Situs Candi Cangkuang dan Pemakaman Muslim Kuno

Bila mendengar kata ‘Cangkuang’ yang terbersit pada kebanyakan pembaca atau pelajar atau pecinta sejarah dan budaya adalah situs Candi Hindu yang dikatakan didirikan pada era Mataram Kuno, sekitar abad ke-8 M, yang secara ‘kebetulan’ terdapat ratusan makam tokoh muslim yang masih diziarahi dan terawat dengan baik oleh warga setempat dan bahkan diziarahi pula oleh warga dari desa lain yang tidak lain adalah keturunan dari tokoh-tokoh muslim yang dimakamkan di pemakaman ini.

Candi dan pemakaman muslim ini terletak di Pulau yang berada ditengah situ (danau) Cangkuang. oleh penduduk setempat pulau di tengah danau ini di sebut Kampung Pulo, untuk menuju lokasi pemakaman kuno dan Candi tersdia rakit untuk menyebrangi danau seluas 26 Hektar ini. Situs Candi dan kompleks pemakaman ini terletak di kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat.


Candi Cangkuang adalah salah satu situs Candi yang dibuat pada tahun 1974-1976. Candi ini di kelilingi ratusan pemakaman muslim kuno dengan tokoh yang paling dituakan dari makam-makam ini adalah Mbah Dalem Arief Muhammad. Nama Cangkuang sendiri berasal dari tanaman sejenis Pandan yang tumbuh subur di wilayah ini. Namun sayangnya tanaman Cangkuang ini kini termasuk tanaman langka dan sulit di temui, di situs ini masih terdapat beberapa pohon Cangkuang di antaranya yang ditanam disisi makam Mbah Dalem Arief Muhammad.

Dalam berita-berita tentang Candi Cangkuang keberadaan pemakaman yang luas ini hampir tidak pernah dibahas kecuali satu makam yang dituakan dan dikeramatkan oleh penduduk setempat, yaitu makam tokoh muslim bernama Arief Muhammad, yang bergelar Mbah Dalem Arief Muhammad. Seperti yang kita ketahui Mbah adalah sebutan umum di Indonesia untuk kakek, buyut dan seterusnya ke atas, sementara dalem adalah gelar pemimpin yang pernah di jabat almarhum semasa hidup.

Menurut catatan sejarah yang kami dapat dari lokasi situs, mbah Dalem Arief Muhammad adalah prajurit Mataram yang melarikan diri ke desa cangkuang karena tidak dapat mengalahkan pasukan VOC di Batavia pada tahun 1625, namun sejarah ini pun banyak mengundang kontroversi karena nama Arief Muhammad yang dikatakan sebagai panglima perang Mataram saat itu tidak tercatat dalam Dragh Register semacam catatan kependudukan era kolonial yang kini tersimpan di kantor Arsip Nasional RI.

Minimnya informasi tentang keberadaan makamdan tokoh sepenting Mbah Dalem Arief Muhammad dan Mbah Dalem lainnya yang dimakamkan di lokasi ini, menyebabkan para pengunjung umumnya lebih diarahkan kepada sejarah Candi Cangkuang yang berdiri dengan janggal diantara ratusan makam muslim di sekelilingnya.

Pemandangan candi Cangkuang dan makam Arif Muhammad dari teras Museum, keganjilan yang nampak jelas disini adalah fakta bahwa makam Arif Muhammad bukan satu-satunya makam di kampung pulo ini, terdapat ratusan makam kuno yang tersebar, dan puluhan makam tokoh penting leluhur nusantara yang terdata dan diketahui masyarakat kampung pulo bahwa tokoh-tokoh yang dimakamkan tersebut sebagian besarnya adalah tokoh muslim. sebagian kecil makam, lebih dari 20 makam yang ada masih dikeramatkan dan masih terdapat sisa-sisa bangunan makam yang belum dipugar, baik oleh penduduk setempat atau pemerintah pusat seperti yang terjadi pada makam kuno Arif Muhammad.

Namun sebagian besar makam yang lain, yang jumlahnya hingga mencapai ratusan makam hanya ditandai dengan batu bata kuno dan batu andesit yang digunakan sebagai nisan, nisan-nisan ini sebagian besar tidak bernama, adanya nisan yang tidak bernama ini menandakan, bentuk makam makam ini pada awalnya tidak seperti yang terlihat sekarang, namun terdapat dalam bangunan makam atau cungkup makam, seperti pada umumnya makam-makam kuno di Indonesia, informasi atau data tentang almarhum umumnya terukir pada pintu masuk bangunan makam atau gerbang makam. Sejarah membuktikan pada kita bukan hanya di Indonesia, dibelahan dunia manapun, bangunan makam selalu menjadi sasaran utama untuk dihancurkan oleh para penguasa yang ingin berkuasa di suatu negeri secara tidak sah.

Terdapat ratusan makam seperti ini yang tersebar di situs Cangkuang, walaupun makam-makam ini sudah tidak bernama, namun masih terawat dengan baik dan sebagian masih masih diketahui nama-nama almarhum.

Setelah berkeliling situs Candi dan pemakaman, serta mendapatkan informasi penting seputar Candi, semakin banyak kejanggalan-kejanggalan yang kami temukan, ternyata setelah kami telusuri dan dan pelajari lagi melalui berbagai sumber, keberadaan Candi Cangkuang sendiri banyak menuai kontroversi di kalangan arkeolog dan akademisi, karena pembangunan Candi Cangkuang hanya berdasarkan dugaan dan tidak ada objek candi yang tersisa di lokasi situs tempat berdinya candi ini sekarang.

