Cerita Munding Kawati
Kisah
ini dimulai di negara Haur Doni, suatu daerah di wilayah Pajajaran.
Konon bertahta Prabu Munding Kawati, keturunan Prabu Siliwangi. Sang
Prabu memiliki seorang patih, bernama Aria Mangkunagara. Sedangkan
Lengsernya, bernama Laya Dipa Cakra Jengjen.
Sang
Prabu beristri dua, keduanya berparas cantik, ibarat terong dibelah dua -
jambe dibelah dua, turunan bidadari Kahyangan. Pertama Den Ayu Ratna
Sari, kedua Ratna Kembang Purba Inten.
Konon
pada suatu hari, kedua istri Sang Prabu bertapakur dikaputren, tiba-tiba
jatuh tertidur, lupa dan hilang lakunya, terganti suatu mimpi. Didalam
mimpinya itu, datang kucing candramawat, bersender dan mengelendot, naek
kepangkuannya. Dalam mimpinya mereka melihat dapur rusak dan
berantakan, cobek di tempat dandang, dandang jatuh terguling, dulang teu
puguh tempat, sumawona nu lianna, semua serba berantakan, ibaratnya
kapal pecah. Mereka pun memimpikan pula negara Haur Doni terendam air,
banjir yang sangat tinggi, Sang Prabu naik perahu kencana, berlayar
ketengah banjir, namun tenggelam ditengah, dan hanyut terbawa banjir.
Ketika mereka bangun, basah keringat membalut, disertai rasa cemas,
mimpi seolah-olah nyata, bukan hasil buah tidur. Keduanya sepakat
menceritakan, kepada Sang Prabu Munding Kawati.
Mendengar
kisah para istri, Sang Prabu tidak percaya, namun kedua istri mendesak
Sang Prabu untuk mencari akhli penafsir mimpi. Sang Prabu perintahkan
Patih memanggil Ua Lengser, untuk menafsirkan mimpi para istrinya.
Alkisah
dalam pantun ini, Ua Lengser beristri tiga, seperti lagunya Dewa, yakni
Ambu Ganjen, Ambu Gombrang ketiga Ambu Peletuk. Ua Lengser digambarkan,
seperti rakyat biasa, namun punya keunggulan, lebih bijak dari raja,
lebih pandai dari ratu, diandakan banyak orang, sebagai tempat bertanya,
sering tuntaskan masalah. Ua Lengser dipisepuh ku saluruh, dipikolot ku
sadaya, sehingga pada akhirnya, jadi penasehat raja, dituakan
masyarakat, dipercaya kerabat kraton.
Ketika
sang raja memanggil, Lengser sedang bencengkrama, bersama tiga istrinya,
di bale-bale rumahnya. Dari alun-alun keraton terdengar teriakan Patih
yang memanggil-manggil namanya. Semula Ua Lengser pura-pura tak
mendengar, tapi atas desakan ketiga istrinya, Ua Lengser berangkat juga.
Istrinya hanya mendesak : “ itu panggilan negara, maka Lengser harus
datang”.
Setibanya
Ua Lengser, diceritakan mimpi keduanya. Tak seperti biasanya, Lengser
merenung sejenak, berpikir kerutkan dahi, jawaban tak muncul jua. Ua
Lengser sangat paham, mimpi teh hiji ciciren, , totonden ti Hyang Widi,
akan tiba masa susah, masa sulit bagi raja, masa buruk keur nagara, Haur
Doni sejatinya.
Ua
lengser memahami, ada tiga peristiwa, yang akan menimpa raja. Pertama,
tandanya kucing, ciri permaisuri hamil. Kedua, kondisi dapur, ditemukan
berantakan, pertanda rumah tangganya, biasanya berantakan. Ketiga, nasib
sang Prabu, ia pun terbawa banjir, perahu hilang tenggelam. Mimipi itu
ditafsirkan, Sang Prabu akan perlaya. Ua lengser jadi bingung, bagaimana
menjawabnya, akhirnya ia berbohong, “tidak tau tafsir itu”, ia pun
berpamit diri, bergegas segera pulang. Didalam perjalanannya, Ua lengser
terus berpikir, akhirnya berksimpulan, harus siap sejak kini, sing
caringcing pageuh kancing, sing rariket pageuh ikeut.
