Sahadat Buhun

"....Hurung ngempur Lampu Agung – Siang Leumpang Ngabaladah…Ku Rasa nu Ngabasa. Ku Basa nu Mangrupa. Ku Rupa nu Ngaungkara. Ku Ungkara nu Nanggara.Ku Tanggara nu Ngauga. Ku Uga nu Ngawaruga...."

"...Indung nu jadi simbul Panyipuh :Kembang tujuh rupa nu baris mere tangara seungitna Jati Sunda.Cai sajeroning kalapa nu baris matri ngadiri kana Sukma Jati Sunda.Gelarhirhing ” BABAR SUNDA – DINA UGA – NGAWARUGA “.

Masyarakat Sunda Tradisional mengenal adanya Sahadat atau Sadat Buhun, suatu istiah bagi sebutan kalimat sakral yang diyakini sebagai bagian dari tertib hidup Budaya Sunda Wiwitan. Namun ada juga yang menyebutnya Sahadat Baduy, karena sahadat ini banyak di gunakan oleh orang-orang Baduy penganut ajaran Sunda Wiwitan.

Para Sastrawan Sunda menggolongkan Sahadat ini ke dalam kelompok Ajimantra atau puisi mantra, yang berasal dari dua daerah, yakni Ajimantra Baduy Banten dan Ajimantra Priangan.

Pengertian Sahadat Buhun berbeda dengan maksud Sahadat (Syahadat) yang dimaksud dalam agaman Islam. Didalam kamus bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti (1) pengakuan kesaksian (2) pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama.

Didalam Wikipedia edisi Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat  mangrupakeun pernya taan kayakinan Islam. Dina basa Arab, hartina nyaksénan atawa méré kasaksian. Sahadat mangrupakeun pernyataan kapercayaan kana tunggalna Gusti (Allah dina basa Arab) sarta yén Nabi Muhammad minangka utusan pangahirna.

Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan. Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat Cibeo :

Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90,  Asep Kurnia dkk – 2010).

Dari pendifinisian yang diberikan Ayah Mursid diatas, tentunya memiliki konsekwensi, bahwa jampe-jampe yang memenuhi syarat sebagaimana sahadat dapat dikatagorikan sebagai sahadat dalam pengertian Jampe, bukan dalam pemahaman sahadat dalam pengertian islam. demikian pula dari syariatnya, menurut Ayah Mursid , bahwa :

Dalam keyakinan Sunda Wiwitan kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudara sebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memiliki kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, maka agama Sunda Wiwitan hanya diperuntukan bagi masyarakat Baduy”.

Krama dari pengucapan sahadat dimaksud dilakukan sesuai waktu dan kegunaannya. Misalnya jika hendak menanam Padi, agar terhindar dari hama dan dapat menghasilkan padi yang lebih baik, maka mereka membacakan sahadat Sri. Karena yang diyaki ni menjaga dan mengurus pertanian adalah Dewi Sri, maka  mereka menitipkan kepada Dewi Sri. Sedangkan untuk perkawinan membacakan sahadat khusus untuk perkawinan.

Istilah dalam Sahadat: Mencari naskah atau keterangan asli tentang Sahadat diatas dari sumber asli Baduy atau para penganut Sunda Wiwitan lainnya agak sulit ditemukan, bahkan menurut Ekajati (2005), : “Kesulitan menemukan keterangan tentang Sunda Wiwitan akibat tertutupnya para penganut agama dimaksud. Namun menurut alasan dari Ayah Mursid, : “harus tepat penggunaannya dan diucapkan tidak sembarangan, karena ada kramanya”. Sangat masuk akal jika krama pengggunaan sahadat ini ngawengku pengetahuan orang luar untuk mengetahui sahadat ini.

Dalam kenyataannya banyak teks-teks sahadat dengan judul yang sama digunakan oleh masyarakat Baduy, namun berbeda dengan teks yang digunakan Urang Baduy. Perbedaan bahasa didalam sahadat ini sudah banyak diulas oleh para sastrawan Sunda, seperti Wahyu Wibisana (2000) bahkan mengkatagorikan sahadat kedalam dua wilayah, sesuai dengan asalnya, yakni aji mantra Baduy dan Banten, serta ajimantra Priangan.

