Asal-Mula Penghuni Pulau Jawa Menurut Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1

Ketahuilah bahwa penyusun kitab ini, banyaknya dua belas orang, di antaranya tujuh orang menteri di kerajaan Cirebon, seorang mahakawi dari Banten, seorang mahakawi dari Sunda, seorang mahakawi dari Arab yang selalu berkeliling ke segala negara, dan seorang lagi. Semuanya itu dipimpin oleh kami. Karenanya pada hari ini kami bersama semua menteri di kerajaan dan sang mahakawi yang semuanya dua belas orang, membuat kisah kerajaan-kerajaan di bumi Pulau Jawa, dan Pulau Emas (Sumatra), sebagai karya besar saat ini. Dari semuanya itu, kemudian mempelajari semua yang telah terjadi sampai sekarang, asal mula kerajaan-kerajaan dengan rajanya, kesejahteraan penduduknya, demikian pula tugas kerajaan, adat-istiadat, dan lainnya lagi. Inilah kitab yang mulai kami kerjakan pada tahun 10 - 1604 Saka (1682 Masehi) tanggal sebelas paru gelap bulan Phalguna, ditulis di keraton Cirebon oleh kami, Pangeran 15 Wangsakerta, atau Panembahan Carbon Tohpati dengan nama gelar Abdul Kamil Mohammad Nasarudin. Demikianlah asal mula ceritanya.


Teks naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 memulai uraiannya dengan keadaan di Pulau Jawa sejak sudah adanya pemukiman manusia. Dikemukakan pula tentang kesuburan tanah dan kemakmuran di Pulau Jawa, disusul uraian mengenai kedatangan orang-orang dari luar Nusantara yang kemudian menyebar dan menetap di Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara. Dengan rinci bagan awal teks naskah ini menguraikan lima jaman di Pulau Jawa.

1. Jaman Purba yang pertama, disebut Jaman Satwapurusa. Jaman ini dihuni oleh manusia yang berjalan seperti kera. Mereka berdiam di atas pohon, belum berpakaian dan belum berperasaan seperti manusia sekarang. Kulit mereka berwarna hitam dan berbulu. Mereka hidup antara 1.000.000 – 500.000 tahun sebelum permulaan tarikh Saka. Mahluk ini punah tanpa sisa. Di wilayah lain di Pulau Jawa hidup pula sejenis satwapurusa yang lain, tetapi tingkah lakunya seperti manusia. Kulitnya berwarna hitam kemerah-merahan, tabiatnya baik, tetapi selalu membawa senjata yang terbuat dari batu dan tulang. Mereka ini lebih cerdas daripada satwapurusa yang berjalan seperti kera. Mereka hidup antara 750.000 – 250.000 tahun sebelum tarikh Saka.

2. Kemudian jaman purba kedua yang disebut Jaman Yaksapurusa. Jaman ini dihuni oleh manusia seperti yaksa atau raksasa. Tabiatnya buas, tubuhnya tinggi dan besar, kulitnya berwarna hitam dan berbulu. Manusia yaksa ini hidup antara 500.000 – 300.000 tahun sebelum tarikh Saka. Sesudah manusia yaksa ini lenyap, muncul manusia yaksa jenis yang lain yang asal-usulnya tidak diketahui dengan jelas. Manusia yaksa jenis ini badannya lebih kecil, sedangkan kulitnya tidak hitam dan tidak banyak bulu. Manusia yaksa ini lebih cerdas dari manusia yaksa sebelumnya. Mereka hidup antara 300.000 – 50.000 tahun sebelum tarikh Saka.

3. Selanjutnya jaman purba ketiga yang disebut Jaman Wāmanapurusa. Manusia jaman ini berbadan kecil. Senjata mereka terbuat dari batu, buatannya belum sempurna. Mereka hidup di Pulau Jawa pada 50.000 – 25.000 tahun sebelum tarikh Saka. Oleh sang mahakawi jaman purba ini disebut pula jaman purba madya. 

