Babad Galuh: Kyai Serengrana

Babad Galuh yang juga hangat diperbincangkan adalah koleksi naskah kuno dari Kraton Kasepuhan Cirebon merupakan wari san karya para pendahulu yang mempunyai nilai strategis bagi kehidupan dan perkembangan budaya, sastra dan pengetahuan sejarah bangsa. Naskah aslinya diterjemaahkan oleh Team Kra ton Kasepuhan Cirebon, kerjasama dengan Proyek Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Nasional 2003. Kemudian di terbitkan dengan Judul BABAD GALUH : KOLEKSI NASKAH KUNO KRATON KASEPUHAN CIREBON, Volume 1 dan 2, Proyek Pembinaan dan Pengembangan, Perpustakaan Nasional, 2003.
Naskah ini pun diterjemahkan pula dengan judul WAOSAN BABAD GALUH dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi : naskah Kraton Kasepuhan Cirebon, ditulis Oleh Amman N. Wahju

Menurut Amman N. Wahju naskah yang diperoleh berupa buku hasil alih aksara dari naskah aslinya yang dilakukan oleh Team Kraton Kasepuhan Cirebon sebagai hasil kerjasama dengan Proyek Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Nasional 2003. Naskah aslinya merupakan salah satu dari koleksi naskah-naskah Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Setelah melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya pada hasil alih aksara tersebut akhirnya diterjemahkan dalam bentuk seperti yang pembaca lihat sekarang, dengan tujuan agar dapat diketahui dan dinikmati oleh generasi yang akan datang. 
Naskah asli Babad Galuh disusun pada bulan dua, tanggal dua puluh sembilan hari Senin Wage atau tercatat sebagai tahun Be atau tahun 1280 Hijriah atau tahun 1860 Masehi. Dalam nas kah disebutkan sasi kalih tanggal kaping sanga, Senen Wage ing rang kepe, pengeting tahunipun, tahun Be kang hijrah Nabi, sewu rongatus ika, punjul wolung puluh, ing tahun Be Puni ka, among angsal wolulas dinten nenggih, wau ingkang kalam pah. Ditulis seorang mantri dari Kasultanan Sepuh, bernama KYAI SERENGRANA yang tinggal di Pulasaren. Melihat tahun penulisan berarti ditulis pada masa Sultan Raja Sulaeman atau Sultan Syamsuddin II dari Keraton Kasepuhan Cirebon, yang memerintah dari tahun 1845–1880 M. Naskah asli ditulis tangan dengan menggu nakan huruf Arab Pegon, dalam bahasa Jawa kuno dengan dialek Cirebon dan Sunda. Naskah babad ini berbentuk tembang yang beruparang kaian dari pupuh-pupuh yang berjumlah sebanyak 21 pupuh, 170 saleh dan 1.480 padan, yang terdiri dari (1) Kas maran/Asmarandana 5 pupuh; (2) Sinom 5 pupuh; (3) Dangdang gula 6 pupuh (4) Kinanti 5 pupuh.
Galuh dihati masyarakat Pulau Jawa memiliki tempat tersen diri, baik baik suku Jawa maupun Sunda. Karena masing-masing memiliki kisah tentang Galuh. Masyarakat tradisional meletakan sejarah Galuh sebagai entitas yang memikiki runtutan dengan Me dang Kamulan, atau Mataram Kuno, berikut eksistensi tokoh Sanjaya, putra Senna dan Sannaha yang berbekas di Candi Wukir. Kekuasaan Sanjaya bukan sekedar menjadi raja di raja di pulau jawa, melainkan juga sebagai pendiri Wangsa Sanjaya. Namun ketika meletakan lokasi Galuh di petama ka urang Sunda akan menyebutkan wilayah Galuh membentang dari sungai Citarum disebelah barat sampai dengan daerah Tungtung Sunda, bahkan pada masa Sanjaya menggantikan Terusbawa (raja Sunda) praktis kekuasaan meliputi seluruh tatar sunda (Sunda dan Galuh) serta wilayah Mataram Kuno.
Naskah ini tentunya menambah pengetahuan para peminat sejarah Galuh untuk mengetahui suasana kebatinan ketika naskah ini disusun. Namun naskah ini bukan satu-satunya yang dapat dipelajari, mengingat pembahasan sumber-sumber informasi tentang dapat dirujuk dari sumber sebagai berikut : 
1. Babad Galuh : koleksi naskah kuno Kraton Kasepuhan Cirebon, Perpustakaan Nasional (Indonesia). Proyek Pembinaan dan Pengembangan, Kontributor Tim Kraton Kasepuhan Cirebon, Perpustakaan Nasional (Indonesia). Proyek Pembinaan dan Pengembangan. Penerbit Proyek Pembinaan dan Pengembangan, Perpustakaan Nasional, 2003.
2. Babad Galuh Imbanagara. Kajian Tentang Penerapan Unsur-Unsur. Pemberdayaan Dan Hubungan Manusiawi Masa Pemerintahan Bupati Galuh Abad Ke-19 Disertai Edisi Teks Penulis Nenny Kencanawati Penerbit Unpad. Bahasa Inggris.
3. Babad Galuh Majapait. Penerbit [S.I] ; [S.n], [S.a]. Bahasa Jawa. Cet. Umum Aks. Latin; Macapat; ditulis di atas kertas HVS; Rol 107.06. 62 hlm.; 38 baris/hlm.; 35x21 cm.
4. Babad Galuh Dumugi Mataram Penerbit [S.I] ; [S.n], [S.a]. Bahasa Jawa. Cet. Umum Aks. Latin; Macapat; ditulis di atas ker tas HVS. 29 hlm.; 35 baris/hlm.; 34,5x21 cm.
5. Carita Parahiyangan : Naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Aca. 1968. Yayasan Kabudayaan dan Nusalarang, Bandung.
6. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Ayatrohaédi. 2005. Pustaka Jaya, Jakarta.
7. Wawacan Sejarah Galuh. Ekajati, Edi S., ; Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh – 1981. 95 Halaman.
8. Waosan Babad Galuh: dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi : Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon, Amman N. Wahyu, Pustaka 2009. 429 Halaman.