Ajimantra dari daerah Baduy dan Banten, sebagai berikut :

Pohaci Sanghiyang Asri, Ulah geder ulah reuwas, Ja kami rek nitipkan, Titip ka nu boga bumi, Tema ka nu boga desa. (Pohaci Sanghiyang Asri, Jangan kaget, kami hendak menitipkan, titip kepada pemilik bumi, juga kepada yang mpunya desa).

Sedangkan contoh dari daerah Priangan, sebagai berikut:  Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi angaricing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad (Asyhadu Syahadat Sunda, Zama allah hanya satu. Keduanya para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menje lajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).

Perbedaan dari Sahadat tersebut sangat lugas, siapapun akan mengetahui mana yang lebih buhun. Hal ini bisa terjadi aki bat pengaruh perkembangan jaman dan penggunaan istilah-istilah yang merupakan eufimisme dari yang disebutkan dalam sahadat tersebut, bahkan orang Baduy menggunakan hal yang sama untuk menerangkannya kepada orang lain, sekalipun dalam bacaan ba-thinnya masih tetep menggunakan bahasa awalnya.

Penggunaan bahasa, seperti untuk menyebutkan nama Bata ra Cikal digantikan dengan sebutan Adam Tunggal, atau menyisip kan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah Sunda Wiwitan. Mungkin pula ciri khas dari keyakinan Sunda Wiwitan yang di katagorikan Sinkretis, sangat terbuka untuk menerima pengaruh agama manapun secara terbuka, bahkan ada yang menafsirkan sebagai adaptifnya keyakinan urang Sunda baheula.

Untuk memperkuat dan menggambarkan penafsiran dimaksud, dapat disimak keterangan Ayah Mursid:Agama nu di agem ku masyarakat Baduy, ngarana Agama Slam Sunda kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu ngabog an kitabna da ajaran neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur Baduy

= (agama yang diyakini orang Baduy namanya agama Slam Sunda awal. Nabinya Adam Tunggal. Dalam keyakinan Sunda awal, kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudara sebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memiliki kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, makanya agama Slam Sunda Wiwitan hanya diper-untukan bagi masya rakat Baduy).

Urang Baduy saat ini nampaknya menggunakan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat Sunda beragama Islam, tanpa merubah substansi dari keyakinannya sendiri. Mungkin pula untuk menghindari benturan yang tidak ada manfaatnya, karena mereka merasa yakin, bahwa tugasnya di bumi ini adalah untuk menjaga keseimbangan (harmoni) alam. Urang Baduy menyadari adanya desakan yang timbul dari perubahan jaman.

Kesadaran demikian diakui oleh Ayah Mursid :“Kami ti jauhna keneh geus waspada jeung sadar, yen zaman pasti rubah, tantangan keur masyarakat adat mingkin dieu mingkin beurat, ti berbagai sudut perkampu ngan perbatasan geus teu katadah ku kamajuan hirup, tapi kami tetep teguh patuh keur ngalaksanakeun ama nat wiwitan jeung kami tetep yakin Baduy tetep ayem tentrem nu penting ulah ngaganggu jeung diganggu jeung ulah ngarugikeun komo deui dirugikeun. Kami siap kerja sama jeung sasaha oge wae tapi nu aya mangpaatna kana kahiru pan balarea, kami mah patuh kana hukum jeung kaha yang alam nu diciptakeun kunu maha kawasa

= (Sejak awal kami sudah waspada dan menyadari bahwa zaman pasti berubah, tantangan buat masyarakat adat semakin hari semakin berat, dari berbagai perkampungan perbatasan sudah tidak terbendung lagi ada kemajuan pola dan gaya hidup tetapi kami tetap teguh patuh untuk melaksanakan amanat wiwitan dan kami meyakini bahwa baduy aman tentrem, yang penting jangan mengganggu atau diganggu dan jangan merugikan apalagi dirugikan. Kami siap bekerja sama dengan siapa saja, tetapi yang ada manfaatnya bagi keselamatan hidup semua manusia, kami tetap akan patuh mengikuti hukum dan kehendak alam yang sudah diciptakan oleh Yang maha Kuasa”.)

