Banyaknya Manuskrip Ulama Nusantara Yang Dijarah Penjajah
Sejak
abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan penelitian
terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits
juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata
cara penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks
dan banyak lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits
melakukan penelitian terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini,
Studi Ilmu Hadits memiliki cabang rusum at tahdits yang menganalisa
sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan periode
berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah di University of Jordan
tentang Filologi Hadits). Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam
tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan
Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck
Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah,
khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak
menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap
dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.
Buktinya tradisi menulis di
kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin.
Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran
dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip,
merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk
mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam,
Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai DR H Uka
Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima
di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut
petikannya:
Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?
Yang dimaksud manuskrip adalah
tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting
bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia
ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan
Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf
Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi
beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang
ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa
Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?
Di Aceh, pada abad 16–17
terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang
dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh
Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji
ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama
yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di
Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah
satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul
Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik
al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak
menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya
berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung
Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi
pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan,
Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah
itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan
selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab
Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang
juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak
manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat
itu.
Manuskrip Islam tertua di Nusantara?
Manuskrip Islam tertua di
kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini
bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini
menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu.
Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog
Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua
menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14,
pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam
bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para
pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf
Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai
dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih
muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti,
Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat
Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka
Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima,
Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di
Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?
Umumnya ditemukan di Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon
misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf
Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa
Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan
terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam
al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam
karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para
Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para
mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah
Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa
pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga
berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam
di Nusantara.
Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?
Sebagian besar berada di
Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan
Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan
penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan
mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan
jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan
dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi
kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan
penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.
Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?
Manuskrip dengan huruf Jawi dan
bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar
1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab
jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal
Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000
naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf
Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan
pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di
Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan
Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan
lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.
Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?
Mengembalikan secara fisik
sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang
sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika
disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda
cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan
pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan
bilateral antar negara yang bersangkutan.
Contoh manuskrip yang sudah
dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama.
Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah
Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah
dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan
ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian
dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan
rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm
secara digital.
Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?
Perpustakaan Nasional sudah
melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat
terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang
hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan
microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di
sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih
naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur
Tengah.
Untuk proses penyelamatan ini,
seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa
melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah
mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai
abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai
negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa
dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian
juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip
kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.
Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?
Pertama, naskah-naskah ini
mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam
arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban
Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para
sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan
mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi
tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat
untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat,
berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku
saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi
yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan
teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan
yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai
dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari
ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.
Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?
Ini sebagai bukti bahwa
penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses
pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial.
Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum
dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan
kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena
masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”
Tapi, untuk pemakaman, sejak
tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam
saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu
nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad
16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau
bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak
karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa
Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari
Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu,
sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam
pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.
Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?
Betul. Saat itu mereka menjadi
sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan
atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan,
pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256.
Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual.
Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh
para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.
Coba lihat, surat al-Baqarah
ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk
shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman
terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk
menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali
abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh
sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”
Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?
Sangat gradual, melalui proses
pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad
13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa
Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon.
Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses
tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?
Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?
Oh ya jelas, pada saat itu sudah
ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia
Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara
memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh
sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam
datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka,
setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di
Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar,
Ternate, Tidore dan seterusnya.
Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?
Menjadi Islam keseluruhan pada
abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di
kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin
masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini
terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC
memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa
mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke
Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.
======================================
catatan : DR H Uka Tjandrasasmita, Arkeolog Islam
Tidak ada komentar