Sistematika Ajaran dan Misi Negara Purba

Pada umumnya awal peradaban di Dunia ini berada di sepanjang sungai yang dimulai dari peradaban maritim atau bahari - sungai, diantaranya :

1. Sungai Gangga (Kali Gangga - Kalingga) - Sungai Yamuna di India melahirkan peradaban Harrapa Mohenjo Daro.
2. Sungai Yang Tze Kiang di China melahirkan peradaban Tiongkok.
3. Sungai Amazon -Sungai Misisipi di Amerika melahirkan peradaban Aztec, Inca dan Maya.
4. Sungai Nil di Mesir melahirkan peradaban Mesir Kuno.
5. Sungai Eufrat - Sungai Tingris melahiran peradaban Sumeria -Akadia.
6. Sungai Citarum/Aki Tirem (Asal kata dari Ti Rama - Misi Rama) - Sungai Cimanuk/Rawa Manuk / Prabhu Sindhula - melahirkan peradaban Sunda Besar.

Sungai Citarum dan Cimanuk tersebut kemudian menjadi wilayah negara yang disebut dengan Nagara Matarum, yang berasal dari kata : Medang atau Cimanuk dan Taruma Nagara atau Citarum (Ti Rama - Tirem). Medang Kamulan kemudian diwariskan oleh Prabu Sindhula kepada Dyah Galuh Kandiawati atau Ratu Dayang Sumbi, diteruskan oleh sang adik yaitu Jalu Kandiawan/Dewata Cengkar/Suryawarman (atau dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah di-Wali-keun - Kawali). Selanjutnya generasi berikutnya dikenal dengan dinasti Medang dan Galuh. Tarumanagara dari Pangeran Wisnugopa/Si Tumang (Resi Taruma Hyang) dan Ratu Dayang Sumbi kepada Pangeran Nandhi Swara, yang kemudian menurunkan dinasti Sunda. Taruma Nagara dan Medang kemudian menurunkan kerajaan-kerajaan sebagai wujud pembawa misi negara. Kedua dinasti ini yaitu Sunda - Medang atau Galuh, kemudia mengembangkan sistem ketatanegaraan di dalam menjalan misi Mulla Sarwa Stiwa Danikaya dalam dinasti :

1. Salaka Nagara tahun 78 M/0 Tahun Saka. Awal dari tonggak sejarah kenegaraan di Nusa Jawa yang didirikan oleh :
~ Aji Saka/Haji Raksa Gapura Sagara/Prabhu Sungging Purbangkara, yang berkedudukan di Gunung Raksa pulau Panaitan.
~ Aki Tirem/Manikmaya/Sang Hyang Watu Gunung/Sang Aki Luhur Mulya/Juru Labuan I, yang berkedudukan di Gunung Salak atau Guru Nu Agung Salaka Nagara.

2. Sri Bima/Taruma Nagara tahun 314 M/236 Saka. Dipelopori oleh Pangeran Wisnugopa/Resi Taruma Hyang (Si Tumang)/Pangeran Dewawarman. Didirikan oleh Pangeran Nandhi Swara/Maharaja Punawarman/Sang Guru Hyang/Sri Wijaya I/Indra Giri/Aji Saka IV, berkedududukan di leuweung Karaton Purwakarta.

3. Punta/Cupunagara/Indraprasta/Puntanagara tahun 480 M/402 Saka. Dipelopori oleh Maharaja Tarusbawa/Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa/Sang Tri Trusta dan didirikan oleh Maharaja Sempakwaja, yang berkendukan di Geger Sunten Gunung Tangkuban Perahu.

4. Narayana/Banjaran (Banjarnegara) tahun 600 M/522 Saka. Dipelopori oleh Maharaja Purbasora dan didirikan oleh Rakeyan Jamri. Berkedudukan di Denuh (Medang Kamulya'an/Medang Kamulan) wilayah Ciamis Selatan (sekarang).