Kedua
istri sang Prabu paham betul sikap Lengser, inilah alamat buruk, akan
dialami negri. namun raja tetap keukeuh, mimpinya alamat baik, konon
menurut Sang Prabu, negara tambah wilayah, dari 13 menjadi 14, ada
negara lain bergabung, sehingga semakin luas. Tak cukup sampai disitu,
Sang Prabu pun perintahkan, agar sang Patih yang gagah, menyambut di
batas negeri. Tunda.
-o0o-
Tersebutlah
suatu negeri yang bernama Kuta Daha, diperintah dua raja, adik – kakak
yang bertahta. Pertama Gagak Sagara, kedua Badak Komalang. Raja punya
adik putri, bernama Nyi Sunten Wayang. Kedua raja itu belum punya
permaisuri, mereka minta istri cantik, keturunan bidadari. Karena itu
sebabnya, kedua raja inginkan, istri Sang Munding Kawati. Sang raja
Gagak Sagara micinta Nyi Ratna Sari, sedang Sang Badak Komalang mitresna
Sang Ratna Kembang. Menginginkan istri orang tentu sangat tidak lajim,
ditentang Nyi Sunten Wayang. Mereka dinasehati agar mengurungkan niat,
namun memang agak sulit, karena telah jatuh cinta.
Engkang ulah :
- Adigung adiguna
- Adiguna adigana
- Adiguna adicana
- Adigung adiwarna
Nasehat Nyi
Sunten Wayang, mengandung banyak tuntutan, terutama empat makna,
mengandung tuntunan moral. Adigung adiguna artinya semena-mena,
dilakukan oleh orang, yang suka merasa gagah dan paling berkuasa.
Adigung adigana biasanya dilakukan, orang yang merasa pandai, orang lain
bodoh semua, akhirnya semena-mena. Adiguna adicana artinya merasa kaya,
merasa diri berpunya, banyak harta banyak pangan, orang lain kalah api,
akhirnya semena-mena. Adigung adiwarna artinya merasa ningrat, orang
lain semua somah, tidak mau menghargai, sesama mahluk lainnya, akhirnya
semena-mena. Manusia harus jujur, tak boleh menghina orang. Meskipun
manusia gagah, tapi jika ceroboh pinasti akan perlaya. Meskipun dirinya
pandai, jika dirinya tak benar tentu akan kabalinger. Manusia harus
taat, kepada aturan hidup, tidak boleh umbar nafsu, dilarang berbuat
jahil karena membawa celaka.
Nasehat
Nyi Sunten Wayang tidak dapat memadamkan keinginan dua raja. Maklum
raja lagi linglung “gering nantung ngalanglayung”’ teringat putri yang
cantik. Kedua raja amarah, dan tetap keukeuh niatnya, untuk beristrikan
putri, istri Sang Munding Kawati.
Konon
dalam kisah Pantun, berangkatlah dua raja, ngajugug ke Haur Doni. Masuk
hutan keluar hutan, kurusuk na leuweung busuk, turun gunung unggah
gunung, hingga sampai di tepian, di bukit Ciputih Nunggal. Kedua raja
pun tau, di tapal batas negara, Haur Doni yang termashur, mereka akan
disambut, sang maha Patih negara. Namun sang Mangkunagara, berniat
menyambut tamu, sebagai perintah raja, tamu yang akan berkunjung,
menyerahkan wilayahnya, bergabung ke Haur Doni. Agar tak terbaca niat,
Sang raja Gagak Sagara, dan raja Badak Komalang, memutuskan salin rupa,
menjadi dua lelaki, yang jelek tiada tara. Mereka berganti nama, menjadi
nama yang lain, Sang Aki Lutung Pudingdang, dan Sang Aki Beunjing
Menir. Kedua lelaki itu, menuju ke perbatasan, yang dijaga para laskar,
dan Aria Mangkunagara. Sebelum mereka pergi, menyimpan semua pakaian,
juga ajimat miliknya, dihutan Ciputih Nunggal.