4. Setelah itu muncul jaman purba keempat yang disebut Jaman purwapurusa
Jaman purwapurusa ini terbagi dua, yaitu : 
- Jaman purwapurusa pertama, antara 25.000 – 10.000 tahun sebelum tarikh Saka. Manusia jaman ini membuat berbagai perkakas dan senjata dari batu, kayu, tulang, dan lainnya. 
- Jaman purwa purusa kedua, antara 10.000 – 1.000 tahun sebelum tarikh Saka. Purwapurusa jaman ini membuat perkakas dan senjata yang sudah bagus buatannya. Setelah itu jaman purba kelima yang disebut jaman orang-orang pendatang baru dari daerah sebelah timur Bharatanagari. Oleh para mahakawi jaman ini disebut jaman purba terakhir. Jaman purba terakhir ini terbagi dalam
lima bagian, yaitu :
(1) yang pertama antara 10.000 – 5.000 tahun sebelum tarikh Saka; 
(2) yang kedua antara 5.000 – 3.000 tahunsebelum tarikh Saka;
(3) yang ketiga antara 3.000- 1.500 tahun sebelum tarikh Saka; 
(4) yang keempat antara 1.500 – 300 tahun sebelum tarkh Saka; 
(5) yang kelima antara 300 sampai awal tarikh Saka.

Selanjutnya diuraikan mengenai pendatang-pendatang baru dari Singhanagari, Salihwahananagari, dan Bhumi Ghaudi, dari Bharatawarsa (India). Mereka datang di Pulau Jawa pada awal tarikh Saka. Mereka datang dengan memakai perahu. Mula-mula tiba di Jawa Timur, kemudian ke Jawa Barat. Mereka dating dengan tujuan berdagang dan menjual jasa dengan penduduk setempat. Mereka membawa barang dagangan berupa pakaian, berbagai perhiasan, emas, perak, permata, obat-obatan, dan berbagai barang lainnya. Barang-barang yang dibelinya di sin adalah rempah-rempah, hasil bumi, dan lai-lain.

Di antara pendatang kemudian banyak yang bermukim di sini dan memperistri penduduk setempat, serta tidak kembali ke negeri asalnya. Mereka hidup akrab dan bersaudara. Para pendatang dari Bharatanagari ini juga mengajarkan agama mereka kepada penduduk setempat. Mereka memuja dewa trimurti di samping dewa-dewa lain. Penduduk setempat asalnya para pendatang juga, sejak dahulu mereka mengadakan pemujaan kepada nenek moyang. Tidak lama antaranya banyak pula penduduk yang memeluk agama baru, dan banyak pula para pendatang yang menikah dengan anak penghulu setempat. Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawadi bumi Bharatanagari.

Mereka datang menaiki beberapa perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa. Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lama-kelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat. Sang Dewawarman kemudian beristrikan anak penghulu penduduk wilayah desa itu. Sang penghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada menantunya.

Pada tahun 52 Saka (130 Masehi) Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja. Kerajaannya diberi nama Salakanagara, ibukotanya diberi nama Rajatapura. Ia bergelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarma Haji Raksagapurasagara, dan menjadi raja sampai dengan tahun 90 Saka (168 Masehi). 


URAIAN :
Ada pula menurut cerita lainnya, yang menguraikan tentang (kejadian) beberapa ratus ribu tahun yang lampau, (mengenai) penduduk di Pulau Jawa, bentuknya seperti raksasa yaitu besar dan tinggi sosoknya, badannya besar dan dahsyat tampaknya seperti binatang buas dan sangat menakutkan. Seperti kera raksasa disebut purwa purusa. Hidupnya berpencar-pencar, mereka suka membunuh sesamanya, oleh karena itu makanan mereka semua binatang dan segala tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak berpakaian, belum punya adat kebiasaan, tak ada perikemanusiaan, mereka tak berbelas-kasihan terhadap sesamanya, senang bergulat, menggigit (dan) berteriak-teriak jika ia menang bergulat. Oleh karena itu raksasa-raksasa (itu) besar-besar, demikianlah tumbuh-tumbuhan dan binatang semua di daerah-daerah yang ada di Pulau Jawa.

