Bujangga Manik, Perjalanan Seorang Peziarah




Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuno berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang Prabu resi dari Kerajaan Sunda yang lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun sebenarnya ia seorang kesatria dari keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.

Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke timur Jawa. 

Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di Bali untuk beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya. Dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka, dan Demak membawa pada perkiraan bahwa naskah ini ditulis akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an. Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibuat. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang. 

(Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Perjalanan_Bujangga_Manik)


Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodleian di Oxford sejak tahun 1627.

Yang menjadi tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang, walaupun merupakan seorang prabu pada keraton Pakuan Pajajaran (ibu kota kerajaan, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota Bogor), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.

Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah singgah di Bali untuk beberapa lama serta ke Pulau Sumatera. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya.

Jelas sekali, dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari jaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.

Penyebutan Majapahit, Malaka dan Demak Demak memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa naskah ini ditulis dalam akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau Jawa pada sekitar abad ke-15. Lebih dari 450 nama tempat, gunung dan sungai disebutkan dalam naskah. Sebagian dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan sampai sekarang.


Ringkasan Naskah

Nama penulis naskah ini, Prabu Jaya Pakuan, muncul pada baris ke-14. Nama alias dari penulis, yaitu Bujangga Manik, dapat ditemukan mulai baris ke-456. Dalam baris 15-20 diceritakan bahwa dia akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala (“saceundung kaen” dalam baris 36).

Kemudian dia memulai perjalanan pertamanya yang dia lukiskan secara terperinci. Waktu Bujangga Manik mendaki daerah Puncak, dia menghabiskan waktu, seperti seorang pelancong jaman modern, dia duduk, mengpasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede yang, pada baris ke 59 sampai 64, dia sebut sebagai titik tertinggi dari kota Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).

Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang lebih sering disebut Kali Brebes) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya (baris 89) dan memutuskan untuk pulang.

Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan abad ke-15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.

Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta (baris 96-120): bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal berasal dari berbagai tempat atau bangsa.

Perjalanan dari Pamalang ke Kalapa, pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. (baris 121), yang memberi kesan bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat di antara Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik membuat nama alias lainnya yaitu Ameng Layaran.

Dari Kalapa, Bujangga Manik melewati Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bagian selatan kota Bogor sekarang (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik memasuki Pakancilan (baris 145), terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana.

Dia melihat ibunya sedang menenun, teknik menenunnya dijelaskan dalam baris (160-164). Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa lapis tirai, dan naik naik ke tempat tidurnya.

Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan untuk mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia kemudian turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.

Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi Ci Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seoang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik (baris 267-273).

Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Uraian mengenai cara menenunnya diterangkan dalam baris (279-282). Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya ada kotak impor dari Cina (284-290), melihat Jompong Larang yang terburu-buru, menaiki tangga dan kemudian duduk di sampingnya.

Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri (321), atau siapapun itu.

Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam daun lontar serta bisa berbahasa Jawa (baris 327). Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia kemudian menghentikan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: “seluruh wewangian tersebut berasal dari luar negeri”, juga baju dan sebuah keris yang indah.

Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya untuk menerima hadiah dari putri Ajung Larang kemudian menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan untuk meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang, “Saya akan menyerahkan diri saya.

Saya akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, meminta diterima sebagai kekasih (530-534). Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan menyebutnya sebagai kata-kata terlarang (carek larangan) dan bertekad untuk menolak hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga (baris 548-650). Dia meminta ibunya bersama Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur putri.

Dia lebih suka untuk hidup sendiri dan menjaga ajaran yang dia terima selama perjalanannya ke Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu (yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan). Untuk itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya. (baris 649-650).

Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari tempat nanti dia dikuburkan, untuk mencari “laut untuk hanyut, suatu tempat untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya” (663-666). Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.

Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang sebagian masih digunakan sampai sekarang


Terjemahan Naskah Bujangga Manik

Saur sang mahapandita : “Kumaha girita ini? Mana sinarieun teuing teka ceudeum ceukreum teuing? Mo ha(n)teu nu kabé(ng)kéngan.”
(Orang bijak berkata: “Keributan apa ini? Kenapa sangat tidak terduga kegelapan dan kehilangan ini? Tidak diragukan lagi banyak orang yang sedih.”)