Ditapal
batas nagara, keduanya pun dicegat, para laskar Haur Doni, ditanyakan
tujuannya. Mereka lalu menjawab, adalah utusan raja, dari negri Kuta
Daha. Tujuan ke Haur Doni, hendak menyerahkan negeri, kepada Sang Raja
Sakti, Munding Kawati wastanya. Merekapun diantarkan, masuk ke wilayahan
keraton, sambil disambut gembira, rakyat dan pengisi keraton. Tunda.
-o0o-
Tak
lama waktu berselang, mereka tiba di kraton, langsung dibawa sang Patih,
dihadapakna ke Sang Prabu. Mereka pun bercerita, tentang maksud
keduanya, diutus kedua raja, negaranya Kuta Daha. Sang raja di Kuta
Daha, berniat serahkan negeri, dibawah daulat tuan Sang Raja di Haur
Doni. Sang Prabu Munding Kawati, percaya dua utusan, bahkan ia
menafsirkan, inilah totonden mimpi, para kedua istrinya. Namun kedua
istrinya, masih tak percaya itu, mereka sangat curiga, mimpinya tidak
begini. Mereka harus waspada, kemungkinan yang terjadi, karena kedua
tamu, dianggap mencurigakan. Kedua tetamu itu, lantas mengajak Sang
Prabu, berangkat ke Kuta Daha, ngaroris se isi negeri. Sang Prabu lantas
berangkat, bersama dengan utusan, mereka hanya bertiga. Sang Prabu ti
Haur Doni, tidak dikawal sang Patih, apalagi bawa laskar, ia pun jalan
sendiri. Sang Prabu sebelum pergi, meninggalkan ajimatnya, ia tak bawa
senjata, untuk alat beladiri.
Dikisahkan
ketiganya, berjalan di tengah hutan, menuju wilayah baru, negaranya Kuta
Daha. Sampai disuatu Gunung, Ciputih Nunggal namanya, Sang Prabu merasa
letih, ia pun berniat rehat, melepaskan rasa penat. Ketika
beristirahat, Sang kakek utusan pergi, berniat menuju pohon, disebut
lambetang tiga. Mereka ganti pakaian, tak lupa membawa jimat, mereka
malih rupanya, menjadi Gagak Sagara, dan juga Badak Komalang. Mereka pun
menghampiri, Munding Kawati yang letih, terduduk di bawah pohon, yang
sedang melepas lelah.
Sang
Prabu Munding Kawati, alangkah merasa kaget, melihat kedua orang,
berpakaian raja negeri. Lantas Sang Prabu bertanya, “siapakah anda raja,
dan dari mana asalnya ?”. Sang Raja Gagak Sagara, dan juga Badak
Komalang, terus mereka menjawab, sesuai yang diniatkan, menuju ke Haur
Doni. Semakin kaget Sang Prabu, mendengar kedua raja, yang hendak
menguasai, Haur Doni dan istrinya. Mereka bertarung seru, walau Sang
Munding Kawati, tak juga bawa senjata, terutama ajimatnya. Sang Prabu
Munding Kawati, masih tangguh untuk kalah, tak berhasil dilukai, apalagi
ditaklukan.
Perkelahian
yang seru, mengguncangkan marcapada, menembus swarga loka. Dewa-dewa di
Swarga, sangat bingung dibuatnya, terjadilah kekacauan, tak juga tahu
sebabnya. Setelah mereka kumpul, baru tahu masalah nya, di marcapada
yang fana, ada pertempuran sengit, antara kedua raja, bertahta di Kuta
Daha, dengan satu orang raja, penguasa di Haur Doni.