Mereka asalnya bukan orang Jawa. Mereka tidak mengenal berkeluarga. Tulang merupakan senjata ketika bergulat atau berperang tanding, mereka selalu berlawanan dengan sesamanya, karena memperebutkan makanan dan wanita. Inilah mahluk yang tak ada bedanya dengan kera raksasa berupa purusa yaksa yang banyak bulunya. Jika mereka sedang berperang tanding tingkah lakunya berteriak-teriak, dan siapa yang kuat, cekatan, dan berani, ialah yang menang. Bersamanya tak ada teman atau keluarga menuju kematian, setelah itu, bangkainya diiris-iris kemudian daging yang kalah menjadi makanannya, dan darahnya dijadikan minumannya diiringi teman-temannya, dan sanak keluarganya semua.

Adapun yaksâpurusa di bumi Pulau Jawa jumlahnya tidak banyak. Mereka memakan semua makanan seperti binatang hasil berburu. Tempat tinggal mereka tersembunyi di lereng-lereng gunung, tersebar mengikuti tepian sungai, di antara hutan. Makin lama banyak yang meninggal, sebabnya karena gempa bumi, kekeringan karena kemarau panjang, saling bunuh membunuh di antara mereka, karena penyakit berjangkit, dan hujan turun tak terkatakan lagi besarnya, binatang-binatang banyak yang mati karena tidak makan, semuanya tidak dapat tertolong, dengan demikian mereka semuanya mati tidak tersisa. Demikianlah akhirnya jaman yaksâpurusa di Pulau Jawa. Demikianlah kejadian di Pulau Jawa beberapa ratus ribu tahun yang lalu.

Sesudahnya jaman hârakalpa ialah jaman janmayaksa beberapa ratus ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. Kemudian beberapa ratus ribu sebelum tahun pertama tarikh Saka, ialah jaman janmawâmana. Adapun manusianya itu (berbadan) kecil hitam warna rupanya. Kemudian selang tiga ribu tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka, jaman dinasti pendatang pendatang pertama dari negara-negara daerah utara.

Selanjutnya jaman pendatang yang kedua selang seribu lima ratus tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka dari negara- negara sebelah utara. Kamudian dinasti pendatang yang ketiga, tujuh ratus tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka.

Kemudian dua ratus sampai lima puluh tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka jaman pendatang yang keempat, yaitu dari Negara-negara sebelah utara lagi antara lain adalah Syangkanagari, Yawananagari, Campanagari, Ghaudinagari, Saimwangnagari, Negeri Cina, Dharmanagari,

Singhanagari, dan yang terakhir Singhalanagari, Khalingga di bumi Bharatanagari sebelah selatan, waktunya dua ratus tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka, Pulau Jawa dijadikan tujuan pendatang baru. Di tempat tinggalnya (semula) mereka telah mendengar bahwa tanah Jawa, tanah yang subur, rempah-rempah ada di sini. Karena itulah mereka para pendatang baru sudah mengetahui beritanya, dan Pulau Jawa dijadikan sebagai tempat tinggal yang utama. Pendatang lama sudah menjadi penduduk pribumi di sini, pendatang baru menikah dengan gadis-gadis putri penduduk pendatang lama.

Selanjutnya (mereka) beranak cucu, buyut. Adapun yang menjadi sembahan penduduk pada waktu itu, banyak sembahannya. Karena semua sembahannya itu sekehendak mereka, denga mengucap mantra yaitu terutama memuja nenek moyang. Mereka memohon kepada nenek moyang dengan tujuan utamanya pemujaan bagi cikal bakal dan juga mantra sihir, lengkap dengan upacaranya dan pemujaan âsthâpana dengan segala sesajian. Tujuan mereka adalah agar cita-citanya tercapai.

Ada pula (yang ingin) dihindarkan dari perbuatan tercela. Ada pula keinginan untuk meningkatkan hasil kerja mereka, hasil pertaniannya, hasil jerih-payahnya, begitu pula (keinginan) untuk menang berperang dan menang dalam perang tanding. Ada pula yang mengerjakannya agar mendapat kebebasan dari kesengsaraan setelah mati. Ada juga lelaki yang (berharap) agar (memperoleh) wanita dan wanita supaya (memperoleh) lelaki. Ada yang menginginkan kekuatan dan kemenangan. Ada yang menginginkan kemenangan dalam menyerang musuhnya, dan membinasakannya. Ada yang mengharapkan panjang umurnya dan tidak ada bahaya yang datang. Ada yang mengharapkan kesuburan tanah garapannya serta banyak hasilnya, dan keinginan-keinginan mereka lainnya lagi.