BEBERAPA PERBEDAAN
Perbedaan dan persamaan versi sejarah Galuh bermula dari data-data lisan maupun tulisan yang saat ini beragam keberadannya, seperti Babad Galuh, bersumber dari Keraton Kasepuhan Cirebon, dan terjemaahannya dalam judul Waosan Babad Galuh. 

Demikian pula Galuh versi Jawa, paling tidak mengacu pada naskah Babad Galuh Majapait dan Babad Galuh Dumugi Mataram. Naskah ini ditulis dengan huruf latin; Prosa, diatas kertas HVS; Rol 107.04, berisi ringkasan sebuah naskah pegon yang dipinjam Pigeaud dari Tuan I. Behrens di Banyuwangi. Naskah induk berasal dari keluarga R.T. Kusumanegara, seorang Bupati Banyuwangi keturunan Madura. Naskah asli itu terdiri dari 889 halaman, semuanya teks diringkas, berisi: Babad Galuh Dumugi Mataram (43 pupuh), Suluk Abdul Jalil, Papali Ki Ageng Sela, Suluk Sahadat, berbagai keterangan tentang agama Islam, sebagian memakai ungkapan wangsalan, Serat Ambiya (27 pupuh), dan Cariyos Nabi Dawud anakekaken Dewi Wuryan, nanging boten tinanggapan (20 pupuh). Ringkasan disusun oleh R. Mandra sastra pada tahun 1934, atas permintaan Th. Pigeaud, mungkin di Yogyakarta. Lihat FSUI/-SJ.61 untuk turunan pupuh 1-10 teks Babad Galuh dari naskah induk yang sama.
Menurut Van Deur Meulen, Galuh berasal kata dari SakaLoh, hanya saja lidah orang Banyumas menyebutnya Sagaluh. Demikian pula penggunaan kata untuk suatu daerah, yang banyak menggunakan nama Galuh adalah para penduduk Jawa Tengah bagian barat, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbolinggo), Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samiga luh (Purworejo), dan Sagaluh (Purwodadi). 

