja naon?”
“Pun Batara Dangiang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”
“Kacida bagjana sia datang ka dieu. Jung miang ka Galuh. Ondang Rahiang Sanjaya,
caritakeun, kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,
munding sarakit (?), kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar.”
Sadatang sia ka Galuh, carek Rahiyang Sanjaya : “Aya pibejaeun naon, sia Pakembangan?”
“Kami teh dititah ku Dangiang Guru. Rahiang Sanjaya supaya mawa pisajieun salengkepna. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”
Rahiang Sanjaya indit. Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru, carek Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya!
Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata.”
Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan kabawah ku Batara Dangiang Guru.
Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron.
Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.
Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang.
Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi.
Sang Manisri dijadikeun Buyuthaden Rahesa di Puntang.
Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan.
Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan.
Buyuthaden Pasugihan di Batur.
Buyuthaden Darongdong di Balaraja.
Buyuthaden Pagergunung di Muntur.
Buyuthaden Muladarma di Parahiangan.
Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.

Kekalahan Sanjaya oleh ketiga jagoan dari Kuningan mengakibatkan ia harus memberikan upeti (sajian).

Dalam cerita ini diungkapkan bahwa setelah memenangkan peperangan Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan menghadap ke Batara danghiang guru di Galunggung. Mereka membawa pisajiaeun (semacam upeti), dan berkata: “ Mawa pisajieun, urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit, beas sacukupna pikeun dahar (Membawa pisajiaeun (semacam upeti), kita berangkat ke Galunggung, pakaian lelaki lengkap, kursi, kerbau seraki (2 ekor), dan beras secukupnya untuk makan).”

Sesampainya di Galunggung, ia berhenti daerah Pakambangan, dan bertemu dengan Sang Pakambangan, hal ini kemudian dilaporkan oleh Sang kambangan ke Batara Dangiang Guru (Sempak waja) tentang kedatangan Sang Wula, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa. Sempak Waja sangat bahagia sekali kedatangan oleh jagoan dari Kuingan tersebut. Ia kemudian mengutus  Sang Pakambangan untuk menemui Sanjaya, dan supaya membawa upeti  “.......kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,  munding sarakit, kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar. (harus membawa pisajieun, pakaian laki-laki lengkap, kursi wulung, kerbau sarakit (2 buah), membawa besi dan beras secukunya”. Dan Sang Pakambangan menceritakan bahwa ada Sang Wulan, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa dari kuningan di Galunggung.

Maka Rahiyang sanjaya kemudian berangkat ke Galunggung. Sesampainya ke hadapan angiang Guru. Sang Dangiang Guru berkata:” Rahiang Sanjaya!Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata.”

Dengan kekalahan ini Sanjaya akhirnya harus mengikuti kemauan dari batara dangiang Guru. Dan Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa kemudian menjadi bawahan Batara Dangiang Guru. Dan mereka kemudian diangkat menjadi penguasa di daerah kekuasaan Batara dangiang Guru. Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron, Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha, Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang, Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi, Sang Manisri dijadikeun, Buyuthaden Rahesa di Puntang, Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan, Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan., Buyuthaden Pasugihan di Batur., Buyuthaden Darongdong di Balaraja., Buyuthaden Pagergunung di Muntur., Buyuthaden Muladarma di Parahiangan, Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.



BAB XI. SEMPAK WAJA DAN KETURUNANNYA
Rahiyang Sanjaya tumetep di Medang Ratu di Galuh, Sang Seuwakarma. Ari adina Ratu Galuh, miara sabaraha hiji anak munding, nyieun padumukan pikeun muja. Pindah-pindah tempat, sewabakti ka Batara Upati. (Nelah) Rahiang Wereh, nu matak disebut kitu, waktu ditilar, adi lanceuk masih laleutik keneh.
Teu tulus jadi ratu, lantaran (huntuna) rohang, mangkana katelah Rahiang Sempakwaja. Rahiyang Kidul oge hanteu bisa jadi ratu sabab burut, nya jadi Wikuraja. Sang Seuweukarma jadi Tohaan di Kuningan, lahirna di patapan, enya eta anak Rahiang Sempakwaja.

Cek Rahiang Sanjaya: “Atuh masih pernah dulur aing, aki! Lamun kitu mah karah. Ulah weleh mere bantuan ka aing, aki patih!”
Cek patih: “Muga-muga bae bisa deui urang ngamalkeun Sanghiang Darmasiksa. Ulah teu digugu!”
Omongan para patih ka Rahiang Sanjaya: “Lamun haying unggul perang, geura mangkat ti Galuh!” Prang ka Mananggul, eleh sang ratu Mananggul, Pu Anala pamanggul juritna. Tuluy ka Kahuripan, diperangan, eleh Kahuripan, Rahiangtang Wulukapeu taluk. Tuluy ka Kadul, diperangan eleh Rahiang Supena, taluk. Tuluy ka Balitar, diperangan, eleh sang ratu Bima.
Ti dinya Rahiang Sanjaya nyabrang ka wilayah Malayu. Kemir diperangan, eleh Rahiangtang Gana. Perang deui ka Keling, eleh Sang Sriwijaya. Perang ka Barus, eleh ratu Jayadana. Perang ka Cina, eleh pati(h) Sarikaladarma. Mulang Rahiang Sanjaya ka Galuh ti sabrang. Tunda.


BAB XII. RAHIYANG KUKU SANG SEUWEUKARMA
Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngayakeun gempungan jeung para patih; raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan.
“Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya. Cokot emas sakati, lima boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya.”
Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung para patih sakabeh.
“Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun ngabageakeun Sang Seuweukarma,
lantaran enya eta Rahiang Kuku.”
“Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka Galunggung, dipapag, dihormat disayagian cai pikeun sibanyo.”
Carek Rahiangtang Kuku: “Sang patih, bawa kami marek ka rahiang Sanjaya. Tah emas sakati, lima boehna.”
Carek sang patih: “Pun Tohaan! Boh emas boh beusi henteu diajenan ku Rahiang Sanjaya. Nu diajenan teh ngan huripna jalma rea.”
Rahiangtang Kuku jadi kabingungan. Terus mulang deui ka Arile. 
Carek Rahiangtang Kuku: “Na naon pakeun urang bakti ka Rahiang Sanjaya?”