Adapun yang dipuja oleh mereka yaitu ada pemujaan api, pemujaan gunung, pemujaan nenek moyang, pemujaan laut, pemujaan batu, pemujaan pepohonan besar, pemujaan kayu-kayuan, pemujaan darah, pemujaan sungai, pemujaan matahari, pemujaan bulan, pemujaan bintang.

Ada pemujaan nenek moyang yang bersemayam Di puncak gunung yang tinggi, karena di gunung itulah nenek moyang bagaikan penguasa gunung-gunung yang ada di seluruh dunia.

Ada pemujaan pohon beringin dan pemujaan pohon yang rimbun. Dalam kesusahan dan setiap peristiwa mengadakan upacara pemujaan nenek moyang, dan dengan menyucikan diri me mohon kesejahteraan hidupnya, dan dihindarkan dari (kutukan) arwah leluhur dan dihindarkan dari marabahaya, sehingga tidak ada aral-melintang.

Dalam perkawinan mereka serasi dan sempurna hidup jujur dan selamat. Mereka sangat takut jika melanggar adat istiadat, atau berbuat khianat terhadap sesamanya. Karena mereka semua mengharapkan sisa hidupnya, denga memperoleh keturunan yang baik yang berpegang teguh pada dharma. Ada pula beberapa keluarga yang mengembara di hutan belantara dengan membawa segala perlengkapan dan tinggal di hutan. Mulanya dengan harapan mencari makanan yang baik, kemudian menetap di situ, untuk berburu binatang, kemudian dari kulit binatang dibuat kan pakaian mereka. Sedangkan daging binatang dijadikan makananannya. Begitu pula, pakaian mereka dengan kulit kayu.

Ada pula pakaian mereka yang terbuat dari kulit binatang yang digambari sesuai keinginan mereka. Sedangkan batu dan tulang dijadikan perhiasan suami-istri, terutama yaitu istrinya, juga dari batu dan tulang dibuatlah berbagai perkakas. Lama-kelamaan pendatang baru makin banyak. Sehingga penduduk pribumi terdesak (dan) terlunta-lunta pergi ke hutan dan gunung. Dengan demikian orang-orang pendatang baru menyebabkan penderitaan besar (dan) senantiasa memberikan kesusahan yang terus menerus, lagi pula penduduk pribumi selalu dihinakan, sebagai (akibat) dari kedatangan orang-orang baru itu. Dengan demikian penduduk pribumi ada di bawah perintah mereka, lagi pula orang pribumi itu sangat penakut, walaupun sering melawan, (mereka) dapat ditangkap dibunuh.

Orang-orang pribumi selalu kalah karena bodoh, segalanya terbelakang, sedangkan orang-orang pendatang baru memiliki berbagai. ilmu pengetahuan seperti membuat senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, dari emas, perak, manik, kristal, kendaraan, kemudian membuat berbagai panah dari besi dan (mahir dalam) wedāstra dan dhanurweda, juga membuat berbagai obat-obatan, demikian pula membuat perahu sudah bagus, mereka menanam padi dijadikan bahan makanan seharihari, mereka juga telah memiliki pengetahuan tentang ilmu perbintangan, juga membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian dan perhiasan yang sangat indah, bahkan diberi berbagai gambar yang di- ukir pada pakaian tersebut, membuat wayang dari kulit yang diukir, mereka sudah mampu membuat rumah besar untuk suami istri, dan keluarga laki-laki dan perempuan, membuat api dengan pemantik batu (dan) besi, kemudian

membuat tetabuhan untuk menari, kemudian membuat peraturan yang berlaku di dukuh dan perturan tentang alat tukar, mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang, makanan yang baik, pengetahuan tentang hari, segala tumbuh-tumbuhan, musim hujan, musim kemarau, pengetahuan tentang lautan, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, pengetahuan tentang tutur kata. Kemudian pengerahuan tentang rempah-rempah, pengetahuan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.