Galuh dimasa lalu digunakan untuk nama tiga kerajaan yang ada di daerah Jawa Bagian Barat. 

Pertama Galuh Purba (Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh Lor – Galuh luar) berpusat di daerah Dieng. Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya).



DALAM BABAD BANYUMAS
Letak Galuh Purba versi Babad Banyumas (Sumber : Babad Banyumas. Wikipedia–Ensiklopedia Bebas.  http://map-bms. Wikipedia. org/wiki/Babad_Banyumas) berada disekitar Gunung Slamet, untuk kemudian dilanjutkan disekitar Garut dan Kawali. Cuplikan babad dimaksud, sebagai berikut :
Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangunnang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut-Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken peme rentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai. Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas. Babad Banyu mas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi leuwih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedulan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan. Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.
Galuh dalam versi Banyumasan mungkin tidak mengenal eksis tensi Karang Kamulyan - Ciamis, sebagai lokasi Galuh pasca Kendan, sehingga jamannya langsung melompat kemasa Kawali. Jika saja versi Banyumas digunakan sebagai acuan pokok maka sejarah Sunda Terus-bawa menjadi hilang dan tidak memiliki hubungan dengan Pajajaran. Dalam hal ini kiranya perlu mempertimbangkan keberadaan Naskah Pararathon Parahyangan dengan Carita Parahyangan, kedua naskah itu lebih fokus membincangkan masalah Galuh (Parahyangan), sehingga runtutan sejarah yang sudah ditemukan dapat dikaji lebih jauh. Namun Galuh versi Banyumasan tentunya dapat menunjukan keberadaan tungtung Sunda sebagaimana yang ditulis Bujangga Manik, pada abad ke-16, dan lalampahan Banyak Catra di Kerajaan Pasir Luhur. Naskah menyebutkan pula bahwa wilayah kekuasaan Galuh (Ka wali) meliputi lebih setengah dari wilayah Jawa Tengah sekarang (Kemungkinan sampai Kedu dan Purwodadi).

BABAD GALUH IMBANAGARA
Kisah Galuh pasca runtagna karajaan Sunda ditulis pula didalam Naskah Babad Galuh Imbanagara, meskipun naskah ini merupakan karya sastra imajinasi pengarang, namun didalamnya tersimpan fakta dan pemikiran yang dituangkan penulisnya yang mengutip dari paririmbon dan catatan-catatan peninggalan menak terdahulu. Karya ini tidak lepas dari kondisi yang turut memengaruhi suasan kebatinan pengarang Babad Galuh Imbanagara. Apalagi, apabila dilihat dari geografi yang diutarakan atau nama bupati yang dituliskan, tertulis pula dalam sejarah Kehidupan Kaum Menak Priangan.
Dalam Babad Galuh Imbanagara disebutkan bahwa asal usul nama wilayah di sekitar tersebut sebagai napak tilas perjalanan asal di sekitar Gunung Padang yang ada di Desa Nagrog, kemudian disebutkan pula Desa Bungur, Desa Pasir Angin, Astana Gede, Desa Darmacaang (di Darmaraja Sumedangkah???),  Cikoneng-Ciamis, Sorok Tonggoh, Desa Kawali, Desa Cikedengan, Desa Ciherang dsb. Seluruh desa yang ditulis di dalam Babad Galuh Imbanagara sampai sekarang masih ada di Kabupaten Ciamis.
Naskah Babad Galuh Imbanagara menyebutkan leluhur yang melahirkan para bupati adalah Maha Raja Adimulya (Ciung Wanara), putra dari  yang bernama Ratu Permana (Permana di Kusuma/Ki Ajar Padang). 