Saur sang mahapandita: “Di mana éta geusanna? Eu(n)deur nu ceurik sadalem, séok nu ceurik sajero, midangdam sakadatuan.”
(Orang bijak berkata: “Di mana terjadinya peristiwa ini? Seluruh istana menangis, seluruh pengadilan meraung dengan keras, seluruh keraton meratap.)

Mo lain di Pakancilan, tohaan eukeur nu ma(ng)kat, P(e)rebu Jaya Pakuan Sauma karah sakini:
(Tidak diragukan peristiwa itu terjadi di Pakancilan, seorang pangeran akan pergi, Pangeran Jaya Pakuan. Lalu ia berkata:)

“A(m)buing tatanghi ti(ng)gal, tarik-tarik dibuhaya, pawekas pajeueung beungeut, kita a(m)bu deung awaking, héngan sapoé ayeuna.
(“Bunda, tetaplah terjaga ketika berada di belakang, walau Bunda menarikku sekuat buaya, pertemuan ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka, kau, Bunda, dan diriku, masih ada satu hari lagi, hari ini.)

Aing dék leu(m)pang ka wétan. Saa(ng)geus nyaur sakitu, i(n)dit birit su(n)dah diri, lugay sila su(n)dah leu(m)pang. Sadiri ti salu panti, saturun ti tungtung surung,
(Aku akan pergi ke timur. Setelah berkata demikian ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya dan berjalan. Setelah ia meninggalkan pintu masuk aula, dan dari mimbar yang paling ujung.)

Ulang panapak ka lemah, kalangkang ngabiantara, reujeung deung dayeuhanana, Mukakeun panto kowari. /Ir/
(Ia menapakkan kakinya di tanah, bayangan dirinya muncul di luar, bersama dengan dirinya, dan ia membuka pintu gerbang.)

Sau(n)dur aing ti U(m)bul, sadiri ti Pakancilan, sadatang ka Wi(n)du Cinta, cu(n)duk aing ka Mangu(n)tur, ngalalar ka Pancawara, ngahusir ka Lebuh Ageung, na leu(m)pang saceu(n)dung kaen.
(Setelah melewati Umbul, setelah pergi dari Pakancilan, dan setelah sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, berjalan dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai hiasan kepala.)

Séok na janma nu carek: Tohaan nu dék ka mana? Mana sinarieun teuing teka leu(m)pang sosorangan?’
(Banyak rakyat yang berkata: “Ke manakah engkau akan pergi, Tuan? Kenapa engkau tiba-tiba bepergian sendiri.”)

Ditanya ha(n)teu dek nyaur. Nepi ka Pakeun Caringin, ku ngaing teka kaliwat.
(Walau mereka bertanya, aku tidak ingin berkata apa-apa. Pergi ke Pakuen Caringin, aku melewatinya dengan segera.)

Ngalalar ka Na(ng?)ka Anak, datang ka Tajur Mandiri.
(Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri.)

Sacu(n)duk ka Suka Beureus, datang ka Tajur Nyanghalang, nyanglandeuh aing di Engkih, [ms. da] meu(n)tasing di Cihaliwung.
(Setelah aku tiba di Suka Beureus, aku pergi ke Tajur Nyanghalang, turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung.)

Sana(n)jak aing ka Ba(ng)gis, ku ngaing geus kaleu(m)pangan, nepi ka Talaga Hening, ngahusir aing ka Peusing.
(Setelah naik menuju ke Banggis, aku melewatinya, dan sampai di Telaga Hening, aku meneruskan perjalanan ke Peusing.)

Na leu(m)pang megat morentang, meu(n)tas aing di Cili(ng)ga.
(Berjalan lurus ke depan, Aku menyeberangi Sungai Cilingga.)

Sane(pi) ka Putih Birit, panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding.
(Setelah tiba di Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, yang aku lakukan sedikit demi sedikit.)

Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahididan a / wak. / 1v /
(Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri.)

Teher sia ne(n)jo gunung: itu ta na bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.
(Di sana ia melihat pegunungan: Terdapat Bukit Ageung, tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.)

Sadiri aing ti inya, datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi, meu(n)tas aing di Citarum.
(Setelah pergi dari sana, aku pergi ke daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi Sungai Citarum.)

Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, meu(n)tas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meu(n)tas aing di Cimanuk, ngalalar ka Pada Beunghar, meu(n)tas di Cijeruk-manis, ngalalar aing ka Conam, katukang bukit C(e)remay.
(Setelah berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas, menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay.)