Dengan banyaknya kejanggalan ini kami pun melakukan penelitian sederhana seputar bangunan candi yang berdiri diatas ratusan pemakaman muslim ini dan siapakah sebenarnya tokoh ulama yang bergelar Mbah Dalem Arief Muhammad ini? Benarkah beliau adalah salah seorang prajurit Mataram yang melarikan diri? Bila memang benar demikian mengapa kedudukan beliau sangat dihormati bahkan makamnya tetap diziarahi hingga kini oleh keturunannya yang tetap menjaga tradisi beliau yang telah bertahan selama ratusan tahun? Benarkah demikian?

Dengan mengunjungi langsung situs Cangkuang di Leles, Garut kami menemukan ratusan makam kuno yang berserak sebagian makam ada yang masih terawat dan sebagian lain sudah tidak diketahui lagi penghuni makamnya. Adanya ratusan makam di situs Cangkuang adalah bukti dan fakta yang tidak terbantahkan bahwa pada suatu masa di masa lalu situs ini bukanlah situs percandian agama Hindu namun situs pemakaman muslim kuno yang kemudian pada tahun 1974 atas perintah pemerintahan Orde Baru, dibangunlah candi hanya dengan modal dugaan seadaanya, candi ini diresmikan pada tahun 1976.

Sejak candi ini diresmikan lambat laun sosok Dalem Arief Muhammad seolah dihilangkan dari peta sejarah Islam Nusantara, namun karena tradisi penduduk setempat tetap berjalan dapatlah kita ketahui bahwa situs Cangkuang memiliki peranan besar dalam mengungkap sejarah Islam Nusantara yang abu-abu dan penuh dengan ketidakjelasan. Siapakah sebenarnya sosok Arief Muhammad? Dan apa kaitan beliau dengan sejarah Islam Nusantara khususnya Pulau Jawa? Benarkah sejarah beliau sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terungkapnya sejarah Islam di negeri ini? Untuk mengetahui lebih detail tentang sejarah situs Cangkuang, kami akan berbagi pengalaman kami ketika berkunjung ke situs ini dan hasil penelusuran kami tentang tokoh dan sekilas sejarah yang terkait dengan (Dalem)Arif Muhammad, berdasarkan fakta dan informasi yang kami temukan dari lokasi situs.


Sejarah Penemuan Candi, Bangunan Candi atau Makam?

Penelitian arkeologi di lokasi Situ Cangkuang ini diawali dengan di temukannya sebuah catatan perjalanan seorang Belanda bernama Vorderman, yang melakukan perjalanan ke wilayah Cangkuang ini pada tahun 1893, mungkin karena dianggap tidak terlalu penting, Vorderman hanya menulis catatan kecil mengenai wilayah Cangkuang ini, dalam jurnalnya yang berjudul; Minutes Bataviaasch Genootschap ia menulis sebuah catatan kecil tentang adanya pemakaman kuno dan patung Siwa yang rusak. 

Dengan berbekal catatan inilah pada tanggal 9 Desember 1966, Drs. Uka Candrasasmita melakukan penggalian arkeologis, tidak ada penemuan penting dari hasil penggalian ini, yang dapat ditemukan hanyalah batu-batu andesit yang berserakan di sekitar makam yang di perkirakan sebagai bekas-bekas reruntuhan candi [1], patung Siwa yang rusak dan lubang di bawah tanah berukuran 4,5 × 4,5 m yang diduga sebagai fondasi candi.


Candi Cangkuang awal ditemukan 1966. Foto diatas menunjukkan keadaan Bukit Kampung Pulo pada saat awal penelitian. 

Kampung Pulo adalah sebuah pulau di tengah danau. Menurut cerita penduduk setempat dan banyaknya bukti makam kuno yang tersebar di berbagai wilayah kampung ini, sangat besar kemungkinan wilayah pulau di tengah danau ini dahulunya adalah wilayah yang dikhususkan untuk pemakaman muslim, semacam tanah wakaf. Adanya pemakaman muslim kuno di wilayah ini adalah fakta yang dapat mematahkan teori yang mengatakan bahwa situs ini pada mulanya adalah situs bekas kerajaan Hindu di wilayah Jawa Barat. 

Teori ini pertama kali diutarakan oleh Drs. Uka Candrasasmita, hanya dengan bukti berupa batu andesit yang berserakan di sekitar makam yang diperkirakan sebagai batu candi dan patung Siwa yang rusak. 

Lubang yang lebih menyerupai sumur yang ‘diduga’ sebagai pondasi candi pada awal di temukan tahun 1966, lebih menyerupai sumur dari pada fondasi candi, atau dapat berupa bangunan apapun yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan lingkungan sekitarnya, yaitu pemakaman muslim. Dan yang terpenting adalah darimana dapat diketahui bentuk candi cangkuang bila awal ditemukannya hanyalah sepetak lubang yang diduga sebagai fondasi candi? Ketika di konfirmasi dengan penduduk sekitar yang sudah turun temurun di daerah Cangkuang, mereka juga tidak pernah mendengar atau diceritakan adanya candi di dearah kampung pulo. (Sumber foto: Museum Cangkuang)


Temuan Arca Sebagai Penentu Berdirinya Candi Cangkuang

Arca Dewa-Dewi atau reinkarnasi dan perwujudan mereka dalam ajaran Hindu, Budha atau Hindu Dharma di Bali mempunyai tatacara pembuatan yang khusus yang dilakukan oleh para pandita dan memiliki ritual khusus yang memerlukan kesabaran dan ketelitian yang menghasilkan suatu karya seni keagamaan yang sesuai dengan tatacara yang terdapat dalam kitab rujukan dalam agama mereka.

Namun sayangnya arca-arca cacat ini banyak ditemukan pada arca-arca di Nusantara, baik yang terdapat di area percandian atau hanya tergeletak ditempat-tempat yang dikeramatkan warga dan diyakini warga setempat sebagai makam leluhur. Kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia terutama di pulau Jawa, termasuk diantaranya arca Siwa yang terdapat di Cangkuang ini.