Bahkan mereka para pendatang baru yang belakangan dari Yawananagari, Syangkanagari, Campanagari, Saimwangdan Bharatanagari, sebelah selatan, sangatlah pandai dalam berbagai pengetahuan sehingga mereka disebut orang pandai oleh pribumi. Adapun pribumi di situ ialah orang-orang pendatang yang sudah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang, pakaian mereka dari kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia purba pertengahan oleh mahakawi.

Menurut sang mahakawi dalam tulisan mereka, dikatakan bahwa orang-orang pendatang dari Yawananagari, (dan) dari Syangkanagari, mereka termasuk manusia purba pertengahan, selangseribu enam ratus tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka. Jadi telah berselang tiga ribu dua ratus tahun yang telah lalu dari waktu sekarang.

Ada pula pendatang baru yang sampai di Pulau Jawa, antara tiga ratus tahun dan seratus tahun sebelum permulaan tahun pertama tarikh Saka. Mereka telah mahir dalam ilmu pengetahuan, sudah mengetahui tentang hasil dari jasa dan perdagangan segala perlengkapan. Para pendatang ini menyebar di pulau-pulau di bumi Nusantara.

Demikianlah menurut sang maha kawi. Pada waktu itu disebut Jaman Besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan dan senjata perang, panah dan lainnya lagi dari besi, emas, perak. Mereka lebih pandai dalam berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu kemudian mereka menyerbu desa-desa yang didatanginya se-Pulau Jawa dan pulau-pulau di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barangsiapa tidak tunduk segera dibinasakan. Jika ingin menyerang dan memerang, segera dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka tujuan mereka tidak terlaksana dan menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, menjadi hamba dari orang yang berkuasa. Begitu pula antara seratus tahun sebelum (tahun) pertama tarikh Saka sampai tahun pertama tarikh Saka, orang-orang pendatang dari beberapa negara yang ada di sebelah timur dari Bharatanagari.

Oleh karena itu (manusia) jaman besi disebut juga manusia pandai dari jaman purba. Begitulah menurut beberapa kitab dan uraian para mahakawi, juga beberapa berita yang dapat dipungut. Demikianlah pendeknya memengenai manusia jaman purba di bumi Pulau Jawa. Ada lima jaman purba di antaranya masing-masing sebagai berikut. Jaman purba pertama, disebut pula satwapurusa dari jaman purba, ialah manusia yang berjalan seperti binatang yaitu seperti kera. Mereka tinggal di atas pohon dan di gunung, mereka senang berperang tanding, dan membunuh tanpa senjata, tidak berpakaian apa pun dan tidak berbaju. Mereka tidak memiliki perasaan seperti manusia sekarang, mereka sangat senang berayun-ayun di atas pepohonan.

Mereka hidup antara kira-kira satu juta sampai lima ratus ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. Kemudian semua mahluk ini punah tanpa sisa, punah dari bumi. Kulit mereka berwarna hitam dan berbulu, di wilayah lagi yang ada di bumi Pulau Jawa, antara tujuh ratus lima puluh ribu sampai dua ratus lima puluh ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka, di sana hidup satwapurusa tetapi tingkah lakunya seperti manusia. Kulitnya berwarna hitam kemerah-merahan, tabiatnya baik, tidak suka marah, setiap hari selalu membawa senjata (dari) tulang dan batu. Mereka lebih cerdas daripada Satwa Purusa yang berjalan seperti hewan.

Jika kedua pihak bertemu, kemudian berperang tanding, tetapi mereka menang pada waktu berperang. Dengan demikian satwapurusa ini mahir dalam berperang dan memiliki pengetahuan berperang. Bulunya banyak. Mereka tidak suka memakan daging satwapurusa sesamanya, sesudah itu kemudian jaman purba kedua yang disebut yaksapurusa dari jaman purba, ialah manusia seperti yaksa atau raksasa.