Sacu(n)duk ka Luhur Agung, meu(n)tasing di Cisinggarung.
(Setelah aku tiba di Luhur Agung, menyeberangi Sungai Cisinggarung.)

Sadatang ka tungtung Su(n)da, meu(n)tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa.
(Setelah mencapai ujung dari Sunda, menyeberangi Sungai Cipamali, tibalah di daerah Jawa.)

Ku ngaing geus kaideran, lurah-lirih Majapahit, palataran alas Demak. Sanepi ka Jati Sari, datang aing ka Pamalang.
(Aku berkelana melewati wilayah-wilayah berbeda di Majapahit, dan daerah dataran Demak. Setiba di Jati Sari, aku datang ke Pamalang.)

Di inya aing teu heubeul. Katineung na tuang a(m)bu, lawas teuing diti(ng)galkeun. Tosta geura pulang deui. Mumul nyorang urut aing. /2 r/
(Di sana aku tidak singgah terlalu lama. Aku merindukan ibuku, yang telah ditinggalkan terlalu lama. Aku harus segera pulang. Tak ingin melalui jalan yang telah kulewati.)

Itu parahu Malaka. Turun aing ti Pamalang, [ms. -ran] tuluying nu(m)pang balayar.
(Itu kapal dari Malaka. Turun aku di Pamalang lalu menumpang berlayar.)

Bijil aing ti muhara, masang wedil tujuh kali, ing na goong brang na gangsa, seah na ge(n)dang sarunay, seok nu kawih tarahan, nu kawih a(m)bah-a(m)bahan:
(Tiba aku di muara senapan ditembakkan tujuh kali, gong ditabuh, simbal dibunyikan, genderang dan gendang dimainkan, suara yang keras datang dari gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan keras:)

“Ba(n)tar kali buar pelang.” “Surung-sarang suar gading.” “Manyura ditedas u(n)cal.”
(“Muara sungai, pohon pelang.” “Alas lantai dari suar gading.” “Seekor merak terluka parah oleh seekor rusa.”)

Mibabahon awi go(m)bong, miitihang awi nyowana, kamudi kamudi Keling, apus dangdan hoe muka, paselang deung hoe omas, pabaur hoe walatung. Tihang layar kayu laka, hurung beunangna ngahi(ng)gul, siang beunang ngaj(e)rinang
(Kapal itu memiliki dek dari bambu gombong, dan pilar kapal dari bambu nyowana, kemudi kapal itu jenis kemudi India, kapal itu direkatkan dengan tali dari rotan muka, dipadukan dengan rotan omas, dan dicampur rotan walatung. Pilar utama kapal terbuat dari kayu laka, terang gemerlap, diwarnai merah (?), dengan hebatnya, diwarnai merah tua.)

Beuteung bogoh ku sakitu, bogoh ku nu mawa inya: Nu badayung urang Ta(n)jung, nu ru(m)ba urang Kalapa, nu babose urang Angké, bosé rampas bose layang, deungeun bose susu landung.
(Setelah aku mengagumi semua itu, mengagumi awak kapal: Para pendayung adalah orang-orang Tanjung, para penimba adalah orang-orang Kelapa, para pendayung adalah orang-orang dari Angke, menggunakan dua dayung dan dayung ngambang, juga menggunakan dayung susu.)

Balayar satengah bulan, ba/ nyat aing di Kalapa. / 2v /
(Berlayar setengah bulan, kami berlabuh di Kalapa.)

Ngaraning Ameng Layaran. U(n)dur aing ti parahu.
(Namaku Ameng Layaran. Aku meninggalkan kapal.)

Sadatang ka Pabeyaan, ku ngaing geus kaleu(m)pangan, ngalalar ka Ma(n)di Rancan, datang ka A(n)col Tamiang, ngalalar aing ka Samprok.
(Sesampai di Pabeyan, aku berjalan melewatinya, berjalan melalui Mandi Rancan, sampai di Ancol Tamiang, dan melewati Samprok.)

cu(n)duk ka leuweung langgong, meu(n)tas aing di Cipanas, ngalalar ka Suka Kandang.
(Setiba di hutan yang luas, aku menyeberangi Sungai Cipanas, berjalan melewati Suka Kandang.)

Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, meu(n)tas aing di Cikencal.
(Telah terlewati olehku Suka Kandang, aku menyeberangi Sungai Cikencal.)

cu(n)duk aing ka Luwuk, meu(n)tas aing di Ciluwer.
(Sesampai di Luwuk, aku menyeberangi Sungai Ciluwer.)

Sacu(n)duk ka Peuteuy Kuru, ngalalar ka Ka(n)dang Serang.
(Sesampai di Peteuy Kuru, aku berjalan lewat Kandang Serang.)

Sacu(n)duk aing ka Batur, ngaing geus kaleu(m)pangan, meu(n)tasing di Cihaliwung.
(Setelah mencapai Batur, yang telah kulewati, aku menyeberangi Sungai Ciliwung.)

Sacu(n)duk ka Pakeun Tubuy, ngalalar ka Pakeun Tayeum.
(Sesampai di Pakuen Tubuy, aku melewati Pakuen Tayeum.)

Sacu(n)duk aing ka Batur, sadatang ka Pakancilan, mukakeun panto kowari, ngahusir ka lamin ading, lamin ading pancatulis, bale renceng / pangrekaan. /3r/ Pamikul beunang ngahi(ng)gul, pangheret beunang miseret, li(n)car beunang ngaj(e)rinang, suhunan beunang marada, sare galar beutung tuha, dijeujeutan kawat Jawa.
(Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan, aku membuka pintu gerbang, dan pergi menuju rumah tamu, rumah tamu yang dihias dengan baik. Paviliun yang dihiasi dengan indah, balok lintang diikat dengan baik, dengan bagian diwarnai merah tua, pilar perabungan yang disepuh, lantai dan pilar-pilar yang terbuat dari beuteung tua, diikat bersama dengan ikatan ala Jawa.)

U(n)ggah tohaan ka manggung, pa(ng)guh lu(ng)guh di palangka./0
(Sang pangeran naik ke atas, dengan penuh khidmat duduk di atas dipan.)

A(m)buing kaso(n)dong ngeuyeuk, buat nu di tepas bumi, eukeur ngeuyeuk eukeur meubeur, eukeur nyulage mihane, neuleum nuar nyangkuduan, ngaracet ka(n)teh pamulu, ngela sepang ngangeun hayam.
(Ibundaku sedang menenun di beranda rumahnya, sangat khusyuk menenun tenunan, Sedang menyulam, memperindah menggosok benang wol yang mengkilap, merebus sappan dan memasak ayam.)

Nyoreang ka lamin ading, ngadeuleu sali(ng)ger beuheung, katuluyan deuleu teuteuh.
(Melirik ke arah rumah tamu, dia menengokkan kepalanya dan melihat, lalu menatap dengan saksama.)

Saur a(m)buing sakini: ‘Itu ta eugeun si utun! Ayeuna cu(n)duk ti timur, ayeuna datang ti wetan, datangna ti Rabut Palah.
(Ibuku lalu berkata: “Tuh, itu anakku! Sekarang telah kembali dari timur, kembali dari timur jauh, telah kembali dari Rabut Palah.)

Anaking deudeuukanan! Anaking papalayanan! Aing dék nyiar seupaheun.”
(Anakku, kemari, duduklah di sini! Anakku, kemar, beristirahatlah! Aku akan mengambil sugi buah pinang.”)

Na heuyeuk tuluy ditu(n)da, diparac apus / dada(m)par, /3v/ loglog caor ti na to(ng)gong, diri hapit ti na pingping, kedalan diri ti da(m)pal. Neut na(n)jeur ngajuga hangsa.
(Tenunan lalu diletakkan, tali dilepaskan, beban dilepaskan dari punggungnya, diri diapit pada paha, alas kaki dari tapak kaki. Lalu dia berdiri seperti angsa.)

Saasup sia ka bumi, nyi(ng)kabkeun kasang carita.
(Setelah memasuki rumah, dia menutup kembali tirai.)

Eu(n)deur na rarawis kasang, kumare(n)cang kumare(n)cong, ni(ng)gang ka na papan ja(n)ten.
(Rumbai dari tirai terdengar, berderik dan gemerincing, ketika mereka bergerak turun dari atas papan jati.)