Keberadaan arca-arca cacat ini dapat dikenali dengan bentuk arca yang tidak simetris atau tidak proporsional, hal ini seharusnya tidak akan pernah terjadi bila arca-arca ini dibuat oleh penganut agamanya masing-masing. Arca-arca ini adalah lambang dan wujud dari dewa-dewa yang disucikan, mustahil dibuat secara asal seperti yang terdapat pada arca-arca di beberapa situs di Nusantara.

Foto di atas adalah arca cacat yang dikatakan sebagai arca Siwa yang sedang mengendarai Nandi (sapi sebagai wahana Siwa, karena itu sapi bagi agama Hindu India adalah hewan yang disucikan). Namun faktanya arca ini bukan rusak karena terkikis oleh waktu, tapi arca yang cacat sejak awal pembuatannya. Dengan melihat arca ini secara langsung dan membandingkannya dengan arca yang rusak karena waktu, jelas sekali perbedaannya. Belum lagi bila kita membandingkannya dengan melihat dari simbol dan posisi Siwa serta Nandhi. Menurut pendapat kami dengan adanya pengakuan bahwa arca ini adalah arca Siwa yang sedang mengendarai Nandi sama halnya dengan merendahkan kedudukan dewa Siwa yang disucikan dalam agama Hindu.

Berdasarkan penelusuran kami untuk mengetahui bentuk sebenarnya dari arca Cangkuang, kami membandingkan arca cacat di Candi Cangkuang dengan arca yang lazim terdapat dalam Hindu India pada sebelah kiri gambar di bawah ini. 

Bila dilihat dari bentuk dan posisi, arca Cangkuang seharusnya bermaksud untuk menggambarkan Shiwa sebagai avatar Wisnu dengan wahana singa bersayap. Arca Shiwa di foto sebelah kiri adalah bentuk seharusnya dari arca dewa Hindu yang sesuai dengan gambaran yang diyakini dalam kitab-kitab agama Hindu di India. Sementara foto di sebelah kanan adalah arca cacat di Cangkuang. Kemungkinan besar, karena yang membuat bukan orang beragama Hindu, apalagi seorang Pandita yang mengerti kitab, jadilah arca Siwa di Cangkuang seperti yang kita di sebelah kanan.

Kami dapat mengatakan yang membuat arca tersebut bukan orang Hindu, karena dalam kitab agama Hindu, terdapat tata cara dan arahan dalam pembuatan arca. Bila sang pembuat arca melihat hasil buatannya tidak sempurna bahkan cacat, arca tersebut harus dimusnahkan, karena ia tidak akan rela melihat dewa yang diagungkannya berbentuk fisik seperti arca Cangkuang di atas.

Namun, karena tidak menemukan bukti bangunan atau reruntuhan bekas candi di lokasi pemakaman Cangkuang, arca yang berbentuk tidak jelas dan cacat pada saat pembuatan ini dijadikan penentu didirikannya candi Cangkuang. Karena keberadaan arca ini, pemakaman muslim kuno dikatakan sebagai situs candi Hindu, dan batu-batu andesit yang berserakan di sekitar makam dikatakan sebagai batu candi, meskipun berbentuk jelas menyerupai nisan.

Dengan berbekal penemuan lubang dan patung Siwa yang rusak, dan tentunya teori-teori rekaan yang dipaksakan dan tanpa ada perbandingan dengan bangunan yang lain, Prof. Harsoyo dan Drs. Uka Tjandrasasmita mengutarakan adanya candi Hindu dan bekas-bekas kerajaan Hindu di Jawa Barat. Penelitian yang disponsori oleh Mr. Idji Htadji-ketua CV Haruman dan bekerjasama dengan mahasiswa IKIP Bandung ini berhasil merekayasa sebuah candi yang besar kemungkinan tidak pernah ada. Apalagi, seperti yang diakui oleh pihak peneliti sendiri, Candi Cangkuang yang ada saat ini tidak lebih hanyalah hasil rekayasa yang tidak bersandarkan bukti-bukti ilmiah. Hal ini dinyatakan pula oleh Agus Aris Munandar dalam bukunya ‘Bangunan Suci Sunda Kuno’ halaman 117, bahwa bangunan Candi Cangkuang adalah rekaan belaka dan sangat mungkin keliru.



Candi Cangkuang nampak muka, bersebelahan dengan makam kuno yang telah dikenal penduduk beberapa generasi sebelum keberadaan Candi Cangkuang sebagai makam leluhur mereka Arif Muhammad, berdasarkan penuturan penduduk setempat. Dari bukti geologis yang masih dapat dilihat–berupa danau–dapat diketahui bahwa daerah kampung Pulo hingga tahun 1960-an masih dikelilingi danau. Sekarang sebagian danau sudah di jadikan persawahan dan perumahan penduduk.

Bentuk pemakaman yang berlokasi di tengah pulau yang dikelilingi danau ini bukan satu-satunya di Jawa, bahkan di Nusantara. Pemakaman Cangkuang adalah salah satu bentuk makam dari ratusan pemakaman yang tersebar di kepulauan Nusantara yang digunakam leluhur Nusantara, bahkan sebelum masuknya Islam di Nusantara, sekitar abad ke-7 M.

Contoh jenis pemakaman leluhur di Nusantara yang berlokasi di pulau di tengah danau, dapat kita lihat pada pemakaman kuno di Ciamis Situ Lengkong, pemakaman kuno di pulau Samosir, Danau Toba, pemakaman kuno di Madura di pulau di tengah danau Telango, dan pemakaman kuno leluhur Palembang di delta Sungai Musi, dan masih banyak lagi. Pemakaman di di delta Sungai Musi sejak Suharto berkuasa telah dibangun jadi kelenteng, sehingga keberadaan makam leluhur Palembang tersebut seolah kehilangan jejak.