BAB XIII. PENGARUH RAHIYANG KUKU DAN SUKSESI SANJAYA
Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang Sempakwaja. Ayeuna urang caritakeun Rahiangtang  Kuku, indit ka Arile, ngababakan di Kuningan.
Kasohor Rahiangtang Kuku, enya eta Sang Seuweukarma, ngadeg di Kuningan, anakna Rahiang Sempakwaja. Indung bapana teh tempat panyaluuhan jalma rea.
Dayeuh, desa, pulo jeung sakurilingna: ti Keling bakti ka Rahiangtang Kuku; Rahiangtang Luda di puntang; Rahiangtang Wulukapeu di Kahuripan; Rahiangtang Supremana di Wiru; Rahiang Isora di Jawa sang ratu Bima di Bali (tar); di Kulon di Tu(n)tang Sunda nyabrang ka wilayah Malayu. Rahiangtang Gana ratu di Kemir; Sang Sriwijaya di Malayu, Sang Wisnujaya di Barus, Sang Bramasidi di Keling. Patihna Sang Kandarma di Berawan; Sang Mawuluasu di Camara Upatah; Sang Pa(n)cadana ratu di Cina.

Kabeh kabawah ku Rahiangtang Kuku. Kabeh ngaku ratu ka nu calik di Saunggalah. Kabawah ku Sang Seuweukarma, sabab Ngukuhan ajaran Dangiang Kuning.

Di Galuh Rahiang Sanjaya nanyakeun: “Kumaha sang patih, pilukeun urang? Urang hanetu dianggap kulawarga ku Rahiangtang Kuku. Sang patih! Jig indit sidikkeun ku sorangan ka Kuningan. Bisa jadi urang dipajarkeun turut campur kana karia, padahal urang henteu dibejaan, daek indit.”
Sang patih nepi ka Kuningan, marek ka kadaton, terus ngabakti ka Rahiangtang Kuku.
Carek Rahiangtang Kuku: “Oh sang patih!Na naon bejana, mana dating ka dieu?”
Carek sang patih: “Kami dititah ku Rahiang Sanjaya. Diparentah nyidikkeun ka dieu.
Saha nu dijungjung, nu dijenengkeun ratu?”
Carek Rahiang Kuku: “Eh sang patih! Pantesna nya aing dijungjung dijenengkeun ratu ku balarea. Ngan ti Rahiang Sanjaya mah henteu diharepkeun, lantaran kulawarga, jeung moal ka kami mah, sabab dianggapna resep maehan kulakadang baraya. Malah aing ditempatkeun ka Kuningan oge ku Rahiang Sempakwaja. Aing beunang Rahiang Sempakwaja nempatkeun ka Kuningan ieu teh.
Mana aing teyu diganggu ku Rahiang Sanjaya.”
Sang patih mulang ka Galuh.
Ditanya ku Rahiang Sanjaya: “Aki, kumaha carek Rahiangtang Kukuka urang?” “Pun,
Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku teh tapana kataekan. Ngagem Sanghiang Darma kalawan Sanghiang Siksa. Tumut kana wisik Sang Rumuhun, jadi lulugu dina Hirup kumbuh. Kukituna ku urang turut tanpa rasa gigis. Tembongkeun ku urang, da urang jeung Tohaan teh saturunan, kabeh ge pada-pada turunan dewata.”
Geuwat dicokot pustaka ku Rahiang Sanjaya. Barang nepi terus diungkab eta pustaka teh. Unina kieu: “Ong awignam astu, kretajugi balam raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya retuning dewata, sang adata adining ratu dewata sang sapta ratu na caturyuga. Sang Resi Guru tipekur di nu suni ngayuga Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati. Nya puputra Rahiangtang Kulikuli, Rahiangtang Surawulan, Rahiangtang Pelesawi, Rahiangtang Rawunglangit, bungsuna Sang wretikandayun.
Sang Wretikandayun boga anak Rahiang Sempakwaja, Rahiang Kidul, Rahiangtang Mandiminyak. Rahiangtang Mandiminyak boga anak Sang Sena, sang Sena boga anak Rahiang Sanjaya.”
Awewe geulis, Dobana mawa parahu, panjangna tujuh deupa, dibagian hareupna dimomotan rupa-rupa pakarang.
“Urang ka nusa Demba!” Nya terus maranehanana balayar.
Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek ngamuatkeun Pwah Sangkari Pucanghaji Tunjunghaji, ditumpakkeun dina gajah putih. Kakara ge leumpang sapanjang buruan.
Teu disangka-sangka Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma cunduk ka nusa Demba,
tuluy ka kadaton, diuk tukangeun Sang Siwiragati.
Rahiangtang Kuku diudag ku gajah putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.
Henteu aya balik deui ka kadaton gajah putih teh, ngawula ka Rahiangtang Kuku.
Rahiangtang Kuku mulang deui ka Arile, dibawa dina gajah putih jeung Pwah Sangkari.
Pwah sangkari teh ngomong: “Naha henteu aya emas saguri, sapotong sapaha jeung salengkepna papakean?”
Tuluy bae ka Galuh, ka Rahiang Sanjaya, henteu nyimpang ka Arile. Dibawa na gajah putih ditutup ku lungsir putih tujuh kayu diwatangan mas mirah komara inten. Barang dating ti nusa Demba, tuluy ka kadaton, sanggeus cunduk, Rahiangtang Kuku nyarita ka Rahiang Sanjaya, naha resep mireungeuh gajah putih.
Tanyana: “Mana?”
Tuluy gajah putih teh ditumpakan, Pwah Sangkari disanghareupkeun ka Rahiyang
Sanjaya. Sanggeus nepi ka padaleman, henteu balik deui.
Carek Rahiang Sanjaya: “Na naon nu jadi karempan teh? Ayeuna aing hayang runtut raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Ayeuna urang tetepkeun: tanah bagaian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang Isora ti Wetan; jauhna nepi ka kalereun Paraga jeung Cilotiran, ti Kulon Tarum, ka Kulon bagian Tohaan di Sunda.”
Sanggeus Rahiangtang Kuku mulang ka Arile, sadatangna ka Arile, putus hancana di dunya, hilang dina umur nu kacida kolotna.
Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang Tamperan: “Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea.”
Lilana jadi ratu salapan taun, diganti ku Rahiang Tamperan.


BAB XV. KUDETA SANG MANARAH DAN RAJA GALUH SESUDAHNYA
Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta Galunggung, tiwetana Jawa. Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeungdulurna Rahiang Banga.

Sang manarah males pati. Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh. Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah. Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade.
Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.


1. Tamperan Barmawijaya  (732-739 M)
Tamperan Barmawijaya  mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi Raja Kalingga Mataram (Medang Kamulan atau Bhumi Mataram). Tamperan berkuasa  selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M,  yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang Manarah, karena membunuh ayah kandungnya Permana Dikusuma alias Ajar Padang.

Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh  menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resi guru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M.

Ketika Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan istana  untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan. Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap  Permanadikusumah.