Bogoh ku na ngaran kasang, kasang tujuh kali nyi(ng)kab, kasang seni tambi lu(ng)sir, kasang pahang ta(m)bi laka, bedong dita(m)bi baya(m)bon, balang ditambi kacambang.
(Yang menarik adalah beberapa jenis tirai, tirai-tirai dilipat tujuh kali, tirai yang cantik dengan pinggiran yang terbuat dari sutra, tirai pahang dengan pinggiran merah, bedong dengan pinggiran dari kain bayambon, baling dengan pinggiran yang terbuat dari kain kacambang.)

au(ng)gah ka manggung ra(n)jang, gapay ka karas larangan, dicokot na pasileman, [pasiboteng] digapay seureuh tangkayan, pinang ta cangcian keneh, pinang tiwi pinang ading, keur meujeuh pateumu angen.
(Naik ke atas tempat tidurnya, dia mencari-cari di dalam peti miliknya, diambil baki tempat pinang, diambil setangkai buah pinang, di naba biji-bijinya menempel di rantingnya, pinang tiwi dan pinang gading, sesuai dengan apa yang dia suka.)

Tuluy ngaha(n)ceng seupaheun, dituruban saratangan, beunang ngaharemas,
(Lalu dia menyiapkan sugi untuk pinang, diolesinya dengan upacara, yang disepuh.)

A(ng)geu/s ngaha(n)ceng seupaheun, /4r/ dicokot pameres jati.
(Ketika sudah menyiapkan sugi untuk pinang, dia mengambil sisir kayu jatinya.)

A(ng)geus nu meresanra(m)but, digapay na ebal ageung, dicokot kupa saranggeuy, dieu(n)teupkan (ka na ceuli?).
(Setelah menyisir rambutnya, diambil tas besar miliknya, lalu diambil setangkai kupa, diletakkannya di sela telinga (?).)

Tuluy eu(n?)ceum ka na peu(n)teu, tuluy sari ka na pipi.
(Kemudian dia berdandan, lalu membedaki pipinya.)

Ti(m)buru nu kahiasan, sajingjing boeh cali(ng)cing, saka(n)dar boeh harega.
(Begitu indahnya dia menimbulkan kecemburuan, mengenakan kain calingcing, pada bagian bawah mengenakan kain mahal.)

Saturun ti manggung ranjang, garudag di tengah imah, garedog di balik panto, kareket ni(n)cak taraje, ulang panapak ka lemah, kalangkang ngabiantara, reujeung deung dayeuhanana.
(Seturun dari kamar tidurnya, dia bergegas menuju ruang tengah, dan menuju balik pintu, melangkah di atas tangga, kemudian menapakkan kakinya di tanah, bayangannya muncul di luar, bersamaan dengan dirinya.)

Seah na lemah katincak, eu(n)deur na Ratu Bancana ngeunakeun tuang kalangkang.
(Dia menapak tanah dengan gemuruh, bergoyang ketika Putri Bancana melangkah di atas bayangannya.)

Cab ruy tapih meubeut keuneung, ngeureut ka na bitis koneng, ngahusir ka lamin ading.
(Sep, sap, rok menyentuh tumitnya, membelah ke dalam paha coklat keemasannya, ketika dia berjalan menuju rumah tamu.)

U(ng)gah tohaan ka manggung, deuuk teoheun palangka, na seupaheun dia(ng)seukeun. /4v/
(Sang putri turun, duduk di atas tandu, dan menawarkan sugi pinang.)

Saur a(m)buing sakini: “Anaking, nu mucang onam!”
(Ibuku berbicara demikian: “Anakku, silakan ambil sugi itu!”)

Sauma Ameng Layaran: “A(m)bu aing sadu mucang.”
(Ameng Layaran berkata: “Ibunda, izinkan aku mengunyah.”)

I(ng)keun mangka o(ng)koh mucang.
(Kita tinggalkan mereka mengunyah pinang.)

Carekeun si Jo(m)pong Larang.
(Marilah kita berbicara tentang Jompong Larang.)

Saturun ti kadatuan, ngalalar caroge ageung, nyangla(n)deuh ka Pancawara, mukakeun pa(n)to kowari, ngalalar ka Pakeun Dora.
(Sepergi turun dari istana, melewati ruangan umum, turun ke arah Pancawara, lalu membuka gerbang, dan berjalan melalui Pakuen Dora.)