Penggunaan istilah-istilah seperti asyhadu, allahuma, bismil lah didalam Sahadat buhun sering pula kita temukan. Mungkin saja ini terjadi sebagai adaptasi bahasa atau digunakan oleh para pecinta budaya sunda yang sudah beragama di luar Sunda Wiwitan namun masih merasa nyaman menggunakan Sahadat Buhun.

Jenis-jenis Sahadat Buhun : Sahadat dari daerah Baduy yang pokok tidak kurang dari 20:

Sahadat Pernikahan (Shadat Wiwitan, Sahadat Tunggal, Saha dat Samping, Sahadat Batin, Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad) ;
Sahadat Bawa
Sahadat Sunda
Sahadat Iman
Sahadat Bali
Sahadat mesir
Sahadat Banten
Sahadat Santen
Sahadat Sri
Sahadat Imam Mahdi
Shadat Umur
Sahadat Rahayu
Sahadat Rasa
Sahadat Pamuka alam
Sahadat Suson
Sahadat Bumi Alam.

Sebagaimana uraian diatas, penggunaan sahadat Baduy di sesuaikan dengan maksud dan keperluannya. Dalam upacara perkawinan, pembacaan sahadat dibacakan oleh Puun dari kedua belah pihak sejak acara seserahan atau seserenan. Jenis sahadat yang digunakan adalah : Sahadat Wiwitan ; Sahadat Tunggal ; Sahadat Samping ; Sahadat Batin dan sebagai pelengkap dibacakan pula Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad.

Perkawinan untuk masyarakat Baduy tidak ada perceraian. Dalam istilah sekarang cerai karena mati. Salah satu cara untuk memperkuat keyakinan tersebut, serta upaya agar perkawinan langgeng maka dibacakan Sahadat Bathin.

Selain sahadat dari Masyarakat Baduy, di Priangan terdapat ju ga beberapa jenis. Menurut Wahyu Wibisana (2010):

1.  Sahadat Islam
2.  Sahadat Sunda
3.  Sahadat jawa
4.  Sahadat Bawa
5.  Sahadat Taraju
6.  Sahadat Sayang
7.  Sahadat Sari
8.  Sahadat Adam
9.  Sahadat Barjah
10. Sahadat Hayun
11. Sahadat Siluman
12. Sahadat Mustakarayun
13. Sahadat Ganda.

Teks Sahadat Buhun: Sahadat menurut ajaran orang Baduy diartikan sebagai rang-kaian kalimat berisi doa–doa atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, diucapkan tidak sembarangan dan ada kramanya. Jika mencermati keterangan diatas tentu sangat sulit menemukan teks Sahadat Buhun yang asli, mengingat tabu di ucapkan sembarangan.

Dalam realitas sosial, sahadat Buhun dengan judul teks seba gaimana yang ada di kalangan masyarakat Baduy atau penganut Sunda Wiwitan di luar Baduy banyak di temukan dikalangan masyarakat maupun sastrawan. Namun telah mengalami trans-formasi makna dan bahasanya, dengan menyelipkan bahasa-ba hasa ageman baru.

Padahal, untuk kepentingan Sastra atau Ilmi ah, tak perlu ada pengkoreksian atau penyesuaian bahasa, kare na dapat merubah originalitas dari kandungan dan maksud Saha dat Buhun itu sendiri.

Suatu contoh yang dikemukakan oleh Abdul Rojak di dalam bukunya : ‘Teologi Kebatinan Sunda’ (2005) menjelaskan, bahwa : “Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo) juga mengenal istilah syahadat, yang disebut Syahadat Sunda”. Sahadat tersebut tentunya dengan mencantumkan kalimat dari bahasa keyakinan yang telah disesuaikan.

Dalam kesempatan lainnya, Asep Kurnia (2010), menjelaskan sanggahan secara halus dari orang Baduy mengenai teks Sahadat yang beredar diluar Baduy. Dalam hal ini ada benarnya, bahwa sahadat yang beredar di luar masyarakat Baduy Kanekes bukanlah Sahadat Buhun atau Sahadat Baduy, melaikan Sahadat Buhun yang telah mengalami transformasi dari bahasa ajaran yang dipakai para pemeluk ajaran Sunda Wiwitan di luar Baduy atau para Sastrawan.