Karena keadilan Maha Raja Adimulya (sang Manarah) selama memegang tampuk pimpinan, kerajaannya menjadi aman sentosa, sejahtera, dan rakyatnya mencintai sang raja. Kondisi negara yang kondusif ini menyebabkan Sang Maha Raja merasa puas, sehingga ia mempersiapkan dirinya secara tenang mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ia kemudian meletakkan jabatan yang diembannya kepada pembantu (mantri jero) kepercayaannya yang bernama Bondan (Hariang Banga).
Kearifan Maha Raja Adimulya itu pun dicontoh dan diteladani oleh keturunan ke-13 atau bupati ke-16 yang memimpin Galuh, Adipati Aria Koesoemadiningrat. Ia dikenal rendah hati dan merakyat, yang dapat disimak dari kebiasaannya berjalan-jalan ke kampung-kampung setelah salat Subuh untuk menyaksikan dari dekat kehidupan rakyatnya. Kedekatan dengan masyarakat juga dilakukan dengan cara bergaul dan berkumpul berkumpul dengan para sesepuh guna menyerap pengalaman masalalu dan menyimak sejarah para pendahulunya. Selain itu, Adipati juga membicarakan persoalan-persoalan dengan generasi muda. 
Keberhasilan Adipati Aria Koesoemadiningrat memimpin Galuh diakui pemerintahan kolonial Belanda sehingga mendapat penghargaan RIDDER ORDE VAN DEN NEDELANDSCHE LEEUW dan GOUDEN MEDA-ILLE METEERE KETTING. Dari naskah Babad Galuh Imbanagara banyak pelajaran yang dapat dipetik, terutama tentang keteladanan dari pemimpin di masa itu. Padahal jabatan pemimpin masa itu didapatkan dari turun-temurun.

DALAM NASKAH CARITA PARAHYANGAN
Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, pendiri Wangsa Sanjaya di Mataram Kuno, yang prasastinya ditemukan di Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder.
Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam. Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan pamali, teu wasa. Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya istilah tabu bukan lagi berasal dari teu wasa, melainkan takut dicemoohkan sebagai agul ku payung butut, masalah inilah yang ikut menghambat tutur tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.
Carita Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh, yakni :
Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandang greba dan Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun.
Sang Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerinta hannya didaerah Kendan (sekitar wilayah Cicalengka Bandung) sekaligus bertindak menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Sang Suraliman, putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suraliman sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suraliman tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya.
Sang Suraliman memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang Kandiawan kemudian dijadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalankan pemerintahannya di Medang Jati. Sang Kandiawan memiliki lima orang putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya adalah mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan dise babkan berhasil menombak kebowulan, mungkin maksud penulis Carita Parahyangan menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Namun mengingat penulis Carita Parahyangan sangat irit mengisahkan suatu masalah, maka ia ditulis demikian.
Tentang Keturunan Kandiawan yang diuraikan dalam Cerita Pa rahyangan, diterjemaahkan oleh Atja (1968) dengan mengguna kan bahasa sunda Kiwari, sebagai berikut :
Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Raja putra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahi angta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeus na rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mang rupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungka lah, sang Katungmaralah, Sang Sandang greba jeung Sang Wretikandayun. Rahiyangan di Me dangjati lawasna nga deg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah Bunga tak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungka lah jadi tukang moro, Sang Katung maralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandang greba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.
Dalam Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke Karang kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan pemerin tahan dan kegiatan keagamaan.
Sebagaimana diuraikan dalam naskah Wangsakereta, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tenta ra dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada ta hun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara.
Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9 memang sudah kurang wibawanya dimata raja-raja daerah. Ma salah ini terus berlanjut hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tidak memiliki putra Mahkota, pemerintahan di serahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan Tarumanagara.
Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumana gara seperti jaman Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura. Keinginannya tersebut diwujudkan dengan cara ia memindahkan dan mengubah Tarumanagara menjadi Sunda, namun ia tidak memperhitungkan akibatnya terhadap negara bawahannya, yang merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan.
Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kera jaan yang menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Dilihat dari masa periodenya, Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni Galuh dapat dibagi menjadi tiga jaman.  

Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja–Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak–Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas.