Makam disekitar Candi Cangkuang ini jumlahnya bisa mencapai ratusan makam, namun sayangnya keberadaan pemakaman ini seolah seperti sengaja tidak pernah disebut, dan timbul kesan keberadaan makam ini-lah yang telah menghilangkan jejak peradaban kerajaan Hindu di wilayah cangkuang ini yang dikatakan dari abad ke-8, fakta yang kami dapati di lokasi situs justru sebaliknya, adanya Candi Hindu rekaan ini telah berhasil menutupi sejarah Islam di Nusantara.


Siapakah Sebenarnya Tokoh Yang Bernama Arief Muhammad Ini?

Bila kita hanya mencari informasi mengenai situs arkeologi ini melalui internet tanpa melakukan kunjungan langsung ke lokasi situs, keberadaan pemakaman muslim ini sering kali dilewatkan. Hanya satu makam yang disebutkan ada di wilayah ini, yaitu makam Arief Muhammad. Makam tokoh ini hingga kini rutin diziarahi oleh penduduk Kampung Pulo. Siapakah Arief Muhammad? Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, kami mendapat informasi penting bahwa Mbah Dalem Arief Muhammad adalah leluhur mayoritas masyarakat Kampung Pulo. Karenanya, penduduk setempat menyebut Arief Muhammad “Eyang Mbah Dalem Arief Muhammad”. Berdasarkan penelusuran silsilah beliau yang kami temukan di museum Cangkuang, beliau masih keturunan Nabi Muhammad saw dari putri beliau Sayyidah Fatimah Zahra (Ratu Fatimah) yang hidup sekitar abad ke-9 M atau sekitar tahun 800-an Masehi. Artinya, kurang lebih 200 tahun setelah wafatnya Rasul saw. Itulah sebabnya kita tidak akan pernah menemukan tokoh ini didalam daftar penduduk yang dibuat pemerintah kolonial tahun 1625 karena beliau hidup sekitar tahun 800-an.



Posisi makam Arief Muhammad di Kampung Pulo terletak pada dataran paling tinggi, yang menandakan semasa hidupnya beliau adalah orang yang disegani. Berdasarkan silsilah yang kami dapatkan dari penduduk setempat dan kisah turun temurun, penduduk kampung Pulo masih keturunan Arief Muhammad.

Bila menurut silsilah ini, Arif Muhammad adalah keturunan ke-8 dari Rasulullah saw, dari cucu beliau Imam Husen yang berputra Imam Ali Zaenal Abidin atau Seh Jenal Abidin berputra Seh Mashur berputra Seh Masajid berputra Sultan Arif berputra Sultan Seh Maulana Maghribi berputra Sultan Arif Muhammad, sultan Arif Muhammad inilah yang dikatakan sebagai Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad.

Dalam urutan silsilah akan terlihat bahwa Arief Muhammad hidup sekitar tahun 800-an Masehi, yang artinya beliau hidup dan memimpin wilayah Cangkuang dan sekitarnya kurang lebih 1200 tahun yang lalu! Dan yang terpenting adalah dengan penelusuran tokoh Arief Muhammad ini, melalui silsilah yang ada kita mengetahui bahwa 1200 tahun yang lalu Islam telah menjadi agama resmi wilayah ini dengan dengan tokoh wali-wali muslim sebagai pemimpinnya. Jabatan kepemimpinan ini dapat dilihat dari gelar Almarhum yang sudah melekat dengan nama beliau, seperti yang kami temukan di wilayah ini, gelar Mbah Dalem, Sunan, dan sebagainya.

Untuk mengetahui masa hidup beliau, karena Mbah Dalem Arief Muhammad masih keturunan Rasulullah saw, melalui silsilahnya kami membandingkannya dengan keturunan Rasulullah yang lain juga menjadi Imam besar bagi para pengikut ajaran keluarga nabi pada masanya, yaitu Imam Muhammad al Jawad yang hidup tahun 817 M-842 M.

Berikut adalah urutan perkiraan tahun dari nama yang kami peroleh dari silsilah Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad di atas :

  1. Muhammad Rasulullah saw 570 M-632M
  2. Ratu Fatimah (605M-632M)+Sayidina Ali kw (600M-661M)
  3. Imam Husen (625 M-681 M) [1]
  4. Seh Jenal Abidin (Imam Ali Zaenal Abidin 658 M- 713 M)
  5. Seh Mashur (salah seorang putra dari imam Ali Zaenal Abidin, hidup satu masa dengan Imam Muhammad al Bagir-juga salah seorang putra Imam Ali Zaenal Abidin yang hidup pada tahun 676 M- 732 M)
  6. Seh Masajid (satu masa dengan putra imam Muhammad al Bagir; Imam Ja’far as Shadiq yang hidup pada tahun 702 M-765M)
  7. Sulthan Arif (satu masa dengan putra imam Ja’far as Shadiq; Imam Musa al Kadhim yang hidup pada tahun 750 M-805 M)
  8. Sulthan seh Maulana Maghribi (satu masa dengan putra Imam Musa al Kadhim; Imam Ali ar Ridho yang hidup pada tahun 770 M-825 M)
  9. Sulthan Arif Muhammad (satu masa dengan putra Imam Ali ar Ridho; Imam Muhammad al Jawad yang hidup pada tahun 817 M- 842 M)

Selain makam Arif Muhammad, di Kampung Pulo ini juga terdapat ratusan makam kuno lain yang tersebar di berbagai wilayah di Kampung Pulo ini. Dan seperti pada umumnya pemakaman pada masa itu, setiap makam memiliki bangunan makam atau cungkup makam yang berbentuk persis sama dengan yang kita kenal sebagai Candi sekarang. Bangunan makam atau cungkup makam ini pada umumnya terbuat dari bata atau batu andesit atau yang lebih dikenal dengan batu candi atau batu alam yang terdapat di sekitar lokasi makam.