5. Madura -Suradipati atau Pajajaran Nagara tahun 1200 M/1122 Saka. Dipelopori oleh Maharaja Kayuwangi berkedudukan di wilayah Medang Kamulan (Ciamis sekarang), didirikan oleh :
~ Maharajaresi Dharmawangsa/Twah Jaya/Sri Katon/Jaya Katwang/Makkuta Wangsanagra.
~ Maharajaresi Dharmasiksa/Anusapati/Kuwu Tumapel (Taruma Pamaluyu)/Makkuta Wangsanagara Galunggung/Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa/Sang Prabhu Sanghyang Wisnu. Berkedudukan Lawang Gintung Pakujajar setelah dipindahkan oleh Hyang Buni Sora dari Kawali - Ciamis tahun 1357 M/1279 Saka, kemudian dipindahkan lagi ke Nagara Karta Rahayu/Pakuan Pajajaran oleh Wastukancana.


Struktur Sejarah Nagara Purba mengacu berbagai sistem diantaranya :

1. Mulla Sarwa Stiwa Danikaya atau Misi Salaka Domas yaitu ajaran Sunda Wiwitan atau KaRa Wiwitan (Karawitan).
2. Panca Kucika/Sunda nu Lima/Dalima

Dalima yang berasal dari kata Sunda nu Lima disebut juga sebagai Panca Kucika merupakan siloka dari penguasa negara atau Wali Nagara, yang terdiri dari :
1. Pangeran Nandi Swara/Indra Giri/Maharaja Purnawarman/Sri Jaya Naga/Sang Guru Hyang yang berkedudukan di Tarumanagara.
2. Pangeran Garga yang berkedudukan di Kuta Nagara di hulu sungai Maha Kama (Mahakam)
3. Putri Maistri/Betari Durga/Ratu Kidul yang berkedudukan di Sailon-Dra.
4. Pangeran Puruca/Pangeran Perca yang berkedudukan di Indra Pura.
5. Pangeran Puntajala/Patanjala yang berkedudukan di Punta Hyang atau Puntang.

Para Wali Nagara yang tersebut diatas kemudian menurunkan dinasti Sunda dan dan Medan atau Galuh. Sunda Besar adalah seluruh wilayah Pulau Jawa, Seperti Swarna Dwipa/Serendib (Pulau Sumatera dan sekitarnya), Waruna Dwipa (Pulau Kaliman dan sekitarnya), Simphala Dwipa (Kepulauan Asia Selatan dan sekitarnya), Kepulauan Sulawesi, kepulauan Maluku dan sekitarnya.

Sistem Pemerintahan Sunda - Medang (Galuh) yang berada di pulau Jawa, diikuti oleh pulau-pulau diluar pulau Jawa (Sunda Besar) lainnya, seperti : di Kepulauan Swarna Dwipa: Indra Pura - Indra Giri, di Kepulauan Simphala: Dwipa Karaeng dan Daeng dan sebagainya.

Sistem tatanan Sunda - Medang atau Sunda - Galuh yang berada di Swarna Dwipa, Waruna Dwipa, Simphala Dwipa, dan Jawa Dwipa berpusat di Parahyangan, yaitu : Sanghyang Wenang (Guru Resi) simbol dari Galuh dan Sang Hyang Wening Simbol dari Sunda. Hal ini merupakan induk dari tatanan tersebut diatas.

Secara garis besar wilayah Parahyangan merupakan ke-Maha Raja-an yang menjadi dasar Ideologi Nagara.

Hal ini sering diisyaratkan dalam seni pertunjukkan Wayang Golek dimana :
- Batara Guru, Ratu sebagai Galuh.
- Sri Kresna atau Wisnu sebagai (Raja Resi) sebagai Sunda.
- Maharajanya adalah sang Hyang Ismaya di Wilayah Sunda atau Rama.
Maharaja berperan sebagai Ismaya ketika berada di wilayah Galuh, dimana Batara Guru pun tunduk dan patuh pada beliau. Apabila Sanghyang Ismaya di wilayah Sunda, beliau berubah menjadi Semar, yang dijungjung tinggi oleh Sri Kresna sebagai manusia bijak atau Dewa.

1. Dwipantara yang merupakan simbolisai atau Siloka dari perwujudan "Dua Bapa" atau Dua Patriakhat pendiri nagara, hal kemudian diaplikasi pada wawasan teritorial yaitu Buana Panca Tengah yang berada di antara dua Samudra atau Dwi Waruna.

2. Ka-Siliwangi-an, yaitu ajaran Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh
- Silih bermakna Ngaganti atau Nyilihan (saling)
- Silih Aasah bermakna Saling mengingatkan dan mencerdaskan dalam keilmuan, sebagai wujud kebajika dan kebijakan.
- Silih Asuh bermakna saling membimbing atau memberi petunjuk dan petuah yang adiluhung dalam pemerintah nagara.