GALUH DALAM WAOSAN BABAD GALUH
Babad Galuh dari koleksi Kraton kasepuh Cirebon, kemudian di jadikan rujukan dalam Waosan Babad Galuh, ditulis oleh Amman Wahju, intinya mengisahkan tentang Galuh pada masa Ciung Wanara sampai dengan Prabu Siliwangi dan sekeselerna. Misalnya tentang Ciungwanara mendirikan negara Pakuan; Para pembantu Prabu Ciungwanara; wilayah kekuasaan; Purbasari; dan pembagian kerajaan Pajajaran. Kemudian kisah Prabu Linggahiyang menjadi raja di pakuan dan Parbu Linggawesi anak Prabu Linggahiyang. Kisah Prabu Wastukancana menjadi raja di Pajajaran. Susuk Tunggal (putra Wastukancana) dinobatkan menjadi raja di Pajajaran, serta kisah Anggalarang yang mencari ayahnya. Prabu Susuk Tunggal meninggalkan Pajajaran dan melarikan diri ke Sindangkasih. Prabu Anggalarang menjadi raja di Pajajaran. Kisah Prabu Jayalengkaradan kelahiran Mundingkawati, serta Munding kawati mengganggu isteri-isteri Jaya Lengkara. Kisah bayi Siliwangi yang tertinggal di Tegal Siliarum.
Dalam Babad ini Prabu Mundhing-kawati disebut-sebut sebagai ayah dari Prabu Siliwangi. Ia sangat gemar berburu kijang. Dikisahkan sang raja melakukannya secara berlebihan, hal mana telah meresahkan kijang-kijang siluman yang kemudian melakukan serangan balik kepada sang raja beserta rakyatnya. Tak ada yang mampu mengalahkan kijang-kijang siluman tersebut sehingga akhirnya sang raja melarikan diri ke gunung Tarogong yang terletak di kaki Gunung Guntur di arah barat laut kota Garut sekarang. Kisah berburu tidak saja diceritakan dalam Naskah Babad Galuh, melainkan pula didalam Carita Parahyangan, bahkan Wretikandayun memperoleh tahta Galuh setelah ia keluar pemenang sebagai pemenang sayembara berburu. 
Menghadapi serangan kidang menjangan yang bertubi-tubi ini, raja Mundhing-kawati bersama sanak keluarga, isteri dan para pengikutnya pergi mengungsi. Habis semuanya menyingkir ke segala penjuru, mereka keluar dari kutha Pajajaran. Mereka pergi berduyun-duyun dengan tergesa-gesa semua melarikan diri dengan caranya masing-masing. Gunung Tarogong lah yang menjadi tujuan, tepatnya ke arah utaranya ke Tegal Uwar ayu. Maksudnya akan pergi bersembunyi untuk menghindar, disitulah tempatnya pandhe siluman, yang awalnya bernama Pagongan halimun. Dahulu gunung itu termashur dengan nama Gunung Antragangsa. Itulah gunung yang dituju untuk mengungsi oleh sang Prabu bersama isteri dan para selirnya yang ikut serta. Dengan tergesa-gesa mereka pergi berduyun-duyun ke tempat itu, yang tertinggal sudah tidak diperdulikan lagi. 
Pada waktu itu permaisuri raja sang Dewi Terusgandarasa sedang hamil sembilan bulan, sang Permaisuri berjalan dengan perlahan-lahan seperti layaknya yang sedang hamil tua. Dalam perjalanan mereka me lalui Tegal Sili yang harum baunya, disitu sang putri dikejutkan oleh Kijang Langgon, dan Menjangan Gumalunggung. 
Prabu Mundhingkawati kepergiannya seperti diburu musuh, ti dak ingat anak isteri, mereka berlarian menyelamatkan dirinya masing-masing, sehingga sang puteri yang sedang hamil pun me lahirkan bayinya di Tegal Sili yang baunya wangi. Sang bayi tidak terasa keluar karena terburu-buru mengikuti suaminya lari untuk berlindung di gunung Antra gangsa. Prabu Mundhingkawa ti berseru, “He Gunung Tarogong, tolonglah kami yang sedang prihatin ini yang tengah diburu oleh Kidang sakti dan Menjangan racun. Semula kidang-kidang itu banyak yang kami buru, sekarang kami yang diburu mereka. Mereka mengamuk, dan para mentri kami tidak ada yang mampu menghadapinya. Prajurit kami banyak yang mati, ditendang atau digigit. Orang Pakuan semua bubar kesini dengan maksud akan menghindar, cepat tolong lah kami”. Dimintai pertolongan dengan beramai-ramai seperti itu gunung Sanghyang Gunung Tarogong kemudian terbuka, dan terlihat di perut gunung ada alam lain. 