Penduduk nusantara pada masa lalu adalah bangsa yang sangat menghargai leluhurnya. Meskipun nenek moyang nereka telah berpulang, mengunjungi makam atau berziarah ke makam leluhur adalah suatu ritual istimewa yang diselenggarakan dari mulai golongan para pemimpin hingga rakyat biasa, tradisi ini melambangkan tradisi ajaran Millah Ibrahim atau agama Brahmanik. Ketika mayoritas penduduk negeri ini telah memeluk Islam tradisi ini tetap berjalan karena tradisi ziarah tidak Berentangan dengan ajaran Islam. Pentingnya tradisi ziarah bagi bangsa Indonesia telah menjadikan pemakaman sebagai tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta dan dengan tradisi ziarah mengingatkan manusia akan kefanaan dirinya.

Pemakaman di nusantara memiliki lokasi dan bangunan khusus yang mendukung ritual berziarah tetap terlaksana, ketika Islam telah menyebar dikalangan penduduk nusantara bangunan makam menjadi satu bagian dengan bangunan Masjid. Salah satu bangunan khusus yang hingga kini masih terjaga adalah fakta bahwa hampir setiap makam kuno di nusantara memiliki bangunan makam atau cungkup makam atau bekas-bekas cungkup makam, seperti gambar makam Sunan Pangadeggan ini.

Situs makam Sunan Pangadeggan, berbentuk punden berundak, makam dengan bentuk punden berundak terdapat di beberapa lokasi di situs Cangkuang, makam dengan bentuk punden berundak sebenarnya banyak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia hanya saja asumsi Hinduisme yang telah mengakar, seringkali situs pemakaman ini dijadikan situs Hindu atau Budha.

Cungkup makam umumnya terbuat dari batu alam, batu bata yang dikombinasi dengan kayu pada bagian atapnya. Dilihat dari bentuk bangunan, bangunan makam hampir tidak bisa dibedakan dengan bangunan candi, hanya satu hal yang membedakan yaitu keberadaan arca dan relief.

Situs pemakaman yang ada di situs percandian dan bukti pemakaman kuno yang hingga kini masih terpelihara, cukuplah kiranya sebagai bukti tentang keberadaan situs-situs candi di Nusantara yang dikatakan sebagai candi atau Vihara peninggalan agama Hindu atau Budha adalah pemakaman leluhur yang memiliki kepercayaan atau beragama tauhid, yang juga dikenal dengan ajaran nabi Ibrahim yang juga merupakan ajaran nabi-nabi sebelumnya.

Sampai pada masa Islam, tradisi membangun makam dengan arsitektur bangunan mengikuti budaya setempat tidak mengalami perubahan berarti. Hingga pada akhir abad ke-17, ditandai dengan kekuasaan Mataram baru yang berlandaskan Islam garis keras dan berafiliasi ke Turki Usmani, bangunan-bangunan makam banyak yang dihancurkan, diratakan dengan tanah dengan dalih tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Penghancuran makam ini diperparah dengan pemalsuan-pemalsuan bangunan makam dengan dalih pemugaran. Faktanya, pemugaran yang dilakukan pemerintah kolonial telah menghilangkan jejak Islam di Nusantara.

Penelitian Situs Cangkuang diketahui pertamakali dari tulisan Voderman dalam sebuah buku berjudul Batavia Guinneskoop (tt), yang ditemukan tahun 1893 di sebuah desa di wilayah kecamatan Pawitan, lebih kurang 20 km dari desa Cangkuang sekarang. Dalam tulisan itu disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di sekitar situ Cangkuang dan sebuah makam keramat yang sangat dihormati oleh penduduk setempat.

Tahun 1914 sebuah artikel dalam R.O.D. mengungkapkan adanya situs hunian (Prasejarah) di wilayah sekitar situ Cangkuang. Pernyataan ini didukung oleh Furer - Heimendorf (1939) yang melakukan penelitian di lembah-lembah sekitar gunung Haruman, Kaledong, Mandalawangi, dan gunung Guntur. Penelusuran kembali atas penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita (1966-1976), menghasilkan pemugaran situs cangkuang secara keseluruhan.

Berikut ini, alur Waktu Candi Cangkuang sejak awal ditemukan hingga selesai dibangun yang membutuhkan waktu selama 2 tahun (1974-1976 M).

1966 : ditemukannya sebuah catatan perjalanan seorang Belanda bernama Vorderman. Ia melakukan perjalanan ke wilayah Cangkuang pada tahun 1893 dan melaporkannya dalam jurnalnya yang berjudul “Minutes Bataviaasch Genootschap”. Di dalamnya ia bercerita tentang adanya pemakaman kuno dan patung Siwa yang rusak.

9 Desember 1966 : Drs Uka Candrasasmita dan rekan yang melakukan penggalian arkeologis, tidak ada penemuan penting dari hasil penggalian ini, yang dapat ditemukan hanyalah batu-batu andesit yang berserakan di sekitar makam yang diperkirakan sebagai bekas-bekas reruntuhan candi [3], patung Siwa yang rusak dan lubang di bawah tanah berukuran 4,5×4,5 m yang diduga sebagai fondasi candi.

1974-1976 : Candi Cangkuang mulai dibangun dari awal karena tidak ada satupun bagian candi yang tersisa. Itulah sebabnya terdapat 2 kesalahan arkeologi dalam pembangunan Candi ini. Yang pertama, bangunan Candi Cangkuang hanya sebuah rekayasa yang bentuknya terinspirasi dari candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fakta yang ada menunjukkan bahwa pembangunan candi ini justru merusak situs arkeologi yang sebenarnya, yaitu situs pemakaman muslim kuno yang dapat membuka tabir gelap sejarah Islam di Nusantara.

