Carita Balangantrang
Didalam cerita
rakyat sunda tokoh Balangantrang banyak di kenal melalui sejarah lisan
namun saat ini agak sulit membedakan peran Ki Balangantrang dengan
Lengser atau Cerita Sikabayan. Karena ketiganya lebih dikenal dari
perilakunya yang nyeleneh namun mengandung makna kajian yang dalam
melalui sindir sampir. Merekapun hanya diala bobodoranana.
Cerita Si
Kabayan mengisahkan tokoh sunda yang sederhana namun hidup dijaman
modern. Cerita ini banyak menampilkan kisah-kisah lucu dan cerdik.
Sehingga sosok Kabayan digambar sebagai orang sederhana yang lugu dan
lucu namun kadang-kadang cerdik. Jika saja para penyaji cerita pandai
meramu kisahnya dengan baik, seolah-olah membawa penononton untuk
melakukan intropeksi dan mentertawakan diri sendiri.
Sikabayan
dikenal lewat banyol an lisan namun Lengser dikenal lewat gerakannya.
Peranan Lengser saat ini banyak dikenal melalui upacara adat sunda.
Kolaborasi menjaga tradisi karuhun dengan intertement. Digambarkan
sebagai kakek-kakek, berkumis, gendut, jalan agak membungkuk dengan
tangan dibelakang, jalan lenggak lenggok, berpakaian seperti orang jaman
dulu, memakai totopong dan membawa kaneron, berperan sebagai penyambut
tamu dan pembawa berita.
Sampai saat ini
saya belum mendapat referensi resmi tentang peranan Lengser didalam
birokrasi kerajaan sunda, apakah Lengser ini patih kerajaan ? atau
punakawan seperti semar dalam cerita pewayangan ?; atau bentuk lain yang
disembunyikan dari peranan aKi Balangantrang ?”. Namun memang ada juga
yang menyebutkan peranan Lengser dalam kerajaan Sunda sebagai Purohita.
Balangantrang Sang Bimaraksa
Dalam catatan
sejarah lisan maupun resmi, Aki Balangantrang merupakan nama lain dari
Bimaraksa, senapati sekaligus Mahapatih Galuh dimasa pemerintahan
Purbasora. Didalam paradigma sejarawan sunda, Bimaraksa dikatagorikan
sebagai patriot Galuh. Ia terlibat langsung dalam epos perjuangan Galuh
melawan kerajaan sundapura.
Perlu ada
semacam penekan tentang istilah “Kerajaan Sunda” yang dimaksud dalam
cerita ini, bukan suku atau etnis, atau Geografis, (mengenal sunda besar
dan sunda kecil ; selat sunda dll) melainkan “Sundapura” nama negara
kecil yang dijadikan lokasi penerus pemerintahan kerajaan Tarumanagara,
Karena Tarumanagara pamornya merosot maka Terusbawa, menantu
Linggawarman (wafat 669 M) menganggap perlu untuk mengalihkan pusat
pemerintahan Tarumanaga ke Sundapura (670 M).
Terusbawa
sebelum menggantikan Linggawarman sebagai raja Tarumanaga adalah raja di
Sundapura. Posisi Sundapura sebelumnya merupakan salah satu kerajaan
kecil dibawah kekuaasaan Tarumanagara, sama halnya dengan Galuh dan
kerajaan kecil lainnya (+ 46 negara).
Pemindahan
pusat pemerintahan dan penggantian nama dari Tarumanagara menjadi
Sundapura (670 M), memicu Wretikandayun untuk memisahkan Galuh dan
Negara-negara kecil disekitarnya dari Sundapura.
Namun Terusbawa
menyadari posisinya dan memilih jalan damai, maka Galuh didiamkan untuk
bediri sendiri lepas dari Kerjaan Sundapura. Mengenai batas wilayah
Galuh dan Sundapura disepakati dibatasi oleh Sungai Citarum. Galuh
kemudian dikenal pula dengan sebutan Parahiyangan.
Jika dilihat
dari batas Kerajaan Tarumanagara yang mendasarkan pada catatan sejarah
jawa barat, pada saat Purnawarman Wafat, terdapat 46 kerajaan yang ada
dibawahnya. Istilah “tungtung sunda” dalam peta Indonesia sekarang dapat
meliputi Selat Sunda dengan Kali Serayu di Jawa Tengah bagian selatan
dan Kali Brebes (Cipamali) di Jawa Tengah bagian utara.
Peranan Mahapatih Bimaraksa
Peranan aKi
Balangantrang dalam sejarah lisan lebih dikenal melalui cerita Ciung
Wanara, berperan sebagai pengasuh Ciung Wanara. Dikisahkan pasangan Aki
dan Nini Balangantrang telah lama merindukan seorang anak, hingga suatu
malam ia bermimpi kejatuhan bulan. Mimpi itupun ditafsirkan, : ia akan
menerima rejeki. Malam itu juga Aki Balangantrang membawa kecrikan (jala
penangkapan ikan) kesungai Citanduy.
Betapa
gembiranya Aki Balangantrang menemukan ranjang emas yang isinya sesosok
bayi mungil, ditemani sebutir telur ayam. Bayipun dirawat hingga dewasa
dan diberi nama “Ciung Wanara”. Sedangkan telur ayam kemudian ditetaskan
dan jadilah “Hayum aduan”. Kemudian yang tak kalah hebatnya adalah
peranan sang ayam yang dijadikan taruhan. Konon kabar dari sang juru
pantun, ayam Ciung Wanara tersebut tidak terkalahkan, berkat ayam adu
ini kemudian Ciung Wanara dapat menerima tahta galuh.
Dalam Babad
Pajajaran yang menjadi pengasuh Ciung Wanara adalah Ki Anjali, pemilik
panday besi - pengolah besi untuk berbagai keperluan perkakas dari besi,
termasuk senjata tajam. Ki Anjali disebut-sebut juga sebagai orang yang
memperkenalkan Ciung Wanara kepada lingkungan Kerajaan Galuh.
Ada juga sumber
lain yang mengabarkan, bahwa Ki Anjali adalah partisan Galuh pendukung
Ki Balangantrang, bertugas membina masa rakyat di panday besinya untuk
melakukan pemberontakan terhadap Sundapura.
Selain
eksistensi para tokoh diatas disebutkan peranan Banga atau Haryang Banga
yang umurnya dianggap lebih tua dari Ciung Wanara. Mungkin cerita ini
agak “kasilih” dengan cerita Lutung Kasarung, karena dalam cerita ini
ada juga disebut eksistensi wanara (kera). Sekalipun demikian, memang
ada persamaan ending dari ceritanya, yakni Ciung Wanara atau Manarah
menjadi raja di Galuh menggantikan Tamperan.
Sebenarnya kita
tidak dapat menyalahkan para petutur lisan ini, yang sering hiperbol
atau warokti dalam menuturkan kisahnya, bahkan membiarkan hayalannya
(cittanung maya) jauh membumbung meninggalkan kesejatian sejarah. Selain
diatas, para petutur biasa juga tidak mengenal adanya batas logika,
kita masih perlu menafsirkan hingga sesak dengan pemaknaan.
Apapun
masalahnya, patut juga diberikan apresiasi, jika saja tidak ada peranan
para petutur lisan, seperti juru pantun, maka kitapun menjadi kehilangan
jejak sejarah, bakhan bisa jadi kita tidak memiliki bahan dasar untuk
menemukan sejarah.
Tidak ada komentar