Silih Asuh (hukum) bermakna tidak pandang bulu di dalam menjalankan keadilan, yang mangacu pada prinsip keadilan atau ajaran (Kartagama) dan kanagaraan (Kartanagara). Hal ini dimplementasikan dalam nagara dan bentuk hukum yang menciptakan rasa keadilan.
seperti contoh; Sipahit Lidah dan Sipahang Lidah twah, yang bermakna tutur katam sikap dan perilakunya selalu berlandaskan keadilan, tidak ditambah dan dikurangi atau dalam bahasa Sunda "Saciduh Metu Saucap Nyata".

3. Ka - Limangan - an tahun 1525 M yang didirikan oleh Dua Liman yaitu Limansanjaya - Limansanjaya Kusumah sebagai penerus ajaran Ka-Siliwangi-an.

4. Catur Rangga. Kata Rangga berasal dari Ra-hyang Galuh kemudian menjadi istilah Turangga yang bermakna nagara.

5. Parakan Telu asal kata dari Para Rekean Telu.

6. Parakan Muncang. Parakan Muncang asal kata dari Para Rakeyan Muntang, sebagai Simbol dari "Pamuntangan Sarerea". Muntang berbeda dengan Puntang, yang bermakna Pataruman. Muntang bermakna Mataruman atau Galuh, yang dipimpin oleh Opat Pangeran dengan sandi ka-nagara-an: Pranajibja, Natajibja, Wangsajibja dan Wirajibja.


Paradigma Ajaran Aji Saka Purwawisesa atau Prabu Sungging Purba Hyang Kara (Purbangkara), terdiri dari :

1. Buana Nyungcung yaitu menerangkan pendiri nagara atau juga menerangkan Alam Kehidupan atau jiwa (Rasa)
2. Buana Kahyangan yaitu menerangkan mengenai ajaran Ketuhanan atau menerangkan Alam akal budi atau Rasa (Buana Parahyangan : Elmu, Amal dan Akhlag)
3. Buana Panca Tengah yaitu menerangkan mengenai wilayah teritorial nagara dan ajaran atau Alam kehidupan atau Jiwa (rasa)
4. Buana Larang menerangkan sistem pemerintahan dalam nagara, yang terbagai menjadi tida kedudukan atau Tri Tangtu Buana, yaitu : Rama, Resi dan Ratu atau menerangkan alam lahur Jagat Semesta.
5. Buana Agung adalah sebutan istilah untuk memaknai yang Maha Mutlak yang disebut sebagai Pancer

Paradigma ajaran Ajisaka Purwa wisesa kemudian berkembang sesuai dengan semangat jaman (up grade spiral/lokal/local genius), yang menghasilkan ajaran atau nilai baru sebagai wujud dari misi nagara pada setiap pemimpin negara (Raja/Resi).

Hal ini dengan adanya beberapa naskah kuno seperti naskah Siksa Kandang Karesyian, Seuwaka Darma, Waruga Guru, dsb.

Contoh : Naskah Fragmént Carita Parahyangan (FCP) termasuk salah satu naskah Sunda buhun bernuansa historis dari abad ke-16 Masehi yang berada dalam kropak 406 bersama dengan naskah Carita Parahyangan (CP) yang kini tersimpan di Bagian Koleksi Naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Jumlah lempir halaman keseluruhan terdiri atas 47 buah, yang masing-masing berukuran 21 x 3 cm. 

Secara garis besar menyajikan gambaran sistem pemerintahan kerajaan Sunda yang berpusat di ibukota Pakuan Pajajaran. Sedikitnya ada tiga kisah utama para penguasa kerajaan Sunda yang terpenting dalam teks FCP ini, yaitu: (1) Tiga orang pendahulu Maharaja Trarusbawa sebagai perintis berdirinya kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran, masing-masing adalah Bagawat Angga Sunyia dari Windupepet, Bagawat Angga Mrewasa dari Hujung Galuh, dan Bagawat Angga Brama dari Pucung. 

(2) Maharaja Tarusbawa penguasa Pakuan Pajajaran yang bertakhta di keraton "Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati"

(3) Rakéyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran.