Proses pencetakan batu-batu tiruan untuk membangun candi yang diduga pernah berdiri di lokasi ini (Sumber: Museum Candi Cangkuang)

Penyusunan sementara badan candi (Sumber foto: Museum Cangkuang)

Penyusunan sementara badan candi (Sumber foto: Museum Cangkuang)

Keadaan badan candi setelah tersusun (Sumber foto: Museum Cangkuang)

Bagian atap candi, batu baru digabung dengan batu lama dibuat candi
(Sumber foto: Museum Cangkuang)

Bila dilihat dengan teliti, batu-batu andesit lama yang digunakan untuk bangunan candi ini lebih menyerupai sisa-sisa batu nisan yang diambil dari pemakaman kuno disekitar lokasi candi, sehingga makam-makam itu menjadi tanpa nama. Besar kemungkinan pada awalnya setiap makam di Kampung Pulo ini memiliki bangunan dan ada nama dan nisannya. Kasus yang sama terjadi pada pemakaman Baqi, yaitu pemakaman keluarga dan sahabat nabi yang berlokasi di belakang Masjid Nabi di Madinah. Makam-makam di sana dihancurkan kaum nawasib (pembenci keluarga Nabi) yang berkedok ajaran baru Wahabi.


Bila dilihat dari segala sisi, jelas Arca Siwa ini adalah salah satu arca cacat yang sengaja dibuat pada era kolonial dan dibuang karena gagal dalam pembuatannya. Perhatikan garis fondasi awal pada lantai candi di sekeliling arca yang dikatakan sebagai arca Siwa. Fondasi itu dibuat pada pemugaran tahun 1976 karena tidak ditemukan satu bagian pun bangunan candi. 

Pada bagian ini kami akan menunjukkan situs makam kuno yang lain di Kampung Pulo, melalui beberapa foto berikut ini.

Peta Lokasi Cagar Budaya Candi Cangkuang

Makam Wiradijaya dan Wirabaya

Daftar Nama dan Makam Tokoh Leluhur Kampung Pulo

Dengan melihat nama-nama ini, dapat diketahui bahwa mereka bukan sekedar penduduk biasa apalagi pelarian atau buron dari Mataram. Namun, kedudukan mereka adalah para pemimpin dan ulama yang dimakamkan di Cangkuang. Masih banyak makam-makam kuno lain yang tanpa nama.
Situs Makam Sunan Pangadeggan (Sumber : Museum Cangkuang)

Pangadeggan adalah nama salah satu desa di wilayah Garut kota. Sunan adalah jabatan penguasa wilayah. Pertanyaannya adalah siapa nama Sunan Pangadeggan yang dimakamkan di tempat ini? Untuk mengetahuinya membutuhkan proses penelitian lebih lanjut, namun kami yakin tokoh-tokoh di atas sangat erat kaitannya dengan sejarah Islam di Nusantara yang sengaja digelapkan dan dibuat tidak jelas.

Bila dilihat dari bangunan makam, seharusnya bangunan-bangunan makam yang ada sejak masa lalu ini bisa dijadikan rujukan dan bukti bahwa seluruh wilayah ini adalah bagian dari suatu pemerintahan Islami pada masa lalu, karena wilayah Cangkuang (sekarang kecamatan Cangkuang) adalah wilayah yang cukup luas.

Pada awal ditemukannya lubang yang diduga sebagai situs candi, di lokasi situs banyak berserak batu-batu andesit. Batu-batu inilah yang kemudian dijadikan bagian dari bahan pembangun candi, selain batu bata yang dibuat di lokasi situs. Namun setelah berkeliling lokasi situs dan memperhatikan makam-makam kuno tersebar di seluruh situs Cangkuang ini, kami mendapati bahwa makam-makam tersebut menggunakan batu andesit sebagai nisan dan undakan makam. Karena itu, besar kemungkinan batu andesit yang digunakan sebagai batu candi tidak lain adalah bagian dari bangunan makam seperti yang terdapat pada sisa-sisa bangunan makam yang terdapat di wilayah ini.

Batu andesit yang digunakan pada kaki dan badan candi

Batu andesit yang digunakan pada kaki dan badan Candi sama dengan yang digunakan pada makam-makam kuno yang tersebar di situs ini.

Batu andesit yang digunakan pada Makam Arief Muhammad dan Sunan Pangadegan


Beberapa cotoh bentuk makam dan nisan yang terbuat dari batu andesit
yang tersebar di lokasi situs


Peninggalan-peninggalan Dalem Arief Muhammad
Dalem Arif Muhammad dan generasi setelah beliau meninggalkan kitab-kitab kuno warisan yang dibuat dengan kertas yang berasal dari kulit kayu saeh. Menurut petugas museum, kitab ini diperkirakan berasal dari abad ke-17.

Pertanyaannya adalah bila memang benar kitab-kitab kuno ini berasal dari abad ke 17 Masehi mengapa harus menggunakan kertas yang terbuat dari bahan kulit kayu saeh? Pada abad ke 17 Masehi penggunaan kertas seperti yang kita kenal sekarang sudah dilakukan. Untuk seorang putra Sultan seperti Arif Muhammad tentunya akan mudah mendapatkan kertas sebanyak apapun yang beliau butuhkan. Akan lebih logis bila kitab-kitab kuno ini berasal dari abad ke 9 Masehi, yaitu masa hidup Arief Muhammad. Pada masa ini penggunaan kertas hanya dikenal pada kalangan masyarakat tertentu, dan sarana penyalurannya pun akan memperoleh banyak hambatan karena pada saat itu hutan yang dibuka untuk pemukiman belum cukup banyak.