Mereka suka memakan daging leher sesamanya dan berbagai binatang maka tabiatnya tidak berbelas kasihan, tabiatnya seperti binatang buas, tubuhnya tinggi, kulitnya berwarna hitam dan berbulu, suka meminum darah manusia dan binatang, semua mahluk ini kemudian lenyap, antara lima ratus ribu tahun sampai tiga ratus ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka.

Sesudah itu manusia yaksa lenyap, kemudian hidup sejenis manusia yaksa dari jaman purba kedua. Mahluk raksasa ini belum dapat diketahui asal-usulnya, rupanya hamper sama dengan manusia yaksa yang sudah punah tetapi lebih kecil dan banyak perbedaannya, sedangkan kulitnya tidak hitam dan tidak berbulu banyak mereka sepeti keturunan dari manusia yaksa. Raksasa kecil ini berbudi baik dan lebih cerdas dari manusia yaksa sebelumnya. Tingkah-lakunya hampir manusia separuh binatang.

Mereka hidup pada tiga ratus ribu tahun sampai lima puluh ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. Lama kelamaan semua mahluk raksasa ini musnah dari bumi.

Jaman purba ketiga atau disebut wāmanapurusa di bumi Pulau Jawa. Setelah musnahnya manusia separuh yaksa, selanjutnya muncullah yang disebut wāmanapurusa. Karena kecilnya manusia tersebut, kemudian mereka disebut wāmanapurusa. Senjata mereka dan berbagai perlengkapannya, terbuat dari batu, tetapi pengerjaannya tidak bagus walaupun sama-sama batu. Adapun wāmanapurusa dari jaman purba hidup di bumi Pulau Jawa, pada lima puluh ribu sampai dua puluh lima ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. Oleh karena itu oleh sang mahakawi disebut jaman purba madya.

Setelah itu jaman purba yang keempat, yang disebut juga jaman purwapurusa yang pertama, kira-kira mulai pada dua puluh lima ribu sampai sepuluh ribu tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka.

Mereka membuat berbagai perkakas dan dari batu,kayu, tulang, bambu, dan lainnya lagi, tidak bagus, tetapi (pada) jaman purwapurusa yang kedua, dari sepuluh ribu sampai seribu selum tahun pertama tarikh Saka, mereka membuat berbagai perkakas dan senjata, pengerjaannya sudah bagus, setelah itu laman purba yang kelima, disebut juga, jaman orang-orang pendatang baru dari negara-negara sebelah timur Bharatanagari. Oleh para mahakawi disebut jaman purba terakhir.  Antara masing-masing tahun kedatangan mereka di bumi Pulau Jawa pada sepuluh ribu sampai lima ribu tahun, sebelum tahun pertama tarikh Saka. Yang ketiga, pada tiga ribu sampai seribu lima ratus tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. 

Adapun pendatang yang keempat, pada seribu lima ratus sampai tiga ratus tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka. Yang kelima pada tiga ratus tahun sebelum tahun pertama tarikh Saka sampai tahun pertama tarikh Saka. Demikianlah singkatnya tentang kelima jaman purba. Selanjutnya menceritakan tentang pendatang-pendatang dari negara-negara sebelah utara. Inilah uraiannya.

Pada tahun pertama tarikh Saka, datanglah orang-orang dari barat yaitu dari Singhanagari, Salihwahananagari, Bhumi Ghaudi di bumi Bharatawarsa. Mereka datang di Pulau Jawa menaiki perahu, mereka mula-mula tiba di sini ialah di Jawa Timur kemudian di Jawa Barat, alasannya karena (ingin) menjual jasa dan berdagang dengan penduduk di sini. Di antaranya mereka membawa barang-barang pakaian, berbagai perhiasan untuk berhias yaitu permata, emas, perak, manik(-manik), kristal, obat-obatan, makanan, berbagai barang untuk dipakai suami istri dan rumah tangga dan lain-lainnya.