Para
Dewa pun tahu, tempat terjadinya perang, di gunung Ciputih Nunggal,
daerah dikeramatkan. Hyang Guru Winawacandala, berada di swarga loka,
harus segera bertindak. Perang bertiga seimbang, tidak ada yang
mengalah, tidak juga bisa menang, jika ini dibiarkan, akan jadi
kerusakan. Konon di swarga loka, bidadari pada sakit, pohon-pohon pada
layu, terus jadi kekacauan. Hyang Guru memutuskna, untuk segera kebumi,
menemui sang Cucunda, Sang Prabu Munding Kawati. Tanpa terlihat yang
lain, Hyang Guru membisikan, agar sang Munding Kawati, mau segera
mengalah. “Jika engkau harus mati, maka anakmu lah yang membalas, karena
kedua istrimu, mereka sedang mengandung”.
Sang
Munding Kawati bingung, namun ini titah Dewa, tidak bisa dipungkiri,
harus taat harus tunduk. Tak lama waktu berselang, Munding Kawati
berkata, seraya mengakuinya, sumber kelemahan raga, yang ada di paha
kiri. Tanpa ada perasaan, langsung kedua musuhnya, menghantamkan bayu
kuning, maka gugur lah sang Prabu. “Ngarumpuyuk dina batu cadas
karintang kuning, batu tulis pangtapaan, handapeun lambetang tilu, di
gunung Ciputih Nunggal”.
Sudah
dapat dipastikan, peristiwa selanjutnya, Sang raja Gagak Sagara, dan
juga Badak Komalang, menuju ke Haur Doni, untuk memboyong sang putri,
istri Sang Munding Kawati. Tunda
-o0o-
Setelah
sang Prabu pergi, bersama dua utusan, kedua istri gelisah, tidak tenang
tidak senang, mereka sangat khawatir, nasib Sang Munding Kawati.
Firasat pun makin kuat, mereka telah pastikan, Sang Prabu telah perlaya.
Itulah sebab mereka, berniat mencari layon, sang suami yang tercinta,
hingga mereka pun tiba, di gunung dan hutan-hutan, namun tak juga
bersua.
Kedua
istri sang Raja, akhirnya berputus asa, mereka pun meniatkan, pergi ke
swarga loka, swarga loka manggung tepatnya. Sampai mereka disana,
diterima Hyang Guru. Hyang Guru pun berkata : “Suami mu telah wafat,
layonnya tak mungkin dapat. Suami dibunuh raja, dari negeri Kuta Daha.
Karena kamu berdua, boleh tinggal di swarga. Hingga akan melahirkan,
terpaksa harus didunya, karena diswarga loka, tabu untuk melahirkan,
melahirkan manusia, karena akan jadi kotor”. Akhirnya kedua putri,
mentaati Hyang Guru, mereka tinggal di swarga, hingga waktu melahirkan.
Tunda.
-o0o-
Setelah
ditinggal Ratu, istana serasa lenggang, tak lagi terlihat sibuk, para
emban pun tak nampak. Ua Lengser memeriksakan Istana. Ia melongok
kesana, tak nampak ada manusia. Ua Lengser pun berpikir, inilah awal
pertanda, mimpi para istri raja, Haur Doni akan hancur, tidak lagi
berpenghuni. Ia memeriksa kamar, tempat raja dan kaputren, nampak ada
dua guling, diatas ranjang sang raja. Lengser berpikir sejenak, entah
apa yang dipikir, ia pun mengambil burung, dimasukan dua guling. Lantas
ia selimuti, sepertinya tubuh ratu, yang sedang diselimuti, Ki lengser
lantas keluar, tinggalkan kamar kaputren.
Tak
lama waktu berselang, Sang raja Gagak Sagara, Badak Komalang adiknya,
tibalah di Haur Doni. Langsung masuk ke kaputren, niatnya mencari ratu.
Mereka melihat ranjang, ada yang diselimuti, namun selimut bergerak,
dikiranya itu ratu, mereka langsung menubruk. Tapi sangat tak terduga,
burung yang didalam guling, lantas keluar dan terbang. Mereka pun agak
kaget, dan mengira itu ratu, karena kesaktiannya, malih rupa jadi
burung. Mereka lari keluar, mengejar burung yang terbang, tapi apalah
dayanya, sang burung terbangnya tinggi.