Premanadikusuma ketika meninggalkan istana,  juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun.     Temperan mewarisi watak buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal  dengan pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan membuahkan  kelahiran Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri keduanya.

a. Kudeta Sang Manarah
Tamperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari  Sanjaya  yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya Aria Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.

Ki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia/burut). Ki Balangantrang adalah satu satunya keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan di siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.

Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh


2. Sang Manarah (739-783 M)
Sang Manarah atau Prabu  Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.

Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah  Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.

Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.

a. Ki Balangantrang
Ki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia/burut).  Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hapir seluruh keluarga Purbasora, ia yang waktu itu menjadi patihnya berhasil menyelamatkan diri. Ia juga merupakan kakek dari Sang Manarah, karena Naganingrum nmerupakan anaknya.

Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Ki Balangntarang ini  dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian  berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan. Ia dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang  yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat  diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan tersebut.

Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.

Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (Dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan.

Tetapi tindakan banga ini  diketahui oleh pengawal, yang segera memberitahu Sang manarah. Karena itu kemudian terjadi pertempuran antara Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Banga.  Sementara itu Tamperan dan pangrenyep yang melarikan diri kemudian terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.

b. Serbuan Sanjaya dari Bhumi Mataram ke Galuh
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan  besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh. Dilain pihak,  Manarah telah menduga  bahwa sanjaya tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siaga dengan pasukan  yang juga didukung oleh pasukan sisa Indraprahasta (kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi Wanagiri), dan raja-raja daerah Kuningan yang pernah ditaklukan oleh Sanjaya.

Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.

Perang saudara satu keturunan Wretikandayun  meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan  atas prakarsa  rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.

Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.

Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh  hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri  dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa  hingga akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.
 
  • Nama Ciung wanara terdapat dalam naskah babad Galuh dan babad Pajajaran.
  • Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan banga  sering tidak sesuai (dikacaukan). Tidak saja dalam hal usia, dimana Banga dianggap lebih tua, juga dalam penemptan  mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja  Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan  posisi itu  mulai tampak dalam  naskah carita Waruga Guru yang ditulis pertengahan abad ke-18 M. Dan kekacauan  yang paling mencolok dari carita waruga Guru adalah banga dianggap sebagai pendiri Majapahit. Padahal Majapahit didirikan oleh Wijaya pada tahun 12393 M, 527 tahun setelah  banga meninggal.
  • Keturunan Sang Manarah  berkuasa hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (mp. 813-852 M). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adikny, yaitu Rakeyan  Wuwus Prabu Gajah Kulon (mp. 819-891 M), cicit dari Hariang Banga  yang menjadi raja sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 kedua kerajaan pecahan Tarumanegara itu diperintah oleh keturunan Hariang Banga, sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keratin Pakuan, Galuh,
  • Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Banga  merupakan raja bawahan, yang terpaksa diterima oleh Banga. Banga merasa, ia bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.         
                                      
3. Guru Minda  Sang  Manistri (mp.782-799 M)
Dalam Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang manarah, yang menggantikannya adalah Sang Minisri,  yang berkuasa selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama 17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan 799 M.

Sang Minisri bergelar Prabu Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan mertuanya, Sang Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799 M, Sang Minisri menikah dengan Purbasari, putri dari Sang Manarah. Guruminda Sang minisri dalam cerita Pasundan terkenal dengan nama Lutung kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya banyak diceritakan dalam kisah lutung kasarung tersebut. Ia kemudian digantikan oleh  Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa.

4. Sang Tari Wulan Prabu Kertayasa (mp. 799-806 M)
Sang Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7 tahun, dari tahun 799 sampai dengan tahun 806 M.

Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara, merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya Rakeyan Hujung Kulon menikah dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda menantunya, Rakeyan Hujung Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran hujung Kulon bergelar Prabu Gilingwesi.

Karena kakaknya, Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta galuh jatuh pada adiknya, Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
 
5.  Sang  Welengan (mp. 806-813 M)
Sang Welengan dan bergelar Prabu  Brajanagara Jayabhuwana, menjadi penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu Kertayasa. Dalam Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia berkuasa di Galuh selam 7 tahun..
 
6. Prabu Linggabhumi (mp. 813-852 M)
Prabu Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan tidak diceritakan. Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan. Ia menjadi penguasa Galuh menggantikan Sang Welengan.  Setelahnya tahta Galuh kemudian diserahkan  kepada suami adiknya, Rakeyan Wuwus atau yang terkenal dengan gelar Prabu Gajah Kulon, cicit Banga yang menjadi raja Sunda ke-8.

7. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (Mp. 819-891 M)
Prabu gajah Kulon menjadi penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya,  Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit dari banga yang mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh bersatu kembali. Rakeyan Wuwus  beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu adik perempuan rakeyan Wuwus  menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggatikan kedudukannya sebagai raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana atau Arya Kedatawan.

Dengan demikian sejak tahun 852 M, kerajaan Sunda dan galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara kerabat keraton Pakuan, Galuh dan Saunggalah. Dan terpecah lagi pada masa setelah Prabu Niskala Kancana, yang membagi kekuasaan bagi kedua anaknya, Prabu Susuk tunggal di pakuan sedang Prabu dewa Niskala di Galuh.

Dan kedua kerajjaan ini kemudian disatukan lagi oleh cucu Niskala wastu Kancana, yaitu Jayadewata, yang kemudian berghelar Sri baduga Maharaja. Dan era tersebut kemudian terkenal dalam sejarah Sunda disebut sebagai era Pakuan Pajajaran ataau Pajajaran saja, yang dinisbatkan kepada nama ibukotanya, pakuan Pajajaran.


BAB XVI. RAHIYANG BANGA DAN RAJA-RAJA SESUDAHNYA
Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu bener. 
Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun.
Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun.
Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun.
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.
Rakean Gendang lilana jadi ratu tilu likur taun.
Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun.
Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun.
Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun.
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapanpuluhdua taun, lantaran ngukuhan kana
lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.
Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas taun.
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan.
“Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun.
Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun.
Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun.
Nu hilang di Kiding, lilana jadi ratu tujuh taun.
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun.

