Kerajaan Galuh
Ini adalah sebuah perjalanan panjang dari sepasang kerajaan yang
bercikal bakal dari Tarumanagara. Dalam rentang waktu hampir 1000 tahun,
dua kerajaan ini, Sunda dan Galuh mengalami masa putus nyambung hampir
sepanjang sejarahnya.
Sejarah bermula dari eksodus seorang brahmana India bernama Manikmaya,
yang oleh raja ke-7 Taruamanagara, Suryawarman, difasilitasi untuk
membangun Kerajaan Kendan (lokasi Nagreg sekarang). Karena watak rata
rata Kerajaan tatar sunda yang memperlakukan kerajaan kerajaan
bawahannya sebagai kerajaan otonom, maka Kerajaan Kendan pun diwariskan
secara turun temurun. Dari Manikmaya diteruskan oleh Rajaputra Suraliman
Sakti, diteruskan oleh Kandiawan, yang kebetulan sudah mempunyai
kerajaan sendiri, yaitu Medang Jati. Setelah Kandiawan lebih memilih
untuk jadi petapa, maka kekuasaan diserahkan kepada anak bungsunya,
yaitu Wretikandayun (612-702). Wretikandayun lebih tertarik mendirikan
kerajaan baru, yang dinamakan Galuh, yang berarti permata.
Pilihan Kandiawan untuk mengutamakan Wretikandayun dibanding tiga
kakaknya ternyata tepat. Dibawah kepemimpinannya, Galuh berkembang
pesat, dari segi perdagangan dan terutama pasukan kerajaan. Hal lain
adalah sang raja dikaruniai umur panjang sampai 110 tahun, yang setara
dengan pergantian enam kali Raja Tarumanagara, mulai dari Kertawarman
sampai raja terakhir Linggawarman, sehingga ia faham betul liku liku
Tarumanagara.
Sementara itu Tarumanagara sebagai Kerajaan induk mulai mengalami masa
masa redup pada era Linggawarman. Sehingga ketika wafat Linggawarman,
Tarus Bawa (669-723) menantu raja yang ditunjuk sebagai penerus tahta
mengambil inisiatif untuk mengubah nama kerajaan menjadi Kerajaan Sunda.
Suatu tindakan yang langsung direspon oleh Wretikandayun dengan
deklarasi pemisahan Kerajaan Galuh dari Induknya yaitu Kerajaan Sunda atau Tarumanagara.
Pemisahan Kerajaan berlangsung damai. Dengan kedudukan sekarang yang
sederajat, maka dimulailah era Kerajaan kembar Sunda Galuh yang
dipisahkan oleh Sungai Citarum.
Masa Keemasan
Mulai dari era Sunda Sembawa (964-973) maka kerajaan Sunda Galuh benar
benar berada dalam perdamaian dan masa keemasan. walaupun tidak tercatat
melakukan ekspansi memperluas wilayah, kala itu
Kerajaan mempunyai angkatan perang yang kuat baik angkatan darat maupun
angkatan laut. Sebagaimana diketahui, beberapa pelabuhan penting saat
itu dibawah otoritas Sunda Galuh, terutama Banten, Cirebon, dan tentu
saja Kalapa (Sunda Kalapa, Jayakarta, dan akhirnya Batavia, Jakarta).
Masa damai itu tidak terpengaruh oleh terjadinya peperangan antara
negara negara sekitarnya (Sriwijaya, Kediri, Samudra Pasai). Bahkan
pada masa Raja Darmasiksa (1175 - 1297), Kerajaan Sunda Galuh -tepatnya
di bekas ibukota Sundapura - menjadi tempat perundingan damai segitiga
antara Kekaisaran China, Sriwijaya, dan Kediri. Perlu dicatat,
Darmasiksa mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Wijaya. Raden
Wijaya, setengah Sunda, setengah Jawa, kemudian mendirikan Majapahit
yang terkenal itu. Darmasiksa memang raja visioner. Dia mendirikan
banyak kabuyutan, diantaranya Ciburuy (Garut), Sanghyang Tapak
(Sukabumi), dan Kanekes (Banten). 800 tahun kemudian, kini, kita masih
dapat menyaksikan miniatur Kerajaan Sunda di Kanekes.
Pada era Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kerajaan Sunda Galuh mempunyai
ibukota baru, yaitu Kawali (kuali, belangga). Selama ini ibukota
kerajaan berada bolak balik antara Pakuan, Galuh, atau Saung Galah
(sekitar Gunung Galunggung). Maka mulai saat itu orang mengenal era
Kawali dalam perjalanan sejarah Sunda Galuh. Pada saat yang sama
Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa dihadapan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana di Majapahit.
Hampir 400 tahun berlalu sudah sejak Raja Sunda Sembawa memerintah. Masa
keemasan terus berlanjut hingga Prabu Maharaja Lingga Buana (1350-1357)
naik tahta.