Adapun barang-barang yang dibelinya di sini ialah rempah-rempah berbagai barang hasil bumi petani, seperti sayuran, padi dan lainnya lagi. Di antara mereka kemudian banyak yang bermukim di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga Pulau Bali. Begitu pula ada yang dating di Sumatra, bumi Kalimantan, dan lainnya lagi di pulau-pulau di bumi Nusāntara atau Dwipāntara namanya yang lain. Terutama di sini penduduk Pulau Jawa, memiliki berbagai pengetahuan, sopan-santun, tak bertentangan dengan orang pendatang baru, dan mereka dianggap tamu yang dicintai oleh orang sesamanya, dan mendapatkan sambutan dengan sepantasnya, akrab dalam persahabatan. Adapun kehidupan penduduknya sejahtera dan tenteram.

Bagi mereka pulau-pulau di bumi Dwipāntara, terutama Pulau Jawa seolah-olah surge yang ada di muka bumi. Demikianlah mereka siang dan malam merasakan kebahagiaan hidup mereka. Oleh karena itu selama mereka tinggal di sini, banyaklah mereka (yang) menikah dengan gadis di sini, beranak-cucu kemudian. Karena mereka telah mengetahui, bahwa Pulau Jawa ini atau Dwipāntara adalah subur tanahnya, subur tanamannya. Demikianlah beberapa tahun kemudian datanglah mereka dari wilayah Langkasuka, wilayah Saimwang dan Hujung mendini ke Jawa Barat dan Sumatra dengan memakai perahu. Selanjutnya mereka menetap di situ, karena mereka kawin dengan wanita dari penduduk (di situ). Seterusnya mereka tidak kembali lagi ke negara asal mereka.

Pada waktu itulah mereka masing-masing membuat rumah besar, untuk digunakan sekeluarga mereka suami istri dengan kerabatnya. Seluruh tiang rumahnya dari (betung, sedangkan atap rumah dibuatnya dari) dedaunan dan rumput. Serta dibuatlah beberapa kaki pada rumah, yaitu rumah panggung namanya.

Di situ di salah satu rumah mereka (kehidupan) akrab dan bersaudara, akrab dalam kekeluargaan mereka. Di bawah rumah dipergunakan untuk kandang berbagai binatang milik mereka. Mereka berkumpul bekerjasama jika membuat rumah, menebas hutan, berkumpullah tukang (kayu), pandai besi. Adapun para pendatang dari Bhāratanagari, juga mengajarkan agama mereka yang dibawa, disebar kan kepada penduduk desa-desa.

Mereka mengajarkan agama mereka, yang dipujanya Sanghyang, terutama ialah Iswaradewa di antaranya: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, namanya yang terkenal ialah Trimurtiswara.

Masih banyak pula dewa lain yang dipuja oleh mereka selain itu. Agar tidak bertentangan dalam mengajarkan agama mereka, oleh karena itu mereka mencari akal. Karena penduduk di situ orang- orang pendatang juga, sejak dahulu kala selalu (mengadakan) pemujaan nenek moyang, seperti pemujaan api, pemujaan bulan, pemujaan matahari, dan lainnya lagi, pendeknya semua pemujaan nenek moyang. Orang pendatang baru dari Bhāratanagari sebelah selatan itu, sudah pandai dalam semua Kitab Sastra, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya di sana. Oleh karena itu mereka mencari akal, agar pemujaan mereka tidak mendapat rintangan dari mereka. Orang pendatang dari Bhāratanagari kemudian mengubah nama pemujaan mereka dahulu, disesuaikan dengan kebiasaan dari penduduk di situ. Karena dengan demikian tidak sulit mereka mempelajarinya.

Itulah sebabnya pemujaan mereka yakni pemujaan api itu sama dengan pemujaan Dewa Agni atau Sanghyang Agni nama lainnya lagi, pemujaan matahari sama dengan pemujaan Dewa Aditya, Sanghyang Surya namanya lagi,dan lainnya lagi. Sedang kan pemujaan nenek moyang yang besar kekuasaannya ialah sama dengan (pemujaan) Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang BraHma, (yang) disebut pemujaan Tiga Dewa atau Trimurtiswara.