Sedangkan masyarakat Baduy dan penganut Sunda Wiwitan masih menggunakan bahasa aslinya, bahasa bathin yang memiliki makna khusus dalam hubungannya dengan Yang Maha Keresa, Tuhan Yang Esa dan alam dimana mereka hidup.

Teks-teks Sahadat dimaksud, sebagaimana dimuat dalam Sastra Lagu: Mencari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Li ma Abad Sastra Sunda - 2000, sebagai berikut:

Sahadat Sunda: Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi ang garicing. Nu Calik dina alam keueung. Ngaca cang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad.

(Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman Allah hanya satu. Keduanya para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Ke empat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Men-jelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).

Sadat Islam: Sadat islam aya dua,/Ngislamkeun badan kalawan nyawa, Dat hurip tanggal iman, Ngimankeun badan saku-jur, Hudang subuh banyu wulu/Parentah kang jeng Gusti, Nabi Adam pang nyampurna keun badan awaking. Sir suci, Sir Adam, Sir Muhammad, Muhammad Jaka lalana Nu aya di saluhuring alam.

(Sadat Islam ada dua mengislamkan badan serta nyawa.Dat hurip tanggal iman mengimankan seluruh tubuh,/bangun subuh dan berwudlu. Perintah dari Tuhan, Nabi Adam sempurnakanlah badan ku Sir Suci, Sir Adam, Sir Muhammad, Muhammad Jakalalana, Yang berada diatas alam).

Sahadat Jawa: Apa pengot surat Raden Angga Keling/Pangeran Angga Waru lang/ Ratu suluk ajitullah/Pengersa sa Nusa Jawa/Puputrane Ulis Akin/ Kajayak ngarurug Pajajaran/Tanggal ping opat welas/Nukila di kalimati sahadati/Isun weruh umat Allah dikang Selamat.

Sahadat Bawa: Ashadu Sahadat Bawa,/Iman jati lulungguhan pulo nyawa,/Roh nyawa intening hurip,/Hurip ieu keuna ku gingsir/Langgeng teu keuna ku owah,/Lailahileloh Muhamad Rasulullah

Sahadat Taraju: Ashadu sahadat taraju/Idin imatan warohmatan/Walidatan, wasira tan,/Titikaptan minha yah u/Ya Allah, ya Rasulullah.

Sahadat Sayang: Ashadu sahadat sayang,/Kuriling ka bale suci/Cat mancet ka jagat mulya,/Tetesen ditetes ku Allah/Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah.

Sahadat sari: Ashadu sahadat sari,/Gegedah wadah humenggang,/Ngebur-ngebur lain ratu,/Ngebyar-ngebar cahya ning pangeran,/Payung tilu nungku-nungku,/Payung emas lingga jati,/Kakayon sabar darana,/-Teteras sekar cendana.

Sahadat Adam: Ashadu Sahadat Adam/Sah Adam/Ashadu nur putih alip tunggal/ Iman eling ka mulya kang kadim,/Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.

Sahadat Barjah: Ashadu sahadat barjah,/Enggon Allah sapatemon,/Sang Mutiara Putih calik di iman,/Patala artu miski aja ningratullah,/Titpan ge- dong kencana,/Nama Allah Rasulullah,/Lailaha ilaloh.

Sahadat Hayun: Asahadu sahadat hayun,/Hayun-hayun hurip kang hurip,/Cicipta Gusti Kang waras,/Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,/Ceg ba dan wujuding Allah Rasulullah/Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.

Sahadat Mustakarayunan: Asahadu mustakarayunan/Sahadat permana tunggal,/Selam lahir, selam bathin,/Selam pinarengin kersa,/Sing waspada kanu ngayu ga bumi alam/Aya nu saurang, aya nu sorangan,/Aing waspada kepada Allah,/Allah waspada ka kaula./Tenget gemereng-ereng ,/Raraga gemet ruhiat,/Terusning Allah terusning rasa/Pani-pani langgeng tetep,/Langgeng agama Islam.

Sahadat Ganda: Ashadu ganda ingsun,/Turun saking sawarega,/Ningal ganda ning sunan sampurna,/Ganda ning sunan handiri,/Kamar langit karaton.

Tidak ada komentar