Dua
raja Kuta Daha, mencari mengejar burung, turun gunung unggah gunung,
sang burung tak kunjung nampak. Hingga disatu daerah, bertemu seorang
pria, konon rampok yang terkenal, bernama Ki Rangga Gading. Gagak Sagara
bertanya, “Ki silah melihat putri, yang tadi lewat kesini”, Ki Rangga
Gading tersenyum, ia sambil puter otak, berniat mengelabui, agar dapat
keuntungan. Ki Rangga Gading menjawab : ”tadi ada dua putri, menunggu
tuan disana, dibelokan yang ketujuh, ditanjakan yang ketujuh. Kedua
putri berpesan, jika nanti tuan datang, tolong sampaikan pesannya, temui
dia disana, tapi jangan pake baju, tanggalkan baju disini”. Kakak adik
itu nurut, percaya yang diomongkan, namun keduanya bingung, dimana
simpan pakaian. Ki Rangga Gede sarankan, :”pakaian tinggal disini, biar
saya simpan dulu, nanti pulang tuan ambil, saya pasti menunggunya”.
Keduanya lantas pergi, bertelanjang tanpa baju, namun putri yang dicari,
tak jua bisa ketemu. Keduanya balik lagi, ketempat Ki Rangga Gading,
namun tidak menemukan. Ki Rangga Gading nya lari. Mereka barulah sadar,
ditipu Ki Rangga Gading, mengenakan dedaunan. kembali ke Kuta Daha.
Tunda.
-o0o-
Di
Kahyangan dua putri, sudah merasa waktunya, melahirkan kandungannya, ia
pun turun ke bumi, di gunung Ciputih Nunggal. Tak lama waktu berselang,
mereka pun melahirkan, keduanya laki-laki, sehat bagja dan waluya.
Di
Gunung Ciputih Nunggal, tinggal sepasang raksasa, bernama Yaksa Wayuta.
Mereka mencium darah, bau amis manusia, lantas pergi tuk mencari, kearah
sumber baunya. Sang Raksasa pun berjalan, berisik tiada kira,
menyebabkan angin topan, banyak ranting beterbangan. Kedua putri
terkaget, namun tanpa disadari, mereka terbawa angin, yang ditimbulkan
buta. Kedua putri pun terbang, melayang ke Jomantara, hingga pada kelak
nanti, jatuh dicadas Patenggang, diatas sungai Cilumpang.
Kini
tinggal dua bayi, mencari ibu mereka, tak lama waktu berselang, lantas
tiba sang Raksasa. Melihat kedua anak, dengan perut sangat lapar, tanpa
peduli sekitar, raksasa langsung melahap. Kedua anak di perut, tidak
mati masih hidup, malahan didalam perut, bermain perang-perangan. Sang
Raksasa bercerita, kepada istri tercinta, betapa sakit perutnya, yang
dimakan tidak mati. Sang istrinya malah marah, menuduh ia serakah,
mungkin tidak diduganya, bisa menjadi celaka. Kedua anak diperut, sudah
bosan bermainnya, berniat hendak keluar, menghirup udara segar. Lantas
mereka keluar, melewati tenggorokan, tapi sebelum keluar, dilihatnya
cupu manik. Mereka lantas mengambil, cupu manik astagina, yang ada
ditenggorokan Raksana Yaksa Wayuta, kemudian tidak lama, sang Raksasa
langsung mati. Tapi jasad sang Raksasa, tak lagi nampak bersisa, ia
langsung musnah, tak ada lagi bekasnya. Istri Raksasa amarah, dia segera
menyerang, namun dua anak itu, dengan mudah membunuhnya.
beres
membunuh Raksana, kedua anak berjalan, menuju keluar hutan, mencari
tidak menentu. Ditengah hutan yang lebat, mendengar jeritan pilu, dua
wanita teriak, dikira penunggu hutan. Kemudian diperiksa, nampaklah dua
wanita, tergantung di atas cadas, mereka langsung menolong. Kedua wanita
itu, tak disangka sebelumnya, kedua ibu mereka. Mereka pun bercerita,
pengalaman masing-masing. Lantas mereka berembug, pergi ke Kuta Daha,
untuk menuntut balas, atas matinya sang ayah. Tunda.