Mundhingkawati beserta rombongannya masuk ke dalamnya, ke alam yang berada di dalam perut gunung. Sesudah masuk semua kemudian gunung itu menutup kembali seperti semula. Hal ini merupakan meradnya Prabu Mundhingkawati ke Gunung Tarogong. Mereka tidak akan keluar lagi selamanya, Kidang dan Men jangan itu pun tidak bisa menggangu sang Prabu lagi. 
Selanjutnya dikisahkan Dewi Trusgandarasa terkejut ketika dia sadar bahwa perutnya sudah kosong, perasaannya akan melahir kan namun dia tidak merasa hamil lagi karena lupa waktu lari tadi. Permaisuri menangis dengan sangat sedihnya, “Anakku di manakah kau berada, dimana gerangan jatuhnya, siapa yang bisa menemukan bayi kami yang tertinggal itu?”. Prabu Mundhingka wati menghiburnya dengan lembut, “Perihal anak kita yang ter tinggal itu, tentunya dialah yang akan meneruskan peninggalan kita”.
Dikisahkan mengenai sang bayi yang tertinggal di Tegal Siliarum. Bayi itu ternyata telah diketemukan oleh seekor induk harimau. Sang harimau menjilati pepelem sang bayi itu seperti halnya me mandikannya, ari-arinya yang tertinggal digigitnya hingga putus dan puput. Tindakannya sama seperti halnya induk kucing yang tengah membersihkan anaknya. Sang bayi meronta-ronta, dan tidak lama kemudian induk harimau itu pergi meninggalkannya. Kemudian ada seorang pencari kayu bernama Kakek Borit melihat bayi tergolek menangis di tengah hutan maka dia pun merasa belas kasihan dan segera mengambilnya. Bayi itu dibawanya pulang dan diberi nama Siliwangi, karena asalnya diketemukan di Tegal Siliarum, di pinggir hutan di gunung. Bayi Siliwangi kemudian dibesarkan di tengah keluarga pencari kayu itu. Begitulah sebagai anak Kakek Borit, Siliwangi seperti halnya anak pemungut kayu penampilannya kumuh, dan badannya kotor. Dengan keadaan seperti itu waktu kanak-kanak, tidak terlihat petunjuk bahwa dia adalah anak seorang raja. Siliwangi tumbuh sebagai anak kecil dari gunung yang kotor dan tidak pernah mandi, dengan rambut yang gimbal tidak terurus. Pemberian nama Siliwangi tentunya berlainan dengan pendapat ahli kasundaan, yang banyak menyebutkan Siliwangi adalah gelar, bukan nama sebenarnya. Ini pun dihubungkan dengan Gelar Sri Maharaja yang gugur di bubat sebagai Prabu Wangi. Sedangkan para penggantinya disebut Sili(h)wangi.
Dikisahkan Kidang jejadian mengetahui hilangnya sang Prabu. Mereka menjadi marah dengan mengobrak-abrik Pajajaran. Para menak dan kuwu hilang melarikan diri dikejar ketakutan sehingga tidak ada lagi yang mau tinggal di kota. Pemukiman di tinggal pergi hingga keadaannya kosong dan sekarang diisi Kidang dan Menjangan yang bergerombol hilir mudik siang dan malam. Keangkuhannya bagaikan tentara yang telah memenangkan peperangan dan dia yang sekarang menjadi penguasanya. Di situlah awalnya tempat tinggal para menak dan kuwu menjadi seperti kena tulah, mereka takut untuk menyerang karena takut diamuk. Dalam ketakutan mereka semua minggir ke tempat yang jauh-jauh. 
Kidang Panawungan dan Menjangan Gumalunggung terus melampiaskan amarahnya mengamuk ke arah barat, menyerang Pakuan Parahyangan, tempat Prabu Sepuh Ciungwanara. Menak Parahyangan menghilang ketakutan. Mereka pergi mengungsi meng hindar ke gua dan gunung yang jauh. Prabu Ciung Wanara mengungsi ketempat sunyi di pertapaannya Ajar Ujung Banaliwung. Disitu dia dilindungi oleh Ki Ajar Padang. 

