Carita Masa Purbasora
Jika
ditilik dari cikal bakal raja-raja Galuh, menurut Pustaka Raja
Nusantara, pada umumnya dikenal dari kepanditaan dan kesalehannya dalam
memegang “tetekon agama jeung dari gama”. Hal ini tidak heran karena
sejarah leluhur pendiri Galuh berasal dari Kendan, yakni “Resiguru
Manikmaya”.
Kekuasaan
di Kendan ia dapatkan setelah menikah dengan putri Maharaja
Suryawarman, raja Tarumanagara. Sehingga wajar jika dalam cerita rakyat
sekitar Galuh, pemihakan terhadap raja-raja yang saleh (minandita) lebih
dihormati ketimbang raja-raja yang hanya mengurusi tahta. Sedangkan
wilayah Galuh sendiri lebih dikenal dengan sebutan Parahyangan (Para
Hyang).
Galuh
didirikan oleh Wretikandayun setelah membebaskan diri, tanpa darah dari
Sundapura (670 M). Wretikandayun memiliki tiga orang putra, yakni
Sempakwaja, Jantaka dan Mandiminyak. Hanya karena Sempakwaja giginya
ompong dan Jantaka memiliki Hernia maka keduanya dianggap tidak berhak
mewarisi tahta Galuh. Wretikandayun wafat tahun 702 M dalam usia 111
tahun.
Sepeninggal
Wretikandayun, tahta Galuh diserahkan kepada Mandiminyak, anak
bungsunya. Dalam catatan sejarah Mandiminyak disebut-sebut memiliki dua
orang putra, yakni Bratasenawa atau Sena dan Sanaha. Sena merupakan anak
hasil perselingkuhannya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja. Sanaha anak
dari Parwati putri pasangan Kertikeyasinga dengan Ratu Sima. Kemudian
Sena dan Sanaha (saudara se ayah) melakukan pernikahan dan melahirkan
Sanjaya.
Sebelum
menjadi raja galuh, Mandiminyak bersama istrinya pada tahun 695 M
telah memerintah Mataram Kuno, pecahan dari Kalingga. Mandiminyak,
setelah wafat digantikan Bratasenawa (709M) anak dari Rabbabu.
Memang
peristiwa kelahiran Sena di Galuh dianggap aib besar. Untuk mendingin
kan suasana Wretikandayun terpaksa harus memisahkan Mandiminyak dari
Galuh dan menikahkannya dengan putri dari kerajaan kalingga.
Berikut ini saya cuplik dari Carita Parahyangan :
Carek Rahiang Sempakwaja:
"Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea."
Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"
Dibawa
ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila
nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak
"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.
Pemberontakan Pertama
Cerita
yang sering hilang dari alurnya adalah alasan para keturunan
Wretikandayun lainnya (Purbasora dan Bimaraksa) melakukan pemberontakan
terhadap Bratasenawa yang termasuk keluarganya sendiri. Hal ini
dimungkinkan jika dilihat dari dua alasan.
Pertama,
keturunan Sempakwaja (Purbasora) merasa lebih berhak menggantikan tahta
Wretikandayun, mengingat Sempakwaja anak pertama Wretikandayun.
Sedangkan Bimaraksa, anak jantaka merupakan menantu dari Purbasora,
sehingga wajar jika Bimarksa memihak Purbasora.
Kedua
dapat saja disebabkan oleh asal-usul kelahiran Sena dan perilaku
Mandiminyak yang dianggap tidak lajim oleh keturunan Wretikandayun
lainnya. Perilaku menyimpang ini didalam sejarah raja-raja tatar sunda
selalu diberi cap kurang baik. Selain hal tersebut, dilihat dari
kesejarahan Galuh yang didirikan oleh seorang resi, mereka lebih
menghormati raja-raja yang minandita. Disini ada semacam pesan moral
yang terkait dengan masalah (bibit, bobit, bebet).
Dalam
cerita yang beredar diluar Galuh, Sena memang dikenal sebagai orang
alim namun kurang mendapat sambutan lingkungan keluarga Galuh, antara
lain disebabkan sirsilah kelahiran diatasnya. Kekurang nyamanan
lingkungan Galuh menyulut pemberontakan terhadapnya sehingga pada 716 M
Sena dijatuhkan dari takhtanya, akibat pemberontakan yang dipimpin
Purbasora.
Keberhasilan
Purbasora tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan
Bimaraksa. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan Bhayangkara,
balabantuan dari Indraprahasta (kerajaannya terletak di Cirebon Girang).
Bimaraksa dikenal pula sebagai senapati yang akhli memainkan berbagai
jenis senjata dan akhli strategi perang. Mengingat peran Bimaraksa yang
begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengang katnya
sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.
Sekalipun tidak sebanyak bahasan untuk Sanjaya, carita Parahyangan menceritakan perihal suksesi di Galuh, sebagai berikut :
Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.
Keberpihakan
Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada
gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan
dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun
lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh.
Disinilah mulai terbentuk epos aki Balangantrang
Tidak ada komentar