Karena itu tidak lama antaranya banyaklah penduduk memeluk agama baru. Dengan demikian banyak pula para pendatang yang menikah dengan anak-anak panghulu penduduk desa kemudian kelak anak mereka menggantikan kedudukan kakek mereka.

Demikianlah (keadaan) desa-desa yang ada di Pulau Jawa, lama-kelamaan pendatang baru menjadi penguasa memerintah desa, orang-orang penduduknya dan harta bendanya juga. Dengan demikian membuat penduduk menjadi tidak berdaya, oleh karena sang panghulu desa sudah dinobatkan menjadi orang berkuasa.

Mengenai anak orang pendatang baru, yaitu cucu sang panghulu, ialah yang menjadikan semua tanah menjadi miliknya atau yang mengabdi kepada cucu sang panghulu. Meskipun demikian kemakmuran di desa sangat baik, dan hasil buminya banyak.

Bukankah Pulah Jawa itu tanah yang subur. Begitu pula pulau-pulau Dwipāntara, karena itu pada (tahun) delapan puluh tarikh Saka (158 Masehi) sampai dengan tiga ratus dua puluh tarikh Saka (398 Masehi), sangatlah banyak perahu dari beberapa negara datang di Pulau Jawa, di antaranya dari negara–negara Bharatawarsa, Negeri Cina, Ghaudi dan Campanagari, banyak di antara mereka yang menetap di sini.

Sang pendatang baru ada di antaranya yang membawa anak-istri dan keluarganya, kemudian menetap di Pulau jawa, dan pulau-pulau di bumi Nusāntara sebagai pribumi di sini. Ada yang menaiki perahu besar, ada ada yang dengan membawa Sang Rsi Waisnawa dan yang lainnya lagi. Sesudah tiba di sini kemudian me ngajarkan agama mereka kepada penduduk desa-desa.

Kemudian mereka menetap di sini. Ada juga Sang Rsi dari agama Siwa pergi ke Jawa timur (dan) Jawa Tengah mengajarkan agama mereka kepada penghulu masyarakat di sana. Menurut Kitab Pustaka Nusāntara, kelak pada awal (tahun) pertama tarikh Saka di sini sudah banyak orang Bhratanagari datang di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di bumi Nusāntara.

Karena Dwipāntara terkenal namanya sebagai tanah yang subur. Di antara meraka yang sampai di Pulau Jawa, ada yang mengusahakan jasa dan berdagang, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama, ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakannya, seperti yang terjadi di negerinya dan yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusāntara. Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidup bersama keluaraganya. Terutama para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana, dan wangsa Pallawa di bumi Bharata Nagari.

Dua wangsa inilah, Yang sangat banyak dating di sini, dengan menaiki beberapa puluh perahu besar kecil yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa. Tiba di Jawa Barat pertama kali dengan tujuan mereka yaitu mengusahakan jasa dan berdagang. Mereka senantiasa datang di sini, dan membawa rempah-rempah ke negaranya.

Di sini Sang dewawarman sudah bersahabat denga penduduk di pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan Pulau Sumatra bagian selatan, Terutama Sang Dewawarnan sebagi duta dari sang Maharaja dari wangsa Pallawa. Sang Dewawarman bersahabat dengan Sang panghulu dari penduduk Jawa Barat, kemudian menetap di sini.

Lama-kelamaan Sang Dewawarman menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat, tetapi ia hanya dinobatkan oleh para pengikutnya. Sebabnya agar tujuannya yaitu menyelenggarakan jasa dan berdagang barang-barang hasil dari bumi Jawa Barat tidak terhenti, karena itu kedatangannya dengan ke kayaan dan perhiasan, pakaian dan sebagainya.

Demikian juga yang terutama Sang Dewawarman datang di sini dengan membawa banyak pengikut dan harta benda serta berbagai senjata yang disiapkan. Kemudian Sang Dewawarman kawin dengan putri dari Sang Penghulu masyarakat wilayah desa di situ, istrinya kemudian diberi nama gelar Dewi Dhwānirahayu namanya.

Karena itu Sang Panghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada sang menantu. Dengan demikian, pada tahun 52 tarikh Saka (130 Masehi).

Tidak ada komentar