Prabu Ciungwanara sangat memahami jika anak cucunya sudah bercerai berai menyelamatkan diri. Mereka semua berlarian tidak memikirkan lagi kedudukan. Negara sudah porak poranda dikalahkan Kidang jejadian dan ditempati oleh Kidang menjangan inton-inton.
Dalam keangkuhannya mereka mengusir raja, membalas dendam karena diburu oleh Mundingkawati. Yang semula memburu sekarang berganti diburu. Kidang Panawungan beserta pengikutnya menguasai di Pakuan Barat yaitu Parahiyangan. Malahan mereka sudah mempunyai anak bernama Kidang Pananjung yang kemudian berubah menjadi manusia. Adapun Manjangan Gumlunggung dengan pengikutnya menguasai wilayah Pajajaran, para kuwu Pakuan sebelah timur. Sedangkan daerah Pajajaran sebelah tenggara sudah dikuasai oleh Kidang Sampati, sebelah baratnya oleh Kidang Panawung, dan sebelah timurnya oleh Manjangan Kumlingking yang sudah menurunkan anak bernama Manjangan Gumaringsing yang berupa manusia. 

Siliwangi masih kecil dan masih menjadi anak penggembala. Jelek dan kotor, anak kecil yang tidak mengetahui adat istiadat. Tidak lama kemudian dia memperoleh kebahagiaan. Puteri dari menak Sindangkasih yang bernama Nyi Rara Sigir tertarik untuk mengambil Siliwangi. Anak itu diurus serta dimandikannya sehingga muncul cahaya kebesarannya. Sekarang tampak tanda-tanda bahwa dia adalah keturunan dari bangsawan besar. Gilang-gemilang bersinar cahayanya, memancar keluar sehingga sang Ayu Rara Sigir jatuh cinta kepadanya dan menginginkannya untuk menjadi jodohnya. “Jadikanlah Jaka Siliwangi ini menjadi jodohku, semoga tercapai keinginan hatiku”, begitulah permintaannya. 
Dikisahkan pula bahwa pada waktu itu terjadi malapetaka. Ciptaannya Dalem Palimanan bermaksud akan menculik Putri Rara Sigir. Raksasa itu datang menyambar sang putri, namun sang putri Sigir dapat mengelak dan segera ditolong oleh Siliwangi. Dua raksasa itu dilawannya, ditendang hingga raksesa itu jatuh terguling-guling. Ketika itu semua orang di Sindangkasih menyaksikan akan kesaktian Siliwangi. Mereka menduga bahwa anak itu pasti nya bukan anak sembarangan karena mampu mengusir kedua raksasa itu. Dengan kejadian itu orang Sindangkasih mulai melihat Siliwangi tidak bisa diremehkan.
Setelah sekian lama, timbul keinginan Siliwangi untuk mengusir para menjangan jejadian, hal mana dicegah oleh Rara Sigir. “Jangan laku kan itu, aku khawatir kamu tidak akan mampu melawannya karena kesaktian mereka itu tidak tertandingi. Mereka telah mampu mengalahkan Prabu Mundingkawati”. Pemuda Siliwangi menjawab, “Mati dalam membela negara adalah permata bagi seorang laki-laki. Mencari apa lagi, bukankah dengan perbuatan itu surga indah akan diperoleh nya kelak”. Tidak dapat dihalangi lagi, kemudian Siliwangi berangkat. Tanpa membawa pengiring dan hanya dengan membawa panah dan busurnya dia pergi menantang bahaya yang menantinya. Kyan Manjangan Gumulung sudah bersiap-siap menghadapi kehebatan manusia yang datang itu. Siliwangi diterjangnya namun lolos seperti menerjang bayangan saja. Kemudian serangan Manjangan Gumalunggung diba lasnya, anak-anak panahnya dilepaskan dan diamuk dengan pemukul, hingga akhirnya rusa itu pun rebah dan mati. Kemudian anaknya, yaitu Manjangan Gumaringsing, datang membela dengan bala tentaranya. Namun Manjangan Gumaringsing segera di sambut oleh senjata Siliwangi. Senjata itu mengenainya dan dia terbawa terbang, dan ketika jatuh dia berubah menjadi manusia. Kemudian Manjangan Gumaringsing segera menyerahkan diri de ngan memberi hormat kepada Siliwangi. 