Dalam bab ini diceritakan bahwa :
  1. Rahiyang Banga berkuasa selama 7 tahun karena kelakuannya yang kurang baik
  2. Rakeyan Medang berkuasa selama 7 tahun,
  3. Rakean Diwus berkuasa selama  24 tahun,
  4. Rakean Wuwus berkuasa selama 72 tahun
  5. Yang hilang di Hujung Cariang berkuasa selama 3  tahun, tahun ke empatnya tidak bertahan (turun tahta), sebab salah lampah,  memikat perempuan dengan perempuan. 
  6. Rakean Gendang berkuasa selama 23 tahun
  7. Dewa Sanghiang berkuasa selama 7 tahun.
  8. Prebu Sanghiang berkuasa selama 11 tahun.
  9. Prebu Datia Maharaja berkuasa selama 7 tahun.
  10. Yang meninggal  di Winduraja berkuasa selama 23 tahun.
  11. Yang meningggal di Kreta berkuasa selama  92 tahun, sebab melakukan kesejahteraan dan kerajaan yang gemah ripah loh jinawi.  
  12. Diganti lagi oleh yang meninggal  di Winduraja, dan tidak lama berkuasanya hanya 18 tahun.
  13. Diganti oleh Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, yaitu yang membangun  sanghiang binajapanti. Yang menjadikan para kabuyutan dari  sang rama, dari sang resi, dari sang disri, dari sang tarahan  dalam Parahiangan. “Dari siapa berkahnya?” Dari sang wiku yang membawa ajaran Sunda sejatinya, berpegangan pada Sanghiang Darma, mengamalkan  Sanghiang Siksa.
  14. Mempunyai anak yang meninggal di Taman, berkuasa selama  6 tahun, 
  15. Mempunyai anak yang meninggal di Tanjung, berkuasa selama 8 tahun, 
  16. Mempunyai anak yang meninggal di Kikis, berkuasa selam 22 tahun.
  17. Yang meninggal  di Kiding, berkuasa selama 7 tahun.
  18. Mempunyai anak  Aki Kolot, berkuasa selama 10 tahun.
Dan karena ada kesimpangsiuran tahun berkuasa dengan naskah Wangsaakerta, mengenai tahun kekuasaan lebih mengarah kepada apa yang diceritakan alam naskah Wangsaakerta.


1. Hariang Banga (mp. 739-766 M)
Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.

Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara  Manarah dengan Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh  Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diangkat menjadi raja sunda pada  tahun 739 Masehi, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.

Dari pernikahannya dengan Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah),  Sang Banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan .

Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh. Lepasnya Pakuan dari Galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum

2. Rakeyan Medang  (mp. 766-783 M)
Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar penobatan Prabu Hulu Kujang. Ia merupakan putra dari Hariang Banga dari istrinya Dewi Kencana Sari (keturunan Demunawan). Ia tekenal dengan nama  Rakeyan Medang, karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya).

Sebelum menjadi raja, Rakeyan Medang menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang bernama Dewi Samatha. Sang putri kemudian menikah dengan Rakeyan Hujungkulon.   Karena Rakeyan Medang  tidak mempunyai anak laki-laki, maka  tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.

3. Rakeyan Hujung  Kulon  (mp. 783-795 M)
Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.

Rakeyan Hujung Kulon merupakan putra raja Galuh, Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.

Dari negeri ayahnya, tahta Galuh jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.

Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara pada tahun 795 M.

4. Rakeyan Diwus / Prabu Pucuk Bhumi (mp. 795-812 M)
Rakeyan Diwus naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Hujung Kulon Prabu Giling Wesi. Ia berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian digantikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.

5. Rakeyan Wuwus / Prabu Gajah Kulon (mp. 812 -...M)
Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
Rakeyan Wuwus  menikah dengan putri Sang Welengan, Raja Galuh (mp. 806-813 M), yang bernama Dewi Kirana.  Setelah Sang Welengan meninggal dunia, tahta galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga Rakeyan Wuwus berkuasa atas Sunda dan Galuh. Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Sunda Galuh dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.

Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah:  Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).

Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.

6. Arya Kedaton  / Prabu Darmaraksa  (mp. 891-895 M)
Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik tahta degan merebut kekuasaan dari putra mahkota Batara Danghiyang Guruwisuda.

Selama berkuasa ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.
 
7. Rakeyan Windusakti / Prabu Dewa Ageung (mp. 895-913 M)
Rakeyan Windusakti dengan gelar Prabu Dewa Ageung Jayeng Buana, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Arya Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.Rakeyan Windusakti menikah dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi Sawitri.  Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti, mempunyai  dua orang putera, yaitu:  Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri. Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M. dengan gelar  Prabu Pucukwesi
                        
8. Rakeyan Kamuning Gading / Prabu Pucuk Wesi  (mp. 913-916 M)
Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

9. Rakeyan Jayagiri / Prabu Wanayasa (mp.916-920 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa Jaya Buana berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung. 

Setelah mengkudeta kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan Jayagiri juga berusaha untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan Rakeyan Kamuning Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh, Rakeyan JayaDrata, yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya yang bernama Dewi Sundara.  Dan berbarengan dengan kudeta Jayagiri terhadap Kamuning Gading, di kerajaan Galuh terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.

Untuk menyempurnakan kekuasaanya, pasukan kerajaan Sunda kemudian diperintahkan oleh Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton Galuh. Tetapi ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua yang besar dan lengkap, dikerahkan untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan kedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.

Karena tidak pernah dapat dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan sunda sebelah barat Citarum.

Rakeyan Jayadrata menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu, Rakeyan jayadrata mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut kekuasaan dari Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.

Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.

Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.

Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.

10. Rakeyan Limbur Kancana (mp. 920-930 M)
Rakeyan Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya, Rakeyan Jayagiri, sebagai balas terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.

Rakeyan Limburkancana mempunyai 2 orang anak, yaitu Rakeyan Sunda Sambawa dan Dewi Somya. Setelah Limburkancana meninggal, tahta Sunda direbut oleh menantu Rakeyan Jayagiri   yang bernama Rakeyan Watuagung.

11. Rakeyan Watuagung (mp. 930-954 M)
Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M). Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M).
    
12. Rakeyan Sunda Sambawa / Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M)
Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merupakan putra dari Limburkancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri. (Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe).

13. Rakeyan Wulung Gadung / Prabu Jayagiri (mp. 973-989 M)
Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan wulung Gadung berkuasa di tanah sunda dari tahun 973 smpai 989 M.

Rakeyan Wulung Gadung menikah dengan Dewi Somya, yang merupakan putri dari Prabu Limbur Kencana, adik dari Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya, Rakeyan Sunda sambawwa tidak mempunyai anak, maka ia menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu Munding Ganawirya. Dari perkawinannya dengan Dewi Somya ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan gendang.

Rakeyan Wulung Gadung  ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


14. Rakeyan Gendang  (mp. 989-1012 M)
Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan wulung gadung atau prabu Jayagiri, yang berkuasa selama 23 tahun.

Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang yang dikemudian hari menggantikan ayahnya menjadi raja sunda, dan Dewi Rukmawati, dinikahi oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan Galuh yang bertahta pada tahun 988-1012 M. Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)

15. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun.

Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh, sehingga ia bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia kemudian mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 M. Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).

16. Prabu Sanghiyang Ageung  (mp. 1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang Ageung dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu Sanghiang” yang berkuasa selama 11 tahun.  Prabu Sanghiyang Ageung mewarisi tahta sunda dan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Sanghiyang yang meninggal dunia. Ia memerintah tanah sunda  dari tahun 1019 hingga 1030 M, dengan ibukota  di istana Galuh. Karena ia berkuasa atas Sunda dan galuh maka ia menyadang gelar Maharaja. Dan sebagai penguasa wilayah kerajaan galuh, ia percayakan kepada adik istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1019 M. Maharaja sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030M, tetapi Dewi Sumbadra berkuasa atas tanah galuh hingga tahun 1065 M. Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.

17. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
Dalam Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa selama 7  tahun. Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya. Ia berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.    Sri jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja : Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya calakabhuana mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak. Sri jayabupati mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang dikemudian hari menggantikan sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima angkatan laut, Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak dari istrinya yang bernama Dewi Pertiwi), dan lainnya. Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.

a. Prasasti Peninggalan Sri jayabhupati
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak. Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98.

Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte) :
D 73 : //0// Swasti  shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, ma-
D 96 : Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97 : Sumpah denira prahajyan  sunda. Iwirnya nihan.  

Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu.  Disebelah hilir dalam batas daerah  pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah)

Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda  lengkapnya tertera pada prasasti  ke-4 (D 98). Terdiri dari 20  baris, yang intinya menyeru semua  kekuatan gaib didunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya  kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal  menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan menantu dari Dharmawangsa.

18. Prabu Dharmaraja (mp. 1042-1065 M)
Prabu Darmaraja dalam carita parahiyangan  dsisebut “ Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja selama 23 tahun.   Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada tahun 1042 M. Ia berkuasa atas seluruh tatar sunda (Sunda, Galuh, Galunggung). Pada awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh  saudara seayah, Wikramajaya, yang menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.  Tetapi pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima Angkatan Laut diganti oleh Wirakusuma. Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi Surastri, dan mempunyai beberapa orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai raja, Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan dan Wirayuda yang menjadi  Panglima Perang. Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama Desa di Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja. Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)

19. Prabu Langlangbhumi (mp. 1065-1155 M)
Dalam Carita parahiyangan Prabu Langlangbumi disebut, “Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya yang sangat baik “lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah” Prabu Langlangbhumi  atau Prabu Langlang Bhuana naik tahta Sunda  menggantikan ayahnya, Prabu Dharmaraja, dan berkuasa selama 90 tahun, sedangkan di Galuh ia berkuasa selama 92 tahun. Prabu Langlangbhumi lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155 M. Ia menikah dengan Dewi Puspawati, putri dari Sang Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda, dan Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih). Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yang oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26. Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena di makamkan di kerta. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M).

a. Hubungan Kerajaan Sunda, galuh dan Galunggung
Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang bernama dewi Puspawati yang kemudian menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan Dewi citrawati, yang juga mengharap diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena hasratnya tidak tercapai, maka Dewi Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya, dewi Puspawati.

Karena melihat gelagat yang membahayakan, ayahnya, sang Resiguru Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi Citrawati dengan penguasa (raja)  Galunggung yang bernama Resiguru Sudakarenawisesa. Karena lebih memilih jalan hidup sebagai resi, maka Sudakarenawisesa menyerahkan tahta kerajaan Galunggung kepada istrinya, Dewi Citrawati, dengan gelar penobatan Batari hiyang Janapati.

Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.

Untuk mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut,  Maharaja Langlangbumi,  meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima, Suryanagara supaya diambil jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.

Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan :
· Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
· Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.

b. Prasasti Geger Hanjuang
Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya baris demi baris  sebagai berikut :
tra ba i gune apuy na- sta gomati sakakala rumata- k disusu(k) ku batari hyang pun
Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.

Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan (membangun parit pertahanan sebagai perlindungan).  Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor.

Prasasti itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 M masih tetap dihormati. Dalam kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang kesejahteraan hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita.

Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya belum dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain.

c. Pelarian dari Kediri
Pada zaman   (1065 - 1155 M) ada raja kediri yang melarikan diri ke tanah sunda, karena kalah perang, yang diungkapkan dalam Babad Galuh. Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu Langlangbumi diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke tatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad Galuh.

20. Rakeyan Jayagiri / Prabu Menak Luhur  (mp. 1155-1157 M)
Dalam Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan dalam Carita parahiyangan, karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan Sunda saja, yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat. Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu selama 2 tahun, karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di sunda), dan di galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan wilayah Sunda ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan sekitarnya ia masih pegang sendiri. Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan permaisurinya. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa. Ratna Wisesa menikah dengan  Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa. Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara meninggal  pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, jatuh ke menantunya,  Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.

21. Prabu Darmakusuma (mp. 1156-1175 M)
Dalam Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma hanya di sebutkan tempat meninggalnya “ Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa selama 18 tahun. Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan mertuanya. Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3 kerajaan utama: Galunggung, Galuh dan Sunda). Prabu Darmakusuma berasal dari Galunggung, ia merupakan cucu dari penguasa Galunggung, Batari Hiyang Janapati. Ia menikah dengan putri dari Raja Sunda, Prabu Menak Luhur, yang bernama Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Sang darmasiksa, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
              
22. Prabu Darmasiksa (mp. 1175-1297 M)
Dalam bagian ini Rakean Darmasiksa lah yang banyak diungkapkan tentang kelebihannnya,“ ......Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.” Rakeyan Darmasiksa atau  Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta tahun 1175 M menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk Galuh, galuggung dan Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor) pada tahun 1187 M. Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa merupakan titisan (jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna (Binajapanti)  dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu :
  • Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi
  • Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah
  • Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera,  Rahiyang Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan Singasari. Dari perkawiannya memperoleh putra yang bernama rakeyan Wijaya atau raden Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai pendiri kerajaan majapahit.
a. Masa Kekuasaannya
Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.

Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M

b. Sebelum Menjadi raja Sunda
Sebelum menjadi raja sunda, Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di Saunggalah (Kuningan)  selama 12 tahun, mewakili mertuanya.  Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.

Pada awalnya ia berkuasa di Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian  memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak di daerah tasik selatan sebelah barat.

Sebagai pangeran, putra, Prabu Darmakusuma  raja Sunda, ia kemudian  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1175 M.  Ia berkuasa  sebagai raja Sunda dan berkedudukan di Pakuan, sedang di Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya, Prabu ragasuci.