Tragedi Perang Bubat
Tragedi Perang Bubat, Selasa Wage, tanggal 4 September 1357.
Apapun alasannya, menyerbu sebuah iring-iringan
calon pengantin, tidak bisa dibenarkan. Kala itu adalah masa keemasan
Kerajaan Sunda Galuh, namun juga masa keemasan kerajaan tetangganya yang
sangat ekspansif dan agresor, ialah Majapahit.
Dua kerajaan besar, dua kerajaan yang sejajar, dua raja dengan satu
nenek moyang. Seorang raja, Lingga Buana, seorang puteri, Dyah Pitaloka,
dan iring iringan pengantin harus gugur karena nafsu penaklukan.
Seorang raja berkuasa, Hayam Wuruk, harus terpukul hingga menderita
sakit. Dan karir sang Mahapatih harus berakhir tidak jelas.
Dari generasi ke generasi, peristiwa kelam ini selalu dikenang. Memang
seluruh tubuh yang gugur disucikan dengan upacara. Memang para
pembesaran Majapahit mengungkapkan penyesalan yang mendalam. Memang para
perwira yang menjunjung tinggi harga diri ini kembali dibaringkan di
tanah Sunda. Tetapi beban sejarah yang berat harus dipikul seorang
Bunisora.
Bunisora, adik Lingga Buana, harus memimpin rahayat Pasundan Galuh
melewati semua ini. Dialah seorang pendeta tingkat satmata, tingkat
lima, yang karena kecelakaan sejarah dinobatkan menjadi raja. Saat itu
putera mahkota baru berusia 9 tahun. Dialah yang harus membimbing calon
penerus, Anggalarang, terutama bersikap bijak terhadap tragedi Bubat.
Bukan hal yang mudah..
Tapi berhasil. Berkat bimbingan sang paman, Anggalarang tumbuh menjadi
pribadi yang bijaksana. Pada waktu dinobatkan pada usia 23 tahun, dan
bergelar Mahaprabu Niskala Wastukencana, dikenal juga dengan nama
Wangisutah, seorang raja besar telah dilahirkan. Pada waktu itu untuk
pertama kalinya Keluarga Kerajaan Sunda Galuh, mempunyai anggota
keluarga yang beragama Islam yang baru saja pulang Haji. Dia adalah
kakak ipar raja sendiri, putera dari Bunisora, pamannya. Tidak terjadi
intrik atas perbedaan agama ini. Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh
setelah masuk Islam, malah diberi tanah di Cirebon untuk mengembangkan
agamanya. Indah, bukan?
Pada saat itu juga sebuah tim ekspedisi dari negeri China dipimpin
Laksamana Cheng Ho mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon, dan
menghadiahkan sebuah mercu suar disana. Sementara itu, untuk pertama
kalinya berdiri pesantren di tatar Sunda oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf
di daerah Karawang, tetunya atas ijin Mahaprabu. Sementara sebuah
padepokan agama Budha didirikan di Kerajaan Talaga, Majalengka
sekarang.
Akhir Dari Era Galuh
Maha Prabu Wastukencana yang berkuasa atas Kerajaan Sunda dan Galuh
menjelang akhir hayatnya membagi kerajaan menjadi dua bagian: Sebelah
barat Citarum, kerajaan Sunda diberikan kepada Haliwungan atau Prabu
Susuktunggal, anak dari istri Ratna Sarkati. Sebelah timur Citarum,
Kerajaan Galuh kepada Dewa Niskala, anak dari istri Mayangsari. Kedua
Kerajaan berdiri sejajar. Kerajaan Sunda Galuh kembali ke masa
pemecahan, kali ini karena amanat Wastukencana.
Skandal terjadi di Kawali. Perang Bubat ternyata masih menyisakan soal.
Diawali dengan pelarian pembesar Majapahit ke Galuh. Waktu itu memang
sedang terjadi huru hara akibat perebutan kekuasaan di Majapahit.
Pelarian di sambut baik di Galuh. Yang jadi soal adalah Dewa Niskala
mengawini salah seorang pembesar Majaphit tersebut, sesuatu yang
diharamkan sejak Bubat. Lebih lebih lagi wanita itu telah bertunangan.
Akibat pelanggaran kode etik itu, Prabu Susuktunggal menjadi murka dan
berniat menyerbu Galuh. Namun perang dapat dicegah, dan pihak pihak
bersengketa duduk di meja perundingan. Hasil kesepakatan adalah baik
Susuktunggal ataupun Dewa Niskala harus mengundurkan diri sebagai raja
di kerajaan masing masing. Sebagai gantinya mereka menunjuk Jayadewata
yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus mantu Susuktunggal.
Tidak ada komentar