Tarusbawa merupakan tokoh sentral. Dialah yang memperbaiki sekaligus memindahkan lokasi keraton "Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati" dari sekitar Rancamaya ke sebuah perbukitan di hulu Cipakancilan atas saran Bujangga Sédamanah. Semenjak itu, Pakuan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di bawah Maharaja Trarusbawa. Trarusbawa sendiri sebagai prebu 'pemimpin roda pemerintahan pusat’' membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama 'tokoh masyarakat wakil rakyat' dan pihak’ resi 'penentu kebijakan hukum'.

Sistem pembagian kekuasaan seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur penentu kehidupan di dunia', terdiri atas prebu, rama dan resi.

Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini presiden) yang harus ngagurat batu 'berwatak teguh'. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah 'berwatak menentukan hal yang mesti dipijak'.

Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama 'negara' (yudikatif atau saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai 'berwatak menyejukkan dalam peradilan'.

Dalam FCP tercatat ada sebelas wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, yakni: Galunggung, Denuh, Mandala Cidatar, Geger Gadung, Kandangwesi, Puntang, Mandala Pucung, Mandala Utama Jangkar, Windupepet, Lewa, dan Galuh. 

Hal ini ditemukan dalam kebudayan Sunda Lama (Dalima), yaitu "Opat Kalima Pancer, dalam ka Tata Nagaraan :
1. Jawa Dwipa,
2. Waruna Dwipa,
3. Swarna Dwipa,
4. Simphla Dwipa
5. Parahyangan sebagai Pancer. 

 

Pemaknaan Tri Tangtu Buana atau Tilu Katangtuan (Tiga Ketentuan) dalam ajaran Sunda secara garis besarnya yaitu :

1. Tri Tangtu Salira berisi ketentuan kehidupan pribadi dan keluarga sebagai mikrokosmos (jagat leutik) dan nagara sebagai jatidiri bangsa.
2. Tri Tangtu Balareya berisi ketentuan kehidupan atau hubungan bermasyarakat dalam nagara.
3. Tri Tangtu Buana berisi kehidupan beragama dalam nagara. Tri Tangtu ini pun, kemudian menurunkan tiga butir nilai, yaitu :
1. Adil palamarta (Ratu), menciptakan rasa keadilan untuk semua pihak atau adil kadiri adil ka balareya, untuk kepentingan salira (pribadi-keluarga), balareya (kelompok), sarereya (masyarakat luas) dalam nagara.
2. Bener (Resi), benar menurut keyakinan diri, kelompok dan semua pihak untuk kepentingan salira, balareya, sarereya dalam nagara.
3. Daulat (Rama), berdaulat atau merdeka lahir batin, teu sirik pidik, jail kaniaya, teu sudi ngajajah teu sudi dijajah, untuk yaitu untuk kepentingan semua pihak salira, balareya, sarereya dalam nagara.

Kemudian Tri Tangtu Salira dan Tri Tangtu Balareya pada implementasinya di bagi menjaditiga, yaitu :
1. Batur Sakasur atau keluarga
2. Batur Sadapur atau masyarakat atau kelompok.
3. Batur Salembur atau seluruh komponen Nagara.

Sementara Tri Tangtu Buana diimpletasikan dalam sistem katata nagaraan, menjadi :
1. Rama merupakan kekuasaan tertinggi secara wilayah terirorial, ajaran dan hukum Nagara Kartagama.
2. Resi merupakan pemegang kekuasan tertinggi secara wilayah pamarentahan teritorial Nagara Kartagama.

Penerapan:
Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi sekaligus yakni; pukul, potong, dan tusuk
Kampung Sunda, yakni pemilik, pelaksana, dan penjaga.
Rumah adat Sunda yang terdiri dari ruang tengah, ruang belakang, dan ruang depan.
Boboko atau wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu yang memilki tiga bentuk yakni bundar, segi delapan, dan bujur sangkar.

Pemikiran:
Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:
- Silih asah, silih asuh, silih asih
- Tekad, ucap, lampah
- Naluri, nurani, nalar
- Leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan.
- Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah
- Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi.

Tabe Pun,

_/|\_

Rahayu Hampura Sapapadana, Salalawasna
=================
Sumber : Buku Pernikahan Adat Sunda, Dongeng Aki Jeung Kawung, Padepokan Kawargian Jogo Jemuran 

Tidak ada komentar