Disebutkan bahwa Rakeyan darmasiksa merupakan  penjelmaan dari ’Patanjala sakti’, yang semula menjadi  penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)  Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya yang bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat banyak).


c. Hubungannya dengan pendiri Majapahit, Raden Wijaya
Pabu Darmasiksa memiliki putra mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma  mempunyai istri yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri  Mahisa Campaka  dari kerajaan Singasari.

Dari perkawinan dengan Dyah Singamurti ini ia mempunyai anak  yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih terkenal dengan nama  Rakeyan Wijaya, yang lahir di Pakuan (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena Jayadarma  meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah di Pakuan, akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.

Dengan meninggalnya Jayadarma  mengosongkan kedudukan putra mahkota. Karena anak dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari (jawa Timur), maka tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu Ragasuci.

Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci.

d. Nasehat Prabu Darmasiksa Terhadap Raden Wijaya
Prabu Darmasiksa masih  memiliki kesempatan  menyaksikan kelahiran Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya.  Menurut Pustaka II/2, Prabu Darmasiksa  pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada cucunya tersebut:

”Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanyarajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya mangkanajuga rajya sunda ring wilwatika”

Inti dari nasehat Darmasiksa ini menjelaskan tentang larangannya untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah  sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.

Mungkin dari nasehat inilah, dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama, atau Kidung Sunda, kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan wilayah taklukan majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang melawan Majapahit. Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih Gajah mada di kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini merupakan awal dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari  kemunduran dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan hingga abad ke-16 M.

e. Naskah Amanat Galunggung
Bukti tertulis peninggalan dari Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang sekarang dinamakan dengan naskah Amanat Galunggung.
Inti dari naskah amanat galunggung berisi:

· Keharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
· Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
· Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.

1). Tentang  gelar Dyah Singamurti, Dyah Lembu Tal, masih diperdebatkan dalam sejarah.
2). Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng, yang berarti cucu dari Ken Arok dan Kendedes.
3). Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Ia juga merupakan keturunan Ken Dedes dari pihak ibu (turunan ke4). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci..

24. Prabu Ragasuci  (mp. 1297-1303 M)
Prabu Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “ Nu Hilang di Taman”.  Nama masih belum menjadi raja terkenal dengan nama Rakeyan Saunggalah, dan setelah menjadi raja bergelar Prabu Ragasuci. Ia  naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Karena sebelumnya, ayahnya,  Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).

Prabu Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota, karena kedudukan itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Karena Jayadarma meninggal ketika masih muda (usia 44 tahun), ia kemudian naik tahta menggantikan ayahnya.

Prameswarii Ragasuci yang bernama Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, dan merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama Citraganda, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.

Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
   
25. Prabu Citraganda (mp. 1303-1311 M)
Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “Nu Hilang di Tanjung”). Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya tahun 1303 M, Prabu ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan galunggung) selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.

Ia merupakan putra dari Prabu Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Prabu Citraganda berprameswarikan Dewi Antini, yang merupakan putri dari Prabu Rajapurana.

Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.                                       

26. Prabu Lingga Dewata  (mp. 1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya “ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh  menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M). Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa. Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.

27. Prabu Ajiguna Wisesa (mp. 1333 - 1340 M)
Prabu  Ajiguna Wisesa dalam Carita parahiyangan disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda (termasuk Galuh) selama 7 tahun dari tahun   1333 sampai dengan tahun 1340 M. Ia naik tahta menggantikan mertuanya Prabu Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang Hilang di Kikis). Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun.

Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yaitu:
· Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan anak pertama, dan  kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda.
· Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon.
· Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak bungsu. Ia diangkat  menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga.  Ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding atau dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang di Kidding”.

a. Cikal Bakal Kerajaan Talaga dan Sumedang Larang
Anak Prabu Ajiguna Wisesa yang ketiga yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh dianggap sebagai cika bakal kerajaan Talaga. Putra Suryadewata  yang bernama Suddhayasa, yang dikenal juga dengan nama Batara Gunung Picung atau batara gnung bitung dianggap menjadi cikal bakal kerajaan Talaga (Majalengka).

Batara Gunung Picung mendirikan kabataraan Gunungpicung di Talaga. Kabataraan di Gunung Picung diyakini sebagai kekuasaan kebataraan setelah kebataraan Tembong Agung, di Sumedang berubah menjadi kerajaan Sumedang Larang.  Kekuasaan kabataraan gunung picung  dari Batara Gunung Picung kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.

Sebelumnya Prabu Suryadewata, sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan,  menginstruksikan kepada Prabu Tirtakusuma (Sunan Tuakan)  untuk membangun kerajaan Sumedang Larang di Ciguling

28. Sang Aki Kolot (mp. 1340-1350 M)
Dalam Carita Parahiyaangan di sebutkan bahwa Sang Aki Kolot menjadi raja/berkuasa di Galuh dan Sunda selama 10 tahun.

Sang Aki kolot merupakan sebutan dari Prabu  Ragamulya Luhur Prabawa, yang naik tahta  Sunda  (termasuk Galuh) menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun  dari tahun 1340 sampai dengan tahun 1350 M.

Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman.

Setelah meninggal kekuasaan jatuh pada anaknya, yang bernama Prabu Linggabuana wisesa, yang dalam Carita Parahiyang hanya disebut Prabu Mharaja, yang berkuasa selama 7 tahun  (1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat


BAB. XVII PRABU LINGGABUANA DAN RAJA SESUDAHNYA
Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. Batara guru di Jampang teh, nyaeta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh. Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

1. Maharaja Prabu Linggabuana  (mp. 1350-1357 M)
Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357 M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.

Prabu Maharaja Linggabuana  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi. Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.

Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.

a. Pribadi
Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut :
”Dimedan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya  diperintah dan dijajah  orang lain.”

Ia tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (didaerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang.

Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin  oleh Pati Gajah Mada  yang jumlahmya tidak terhitung.

b. Kebijakannya
Ia senantiasa  mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan  hidup rakyatnya di seluruh wilayah kekuasaanya. Kemashurannya juga sampai kepada negara-negara  di pula pulau dwipantara atau (nusantara namanya yang lain).

Kemashuran sang raja membangkitkan (rasa bangga kepada ) keluarga, mentri-mentri kerajaan, angkat perang dan rakyat pasundan. Oleh karena itu namanya mewangi. Selanjutnya ia kemudian bergelar Prabu wangi.

c. Perang Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya tercatat dalam suatu naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan geguritan Sunda.

Melihat rombongan Sunda yang tidak bersenjata lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda, sebagai pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.

d. Latar Belakang Perang Bubat
Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit  pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.

Patih Anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.

Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan :
· Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
· Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang  mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan).
· Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.

Gajah Mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk  balas dendam.

e. Perang Bubat dan Karir Patih Gajah Mada
Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan  karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.

f. Yang Gugur Dalam Perang Bubat
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
· Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
· Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
· Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
· Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
· Gempong Lotong
· Sang Panji Melong Sakti
· Ki Panghulu Sura
· Rakeyan Mantri Saya
· Rakeyan Rangga Kaweni
· Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
· Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
· Rakeyan Juru Siring
· Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
· Sang Mantri Patih Wirayuda
· Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda)
· Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan)
· Ki Juru Wastra
· Ki Mantri Sebrang Keling
· Ki Mantri Supit Kelingking

*) Kidung Sunda merupakan sebuah tulisan/naskah dalam bahasa Jawa pertengahan yang berbentuk syair, dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Kidung Sunda ini  menceritakan tentang tragedy perang Bubat dengan detail.
*) Peristiwa bubat ini diyakini  merupakan akhir dari karier patih gajah Mada. Meskipun masih menjabat Patih, tetapi pengaruhnya mulai cepat berkurang.
*) Dari perkataan Patih Anipaken kepada Gajah Mada dalam Kidung Sunda, sangat jelas diungkapkan suatu perkataan yang menyebut kekalahan-kejkalahan pihak Majapahir dari kerajaan Sunda. Karena itu ketika rombongan raja Sunda tidak bersenjata lengkap, karena hanya mengantar penganten, maka timbul niat jahat dari gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda.

2. Prabu Bunisora (mp. 1357-1371 M)
Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M) dengan gelar Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.

Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukan raja, ketika Linggabuana gugur. Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.

Ia juga dikenal dengan nama  Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.

Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia mempunyai anak, yaitu:
· Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang
· Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh
· Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh.
· Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya,  yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang,  atau ada yang menyebut dengan nama Prabu Siliwangi 1.

a. Permintaan Maaf Dari hayam Wuruk
Kekalahan sang raja Linggabuana  dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf  dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda.

b. Undang Undang ”Larangan Estri ti Kaluaran”
Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang  mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.

3. Prabu Anggalarang / Prabu Niskala Wastu Kencana (mp. 1371-1475 M)
”Negara akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)”   (Prabu Niskala wastu kancana dalam Prasasti Kawali). Prabu Anggalarang atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M). Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja. Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

a. Pribadi
Wastukancana berkembang menjadi seorang  raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu :
"Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat". Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang  gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar,  mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan  disebutkan bahwa anaknya, Prabu  Niskala  Wastu kancana  adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.

b. Istri dan Anak Anaknya
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan  Mayang sari, putri sulung  Prabu rahyang Bunisora.

Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang Haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.

Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana  mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.

c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa Niskala
Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasadi timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.

c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa  cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.

Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di Galuh (parahiyangan timur).

Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan, kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.

Dalam naskah carita Parahyahan diceritakan :
"Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nyaeta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya. Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar. “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.” 
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima - untarayana - madura - suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata. Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama. Lilana ngadeg ratu saratus taun".

Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.

Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh menantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


2. Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata  (mp. 1482-1521M)
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.

Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

a. Masa Muda
Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Marugul) waktu bersaing  memperebutkan  Subanglarang, istrinya yang beragama Islam.
Dalam berbagai hal orang sezamannya  teringat kepada kebesaran  buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.

b. Istri Istrinya
Pada mulanya ia  memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di Singapura. Subang Larang  adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura Karawang. Dari turunan  Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara.
Jaya Dewata juga memperistri Kentrik  Manik Mayang sunda,  putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.

c. Menerima Tahta  Sunda dan Galuh
Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran

d. Palangka Sriman Sriwacana
Dalam carita parahiyangan  diberitakan  sebagai berikut:
”Sang Susuk Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana  Sri Baduga  Maharajadiraja Ratu haji  di Pakuan  Pajajaran nu  mikadatwan  sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal  ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja  ratu penguasa  di Pakuan Pajajaran  yang bersemayan di keraton Sri Bima Punta  Narayana Madura Suradipati yaitu istana  Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

e. Pindahnya Ratu Pajajaran
Pindahnya putri Ambetkasih, istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari keraton timur (galuh) ke Pakuan, bersama istri-istri Sri Baduga yang lain, terekam oleh  pujangga yang bernama Kairaga di Gunung Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah pantun dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan):

”Tersebutlah Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintasi tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari keration timur  hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di sanghiyang pandai larang keraton penenag hidup, bergerak barisan depan disusul  kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan. Bergerak tandu kencana beratap cemara  gading bertiang emas bernama  lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang berkuncup singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading berpuncak getas yang  bertiang berpuncak emas dan panjang  sabirilen berumbai potongan benang”

f. Kebijakan  dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama  yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi  raja adalah menunaikan  amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti  peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan  sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota  di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan  kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah  yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”

g. Perekonomian dan Perdagangan
Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka,  ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga  dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka  adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan  perdagangan Sunda  hingga ke kepulaan  maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa  mencapai  1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)  dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.

h. Gelar Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata. Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah  naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud menyebutkan  salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan.

Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang  Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga  emnikah dengan putri Ambetkasih.

Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan  Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.
    

3. Prabu Surawisesa  (mp. 1521-1535 M)
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa. Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan. Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.

Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.

Surawisesa dalam kisah-kisah tardisional lebih dikenal dengan sebutan  Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati, berasal dari kerajaan  Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar minggu, Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri Mental Buana, cicit Munding Kawati, yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak  di tepi Ciliwung.

Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.

Diantara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi  bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata  mengisahkan ’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita panji.

a. Sebelum Menjadi Raja
Sebelum menjadi raja, ketika masih menjadi pangeran, ia pernah diutus oleh ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Ia pergi ke Malaka  dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan  pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).

b. Reaksi Dari Demak
Perjanjian antara kerajaan Sunda  dan Portugis sangat  mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk  perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di  Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda  yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk demak, terancam putus.

Maka kemudian Sultan Trenggono  yang di pimpin oleh Fatahillah, yang menjadi senapati Demak menyerang Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.

c. Medan Peperangan
Surawisesa mewarisi tahta kekuasaan dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh oleh Cirebon, yang di bantu oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran Sunda. Selama 14 tahun berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa mengalami kekalahan, seperti apa yang diungkapkan dalam naskah Carita Parahiyangan.

Pada awal masa kekuasaannya wilyah Islam hanya berkonsentrasi di Cirebon. Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan pemberontakan. Tetapi ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu demak mulai melancarkan serangan di berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka sama-sama keturunan dari Prabu jaya dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah sunda. Perlawaanan Cirebon yang dibantu demak mulai intensif ketika Cirebon di kuasai oleh cucu Prabu Jaya Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang terkenal dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.