Leu(m)pang aing nyangwetankeun, meu(n)tas di Cipanangkilan. Sacu(n)duk ka Pakeun Teluk, sadatang ka Pakancilan, mukakeun panto kowari.
(Berjalan aku ke arah barat, menyeberangi Sungai Cipanangkilan. Setelah sampai di Pakuen Teluk, tiba di Pakancilan, membuka pintu gerbang.)

Dingaran si Jo(m)pong Larang, nyoreang ka lamin ading.
(Yang bernama Jompong Larang, Melirik ke arah rumah tamu.)

Carekna si Jo(m)pong Larang: “Duh, ameng [ta] ti mana eta?”
(Jompong Larang berkata: “Oh, di mana pertapa yang ada di sini?”)

Ameng ta datang ti wetan, sakaen poleng puranteng, sasali(m)but sulam Baluk, sasa(m)pay sut(e)ra Cina, sapecut hoe walatung, dige(m)peng-ge(m)peng ku omas, jojo(m)pongna made / to(ng)gong. /5r/
(Pertapa itu datang dari timur, mengenakan pakaian bercorak puranteng, ikatan dengan sulaman Baluk, sehelai selendang sutra Cina, memiliki cambuk dari rotan walatung, dihias dengan garis-garis keemasan, berkas rambutnya seperti jengger ayam.)

Teher lu(ng)guh di pala(ng)ka, sila tumpang deung sideuha, ngagigirkeun karas tulis, teher nyeupah lumageday.
(Duduk di atas dipan, satu kaki diangkat dan bersandar pada satu tangan, pati yang dilukis ada di sebelahnya, dan mengunyah pinang dengan tenang.)

Dingaran si (Jom)pong Larang, na bogoh han-io kapalang, diilikan dibudian, dideuleu diteuteuh-teuteuh, ti manggung dikaha(n)dapkeun, ti ha(n)dap dikamanggungkeun. Bogoh ku na pangawakan:
(Dia yang dipanggil Jompong Larang, benar-benar terlihat tergoda, dia memerhatikannya dan menelitinya, dia memerhatikannya dengan seksama, dari kepala sampai kaki, benar-benar tergoda oleh bentuk tubuhnya:)

giling bitis pa(n)cuh geulang, tareros na tuang ramo, para(n)jang na tuang ta(ng)gay, be(n)tik halis sikar dahi, suruy hu(n)tu be(n)tiktungtung, sumaray dadu ku seupah.
(Pahanya padat, pergelangan tangannya molek, jari tangannya runcing, kukunya panjang, alisnya melengkung, pelipisnya menyatu, susunan giginya yang indah, bergerak miring (?) dan merah karena mengunyah pinang.)

Dingaran si Jo(m)pong Larang, gupuh sigug ga(m)pang kaeur, leu(m)pang bitan gajar jawa. (Dia yang dipanggil Jompong Larang, sangat gugup, ceroboh, mudah terganggu, dan berjalan seperti gajah jawa.)

Sadatang ka kadatuan, tohaan kaso(n)dong ngeu(y)euk, eukeur ngeuyeuk eukeur meubeur, eukeur nyulage mihane, neuleum nuar nyangkuduan, ngaracet ka(n)teh pamulu.
(Setiba di istana, [dia melihat] sang Putri sedang menenun, sedang menenun, mencelup ikat, In…(?) dan warping, mencelup warna biru, kuning, dan merah, menggosok benang wol yang mengkilat.)

Tohaan / na Ajung Larang / 5v / Sakean Kilat Bancana, ngaleke ebreh na cangkeng, cugenang tuang pinareup.
(Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, mengenakan pakaian dengan cerobohnya, pinggangnya terlihat, dadanya menonjol ke depan.)

Teherna lu(ng)guh di kasur, ngagigirkeun ebun Cina, ebun cina diparada, pamuat ti alas peu(n)tas.
(Demikian dia duduk di atas matras, peti buatan Cina di sebelahnya, peti cina yang mengkilap, berasal dari seberang lautan.)

Tohaan Ajung Larang nyoreang ti jokjok panon, ngadeuleu sali(ng)ger beuheung, katuluyan deuleu teuteuh.
(Putri Ajung Arang melirik dari sudut matanya, menengokkan kepala dan melihat, lalu menatap dengan seksama.)