Dengan pertimbangan pertimbangan inilah kami percaya bahwa kitab-kitab kuno ini berasal dari abad ke 9 Masehi, bukan abad ke 17 Masehi.  Perkiraan abad ke 17 Masehi ini diambil dari salah satu kisah dugaan yang mengatakan bahwa Arief Muhammad adalah prajurit Mataram yang melarikan diri dari kejaran tentara kolonial VOC setelah menyerang Batavia tahun 1645, versi sejarah ini dapat dilihat di berbagai website yang memberitakan tentang sejarah Candi Cangkuang.
Atau mungkin kitab tersebut ditulis pada jaman Sunan Pangadegan dan Wirajaya, karena masa hidupnya berada diantara sekitar abab 16 s/d 17 Masehi.

Kitab ini berisi pelajaran fiqih tentang ilmu tauhid yang ditulis tangan dengan huruf Arab, dengan tebal 75 halaman



Foto-foto di atas adalah kitab kuno berisi pelajaran tauhid dengan menggunakan huruf dan bahasa Arab. Yang menarik adalah keterangan dalam kitab-kitab kuno ini menggunakan bahasa Jawi. Bahasa Jawi adalah bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini dengan tulisan berhuruf Arab dengan penambahan beberapa huruf tertentu. Bahasa Jawi terjadi karena adanya asimilasi antara bahasa Sansakerta dengan bahasa Arab.


Foto di atas adalah contoh kitab yang ditulis dengan bahasa dan huruf dan bahasa Arab yang diberi keterangan dengan bahasa Jawi atau Arab Pegon, yaitu bahasa Jawa (Sunda atau Jawa tengah) ataupun bahasa Melayu dengan tulisan Arab. Adanya temuan Arab Pegon atau Jawi Script ini mempunyai arti penting bahwa selama hidupnya Mbah Dalem Arief Muhammad memimpin satu wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim yang telah menetap di wilayah ini selama beberapa generasi sebelumnya. Penggunaan Arab pegon atau tulisan Arab berbahasa Sunda atau Jawa dan bukannya menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuno menandakan telah terjadinya asimilasi budaya yang terjalin selama ratusan tahun sebelumnya antara penduduk yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab dengan penduduk Nusantara.

Selain kitab kuno, Arief Muhammad juga meninggalkan tradisi bagi penduduk Kampung Pulo yaitu susunan rumah tradisional Sunda yang berjumlah 6 rumah, 3 baris rumah disebelah kanan, dan 3 baris rumah disebelah kiri pada penghujung dua baris rumah ini terdapat rumah yang juga berfungsi sebagai mushola, posisinya persis ditengah dari dua baris rumah ini.

Adanya aturan semacam ini karena pada masa Mbah Dalem Arief Muhammad hidup, ia memiliki 6 orang putri dan 1 orang putra. Ada dua versi kisah dari putra Arief Muhammad, versi pertama menyebutkan bahwa putranya meninggal pada usia balita. Versi kedua menyatakan bahwa karena sang putra adalah laki-laki, ia harus berguru ke berbagai daerah dan negara untuk kemudian meneruskan tugas ayahnya untuk syi’ar dan untuk menjadi pemimpin dan pendidik masyarakat. Sementara itu, yang menjaga kompleks pemakaman Cangkuang atau kuncen dari pemakaman ini adalah dari keturunan Arief Muhammad yang perempuan, baik itu suami atau suami putri-putri mereka.






Selama ratusan tahun tradisi ini tetap terjaga hingga saat ini, yang menjadi pewaris tetap rumah adat ini adalah keturunan Arief Muhammad yang wanita.  Keturunan Arief Muhammad yang pria harus meninggalkan rumah adat setelah menikah. Mereka harus meninggalkan rumah paling lambat 2 minggu setelah menikah dan membangun rumah bagi keluarga barunya. Walaupun banyak di antara mereka yang meninggalkan kampung Pulo namun tradisi ziarah dan membersihkan makam tiap hari Rabu tetap dilakukan, apalagi bagi warga yang masih tinggal di kampung Pulo. Tradisi yang telah berusia ratusan tahun inilah yang menyebabkan rumah adat Kampung Pulo masih terjaga hingga saat ini.[4]

Situs-situs pemakaman kuno yang dirusak dengan dalih pemugaran di Nusantara jumlahnya sangat banyak, baik yang dilakukan pada masa kolonial ataupun pasca kemerdekaan. Pemugaran yang telah merusak situs-situs pemakaman bersejarah di Nusantara pasca kemerdekaan banyak dilakukan setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa. Situs pemakaman kuno yang pada umumnya berasal dari abad ke-8 dan generasi sebelum dan setelahnya ini banyak mengalami perusakan akibat penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaannya dengan berbagai cara. Tujuan yang sama pun dilakukan oleh pemerintah kolonial. Pengaburan sejarah, terutama sejarah Islam yang dilakukan pemerintah kolonial ini hasilnya dapat kita rasakan hingga saat ini. Misalnya, dalam bidang sosial budaya umat Islam dibuat malu dengan adanya kisah-kisah yang menyatakan sebagai tokoh Islam namun tidak mencerminkan ajaran Islam. Selain itu, muncul kesimpangsiuran mengenai agama yang dianut oleh leluhur Nusantara. Akibatnya penduduk negeri ini mudah sekali diadu domba untuk masalah-masalah sepele yang tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan penduduk negeri ini. Ketika rakyat disibukkan oleh masalah-masalah sepele itu, kekayaan alam Nusantara yang melimpah ruah diambil oleh perusahaan-perusahaan asing dengan keuntungan hanya bergulir bagi golongan-golongan tertentu.