Sunan Gunung Jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah tersebut masih belum bisa di taklukan.
Dalam Carita Parahiyangan, medan-medan pertempuran tersebut, adalah.
· Kalapa (Jakarta sekarang) dengan arya Burah
· Tanjung
· Ancol Kiyi (jakarta)
· Wahanten Girang (Banten). 
Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan. Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
· Simpang
· Gunung batu
· Saung Agung
· Rumbut
· Gunung
· Gunung Banjar
· Padang
· Panggaokan
· Muntur
· Hanum
· Pagerwesi
· Medang Kahiyangan


d. Wilayah pajajaran sampai tahun 1526 M
Sampai dengan tahun 1526 M, kerajaan pajajaran meliputi sejumlah negara bagian (bawahan/ negara daerah):
Cirebon Larang, Cirebon Girang  dengan raja Prabu Kasmaya,
Sindang Barang dengan raja Panji Wirajaya,
Sukapura dengan raja Lembu Jaya,
Kidang Lamatan dengan raja Menah Dermawangi,
Galuh dengan Nara Wangkang ( atau Larang Tapa),
Astan Larang dengan raja Nara Wingkang, 
Tajuknasing dengan raja Aji Narma,
Sumedang Larang dengan raja Lembu Peteng Aji,
Limar kancana dengan raja Ujang ngumbara,
Ujung Kidul dengan raja Prabu gantangan,
Kamuning Gading dengan raja Prabu Siliwangi,
Pancakaki dengan raja Nitimuda Aji,
Tanjung Sanguru dengan raja Lembu Wulung,
Nusa (sunda) Kalapa dengan raja Pangeran rangsang Jiwa,
Banten Girang dengan raja Mas Jongjo,
Pulosari dengan raja Ajar Domas, dan Ujung Kulon.

e. Kerajaan pajajaran setelah tahun 1926 M
Jika sebelum tahun 1526 M, wilayah Pajajaran masih tetap utuh, kecuali Cirebon dan sekitarnya, yang telah memisahkan diri.  Tetapi setelah tahun 1526 M, beberapa wilayah sunda satu persatu wilayahnya dikuasai oleh Cirebon dan Demak, termasuk Banten.
· Pada tahun 1526 M, Banten direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten.
· Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta (sekarang jakarta), dan menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Banten.
· Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
· Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.
   

4. Prabu Ratu Dewata (mp. 1535-1543 M)
Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem. Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara, henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.

Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.

Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim  dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian).

Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:

”Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpura-pura rajin puasa).

Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

a. Hubungan Dengan Cirebon dan Banten
Pada masanya perjanjian perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku. Tetapi ratu dewata lupa bahwa ia merupakan tunggul (pimpinan) negara yang harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk beluk dalam politik.

Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.


Hasanuddin membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata  ini terjadi serangan mendadak  ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya. Ratu Dewata  beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa,  dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten  (dan mungkin juga dari Kalapa/Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran  Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.

Penyerang tidak berhasil  menembus pertahanan kota tetapi 2 orang perwira (senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan sarendet.

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu  ini dengan cepat bergerak ke utara  dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam zaman Sri Baduga  merupakan desa kawikuan yang dilindungi negara.
    

5. Ratu Sakti (mp. 1543-1551 M)
Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe. Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa, ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita. Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.

Sang Ratusakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  1543 sampai dengan tahun 1551 M.

Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.

Kemudian raja melakukan pelanggaran  yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini  Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih  ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.

Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.


6. Tohaan Di Majaya / Sang Nilakendra 
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita.

Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta. Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat. Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi, Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu. Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean. Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana. Lilana jadi ratu genepwelas taun.

Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.

Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (Banten, Cirebon dan Demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

Nikalendra ini sezaman dengan Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, yang menjadi penguasa kesultanan Banten. Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf. Maulana Yusuf inilah di kemudian hari  yang mengalahkan dan menguasai keraton Pakuan Pajajaran.

Prabu Nikalendra mengalami kekalahan, hal ini terjadi ketika sunan gunung jati  masih hidup (dan baru meninggal pada tahun 1586 M). Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Dan ternyata Pakuan masih  dan sanggup bertahan 12 tahun lagi.


7. Prabu Nusya Mulya / Prabu Surya Kancana  (mp. 1567-1579 M)
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan. Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam. Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam. Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Nusa Mulya menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. Nama Prabu Nusa Mulya dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya  Suryakancana.

Prabu Suryakanacana atau prau Nusa mulya  tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

a. Pengungsian Besar Besaran
Diakhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan  diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.

Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.

b. Ibukota Pakuan
Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Pakuan terjkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sngat tangguh untuk ditembus oleh musuh. Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Psukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota.

c. Pajajaran Burak (Bubar)
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah  lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten  yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.

Dalam Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:

”Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka). Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.

Dalam naskah Banten, serangan tentara banten  ke pakuan, disebutkan :
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam  tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”

Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.

Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal  benteng Pakuan merasa sakit hati  karena tidak memperoleh  kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki  Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah  pintu benteng  terlebih dulu  dibukakan saudaranya itu.

Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan  betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga  (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan  oleh raja selama 12 tahun, pasukan  Banten masih  terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

c. Diboyongnya Palangka Sriman ke Banten
Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf  kemudian memboyong benda-benda  yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).

Palangka Sriman, yang merupakan simbol  tempat duduk  kala seorang raja  dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan   Banten oleh Maulana Yusuf. Batu  berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten  karena tradisi  politik  Sunda waktu itu mengharuskan  demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka  tersebut, di Pakuan  tidak mungkin  lagi dinobatkan  raja baru. Kedua,  dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf   merupakan  penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut  perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.

Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang.

d. Mahkota yang Diselamatkan ke Sumedang Larang
Ada 2 simbol kekuasaan raja pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa pajajaran sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk batu, yang dinamakan Palangka Sriman  dan yang kedua adalah  mahkota raja. Maulana Yusuf karena masih merupakan cicit dari Mahraja jayadewata merasa berhak atas lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa palangka sriman sri wacana ke banten surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut mahkota sebagai lambang sah kerajaan pajajaran. Mahkota ini diselamatkan oleh empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa Sumedang larang. Sehingga  dalam sejarah sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke kekuasaan kerajaan Sumedang larang.

Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
   
*) Meskipun tahun alif baru dgunakan oleh Sultan  Agung Mataram dalam tahun 1633 M, tetapi  dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan  Pakuan 1579 itu memang  akan jatuh pada tahun alif.


Tidak ada komentar