-o0o-
Mereka
di Kuta Daha, bertemu kedua raja. Sang raja Gagak sagara, sang adik
Badak Komalang. Kedua anak menantang, sang raja di Kuta Daha, tidak lah
begitu lama, kedua raja terbunuh.
Ratna
Sari dan marunya, yaitu Sang Dewi Ratna, meminta dua anaknya, untuk
menghidupkan raja, yang telah dikalahkannya. Agar dapat menunjukan,
jenasah Munding Kawati. Tak lama waktu menunggu, dua raja hidup lagi,
mereka datang menyembah, dua putri dan anaknya. Mereka langsung
berikrar, untuk mengabdikan diri. Lantas mereka pun pergi, mencari jasad
sang Prabu, menuju Ciputih Nunggal. Maka tak lama berselang, mereka
sampai disitu, menemukan jasad mati, milik Sang Munding Kawati. Sang
anak membuka ajimat, cupu manik astagina. Sang Perabu dihidupkan. Hirup
jagjag dan waluya.
Para
istri menghampiri Sang Prabu Munding Kawati, mereka menjelaskan kedua
anaknya itu, tak lupa diterangkannya, berhasil menuntut balas. Kedua
raja Daha, segera haturkan sembah, mereka berikrar, menyerahkan Kuta
Daha. Sang Prabu Munding Kawati, raja yang bijak dan adil, ia pun
memafaakannya, dua raja Kuta Daha. Seraya ia ucapkan, “jangan di ulangi
lagi”.
Sang
Prabu Munding Kawati, ia pun lantas berujar, kepada dua istrinya, :
“sekarang memang terbukti, impian adinda benar, ada yang inginkan
memperistri adinda putri, dan aku pun dibunuhnya. Tapi aku benar pula,
dikarenakan Kuta Daha menyerahkan wilayahnya pada negeri Haur Doni”.
Mereka
semua pulang, ke negara Haur Doni. Di tapal batas negara, disambut
rakyat semua, tentunya dipimpin sang Patih Aria Mangkunagara dan Ua
Lengser. Demikianl kisah Pantun, Carita Munding Kawati.
-o0o-
Pemaknaan
daripantun ini hampir sama dengan carita Lutung Kasarung dan Badak
Pamalang, syarat dengan lambang hubungan moral langit dengan bumi. Gagak
Sagara dan Badak Komalang keduanya entitas yang berbeda, tidak bersatu.
Gagak Sagara melambangkan angin dan air, sedangkan Badak Komalang
melambang kan tanah dan api, berhadapan dan tidak disatukan dalam suatu
entitas yang sempurna, yakni ‘ngancik’ dalam rohani manusia. Mungkin
dapat juga ditafsirkan, moral dunia atas yang diwakili Gagak Sagara
dengan perilaku dunia bawah, diwakili Badak Komalang, tidak tumbuh dalam
rohani manusia, akibatnya membuat keonaran hidup.
Pemaknaan
lainnya dapat ditenggarai dari Munding Kawati, seorang raja manusia
yang mengemban moral dunia atas, yang patuh kehendak takdir. Ia ikhlas
haru mati hanya untuk menjangga keseimbangan dunia atas. Keikhlasan
mengemban takdir akhirnya membawa kedalam suatu kebahagiaan yang ia
sendiri tidak menduga.
Kemudian
pemaknaan tentang mati dan hidup kembali Munding Kawati di gunung
Ciputih Nunggal. Tentunya sangat sarat menggambarkan adanya sarana yang
menghubungkan dunia atas dengan manusia. Tempat ini paling tepat untuk
menghidupkan spirit hidup manusia, agar semua unsur kehidupan dapat
bersatu dan ada didalam diri manusia, membentuk suatu harmoni, karena
itulah artinya manusia sempurna. Cag (***).
Disarikan Oleh : Agus Setia Permana
Sumber Bacaan :
- Lima Abad Sastra Sunda, sebuah antologi, Jilid I, Geger Sunten Bandung – 2000.
- Khazanah Pantun Sunda, sebuah interprestasi, Jakob Sumardjo, Kelir, Bandung – 2006.
Tidak ada komentar