Betapa kagumnya para menak dan kuwu yang menyaksikan kesaktian junjungannya. Selama sebelas tahun kota-kota telah kosong dan baru sekarang ada seorang pemuda Siliwangi yang mampu merebut kembali, dan lebih dari itu Manjangan Gumaringsing telah menyerahkan diri dan berbakti kepadanya. Dia di ampuni dan diberi daerah kekuasaan di Gunung Galunggung. 
Siliwangi pergi ke arah barat menuju Parahiyangan. Kidang Panawugan waktu melihat berkelebatnya kedatangan manusia maka segera memburunya dan Jaka Siliwangi pun kemudian dihadapinya. Namun dengan mudah disabet dan dipanah oleh Siliwangi hingga Kidang Panawungan pun mati. Kemudian sang anak, Kidang Pananjung, datang hendak membela ayahannya. Dia menghadapi Siliwangi namun diapun segera terkena oleh panahnya Siliwangi. Kidang Pananjung jatuh dan berubah menjadi manusia. Kemudian dia datang menyembah kehadapan Siliwangi. Itulah awalnya bagaimana menak-menak Parahiyangan bisa kembali lagi ketempatnya dan berkedudukan lagi seperti waktu dahulu. Sebelas tahun lamanya mereka mengungsi dan sekarang bisa dipulihkan kembali oleh Jaka Siliwangi. Kidang Pananjung kemu dian diampuni dan diberi daerah di Panawungan. 
Pulih sudah keamanan di Bumi Pajajaran, Siliwangi mulai meng himpun pemerintahan di Pajajaran yang kelak bakal diperintah nya sebagai raja yang kuat. Tidak antara lama Prabu Sepuh Ciung wanara pergi ke Ujungbana. Dia sangat berterimakasih atas pertolongan jejaka perwira muda yang sakti ini, yang telah merebut kemuliaan yang sangat besar, dia akan menjadi penerus raja Pajajaran. Tidak lama kemudian datang Sanghyang Parwatali, Sang hyang Talibarat, Gelap Nyawang dan para saudaranya yang lain memberitahukan bahwasanya pemuda itu adalah anaknya Mundingkawati yang dilahirkan di tegal padang Siliarum. Ketika di buru oleh Kidang Manjangan, waktu itu sudah waktunya sang bayi lahir hingga dilahirkan di perjalanan. Sang bayi jatuh tertinggal di Tegal Siliwangi. Adapun kedua orang tuanya masuk ke gunung meninggalkan bayi itu. Sang bayi dibersihkan oleh seekor induk harimau, kemudian ditemukan oleh Ki Borih dimana dia memperoleh kekebalan dan kesaktian.

MENAFSIRKAN SEJARAH SUNDA
Sumber informasi tertulis diluar masa lalu selain prasasti, yang sering dirujuk pada dasarnya masih belum menemukan titik persamaan. Mungkin hal ini disebabkan oeh bedanya waktu dan tempat penulisan, atau para penulis memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentang para tokoh, sehingga Sosok Siliwangi pun yang keberadaannya sangat diyakini oleh masyarakat tradisional, oleh para akhli di masa modern ini hanya dianggap sebagai tokoh sastra. Sekalipun demikian, ada pula yang menyanggah pendapat ini. Seperti menyebutkan bahwa Siliwangi itu gelar, bukan nama sebenarnya. Selain itu urang sunda merasa teu wasa bila nyebut rasa yang dhormatinya dengan sebutan nama aslinya, sehingga nama gelar yang sering digunakan. Menafsirkan sejarah Sunda masa lalu tentu pula tidak dapat ditafsirkan sacerewelana. 

Mengingat banyak menggunakan simbol, silib, siloka maka gunakan Sandi; Simbol; Siloka; Silib; Sindir-Sampir dan Sasmita dalam menafsirkan sejarah sunda.

Tidak ada komentar