Kesimpulan
Situs Cangkuang adalah salah satu warisan sejarah Islam Nusantara yang sangat penting, yang merekam sejarah Islam di Nusantara melalui warisan silsilah, tradisi, kitab kuno, dan pemakaman. Namun sayangya situs sepenting Cangkuang mengalami kerusakan dengan alasan pemugaran. Pembangunan Candi Cangkuang hanya berdasarkan perkiraan karena temuan arca cacat yang sama sekali tidak dapat mewakili arca gambaran dewa atau dewi yang diakui dalam kitab Hindu. Pembangunan Candi pun tidak mengikuti kaidah yang ada, karena membangun candi tanpa ada sisa dari bangunan sebelumnya hanya mengikuti pola Candi yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa ada pembanding dan melihat lingkungan sekitar yang faktanya adalah pemakaman muslim kuno.

Kami temukan 3 poin penting selama penelusuran sederhana kami mengenai situs Cangkuang dan kami yakin dengan penelitian lebih lanjut tentang siapa dan apa tokoh-tokoh yang dimakamkan di pemakaman kuno ini akan memberikan poin-poin penting lain yang akan membuka tabir kejanggalan sejarah Islam Nusantara. Ketiga poin penting hasil penelusuran kami tersebut antara lain:

Adanya pemakaman muslim yang sangat luas menunjukkan di wilayah Cangkuang dan sekitarnya pada masa lalu telah ada pemukiman yang mayoritas adalah muslim.

Berdasarkan penelusuran silsilah Mbah Dalem Arief Muhammad, pemukiman ini telah ada atau dibuka setidaknya pada masa Mbah Dalem Arief Muhammad hidup, sekitar tahun 800-an Masehi
Dari kitab bertuliskan bahasa Arab dan penjelasannya dengan bahasa Sunda dan Melayu yang ditulis dengan huruf Arab (Arab Pegon atau Jawi Script) dapat diketahui bahwa sejak 1200 tahun yang lalu telah terjadi asimilasi atau perpaduan budaya antara kaum pendatang dari Arab dan sekitarnya dengan penduduk wilayah Cangkuang yang besar kemungkinan wilayahnya mencakup seluruh kecamatan Cangkuang saat ini.

Salam Santun

Catatan kaki :
[1] Imam Husein adalah cucunda Nabi Muhammad saw putra dari siti Fatimah az Zahra yang syahid dalam pertempuran tidak seimbang melawan tentara Yazid putra Muawiyyah di padang Karbala pada 681 M. peristiwa paling biadab dalam sejarah umat manusia ini berawal sejak syahidnya Imam Ali ketika menjabat sebagai khalifah ke-4, dan terpilihnya Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib oleh suara mayoritas muslim pada saat itu sebagai khalifah ke-5, Muawiyyah yang sejak awal menginginkan jabatan khalifah menolak pilihan rakyat ini dan memilih untuk memerangi Imam Hasan, demi perdamaian kaum muslim Imam Hasan pada saat itu mengalah dan mundur dari jabatannya dengan syarat yang disaksikan oleh kaum muslim saat itu bahwa setelah Muawiyyah wafat penggantinya adalah Imam Hussein, Muawiyyah menyetujui persyaratan ini pada awalnya hingga ia kemudian mengangkat dirinya menjadi raja dan menunjuk Yazid sebagai penggantinya. Demi menyelamatkan Islam dari pemimpin seperti Yazid, Imam Husein menolak untuk berbaiat, hingga terjadilah peristiwa pembantaian keluarga nabi di Karbala atas perintah Yazid bin Muawiyyah.
Singkat kisah, pasca syahidnya Imam Husein kaum musllim pun banyak yang tersadar hingga terjadi pemberontakan di berbagai wilayah kekuasaan Yazid, dari mulai peristiwa inilah semua pecinta keluarga nabi dikatakan Rafidhah atau pemberontak, banyak pula diantara keturunan nabi (dzuriyyah nabi) dan para pengikutnya yang akhirnya hijrah kenegara lain karena selalu diburu oleh para penguasa pada zamannya. Indonesia dan negeri-negeri di Asia adalah tempat hijrahnya kaum Muhajirin pasca peristiwa karbala ini. Pasca peristiwa Karbala ini (tahun 700-an Masehi) adalah gelombang hijrah muslimin terbesar dalam sejarah Islam, gelombang hijrah ini kemudian di susul gelombang-gelombang hijrah berikutnya yang berasal dari wilayah-wilayah para dinasti yang terus melakukan ekspansi dengan mengatas namakan Islam, dan besar kemungkinan Mbah Dalem Arief Muhammad ini adalah keturunan dari muhajirin gelombang pertama yang hijrah ke Nusantara.
[2] Ibunda Imam Ali ar Ridho berasal dari Maghrib, Maghrib adalah sebutan lain dari Maroko, orang yang bersal dari Maghrib disebut Maghribi, salah satu gelar yang di sandang oleh Imam Ali ar Ridho adalah Maulana Maghribi
[3] Selain batu bata, batu andesit atau batu candi seringkali juga digunakan untuk membangun bangunan makam kuno, terutama sebelum dan pada masa awal Islam tersebar di Nusantara (sekitar abad ke-7 dan 8). Berdasarkan penelitian kami mengenai “candi sebagai bangunan makam”, bahan dasar bangunan makam yang ada di Indonesia tergantung pada jenis bebatuan dan tanah tempat lokasi bangunan makam berada. Pada umumnya bangunan makam ini terbuat dari batu bata dan batu andesit, dengan ciri bangunan yang serupa dengan candi, hanya saja tanpa arca, dan masih dikenali hingga saat ini sebagai bangunan makam. Salah satu contoh bangunan makam yang terkenal adalah pemakaman kuno di Sendang Dhuwur, yang merupakan makam dari Sunan Sendang Dhuwur, kompleks pemakaman kuno Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Prapen, dsb.
[4] Sumber: penduduk sekitar Kampung Pulo, antara lain Pak Roshidin dan istrinya, yang memiliki silsilah yang bersambung hingga ke Mbah Dalem Arief Muhammad.

Tidak ada komentar