“Itu ta eugeun si Jo(m)pong! Na naha eta bejana? Mana geura-geura teuing?” Dingaran si Jo(m)pong Larang, cat-cat gek deuuk di lemah.
(“Lihat! Itu dia Jompong! Seperti apakah pesan darinya? Kenapa dia terburu-buru?” Dia yang bernama Jompong Larang menaiki tangga dan duduk di atas lantai.)

Saur taan Ajung Larang: “Jo(m)pong naha beja sia? Mana sinarieun teuing?”
(Putri Ajung Larang berkata: “Jompong, apa yang ingin kau sampaikan? Kenapa tiba-tiba?”)

Dingaran si Jo(m)pong Larang, umun sadekung ka manggung, beres ngaburang ku ramo.
(Dia yang bernama Jompong Larang memberikan penghormatan, duduk dalam keadaan emok (?), dengan sopan menunjukkan jari-jemarinya ke atas.)

Carekna si Jorong Lo(m)pong: “Taan urang Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, ra(m)pes teuing jeueung aing: Latara teuing nu kasep. /6r/ Inya kasep inya pelag, keur meujeuh pasieupan deung taanurang Ajung Larang.”
(Jompong Larang berkata: “Putri kami, Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, sangatlah indah apa yang ku lihat: Seseorang laki-laki sangat tampan. tampan, adil, sangat cocok dengan Putri Ajung Larang!”)

Saur taan Ajung Larang: “Jo(m)pong saha ngaranna?”
(Putri Ajung Larang berkata: “Jompong, siapa namanya?)”

Sanembal si Jo(m)pong Larang: “Samapun ngaranna Ameng Layaran. Latara teuing na kasep, kasep manan Banyak Catra, leuwih manan Silih Wangi, liwat ti tuang ponakan. Ageungna se(ng)serang panon, [keur meujeuh] pauc-pauceun di a(n)jung, timang-timangeun di ranjang, tepok-tepokeun di kobong, edek-edekeun di rengkeng. Teher bisa carek Jawa, w(e)ruh di na eusi tangtu, lapat di tata pustaka, w(e)ruh di darma pitutur, bisa di sanghiang darma.” /0/
(Jompong Larang menjawab: “Mohon maaf, Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran, seorang laki-laki yang sangat tampan, lebih tampan dari Banyak Catra, lebih tampan dari Silih Wangi, bahkan lebih tampan dari keponakan Putri. Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan, laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda, untuk ditimang-timang di ranjang, ditimbang oleh peraturan, untuk dirangkul di ruang tidur. Selain itu ia bisa bahasa Jawa, mengetahui isi dari kitab-kitab, mengenal susunan buku-buku, mengetahui hukum dan nasihat-nasihat, mengenal sanghyang darma.”)

Saa(ng)geus kapupulihan taan urang Ajung Larang Sakean Kilat Bancana tuluy minger tuang hi/dep. /6v
(Ketika mendengar berita ini, Putri kami Ajung Larang Sakean Kilat Bancana membayangkannya dalam pikiran.)

Na rasa kalejon bogoh, na rasa karejay hayang. Na heuyeuk tuluy ditu(n)da, diparac apus dada(m)par, loglog caor ti na to(ng)gong, diri hapit ti na pingping, kedalan diri ti da(m)pal
(Dia merasa terbakar karena cinta, merasa dikendalikan nafsu. tenunan diletakkan, melepas tali ikatan, beban berat yang musti dipikul, diri diapit di paha, gerak diri di telapak kaki.)

Neut na(n)jeur ngajuga hangsa. Saasup sia ka bumi, nyi(ng)kabkeun kasangcarita
(Lalu dia bangkit bagaikan angsa. Setelah memasuki rumah, dia menyingkap tirai.)

Eu(n)deur na rarawis kasang, kumare(n)cang kumare(n)cong, m(ng)gang ka na papan ja(n)ten.
(Rumbai tirai terdengar, berderik dan gemerincing, ketika mereka bergerak turun di atas papan jati [?].)

Bogoh ku na ngaran kasang, kasang tujuh kali nyi(ng)kab, kasang seni ta(m)bi lungsir, kasang pahang ta(m)bi laka, bedong dita(m)bi baya(m)bon, balang dita(m)bi kaca(m)bang.
(Yang menarik adalah beberapa jenis tirai, tirai-tirai dilipat tujuh kali, tirai yang cantik dengan pinggiran yang terbuat dari sutra, tirai pahang dengan pinggiran merah, bedong dengan pinggiran dari kain bayambon, balang dengan pinggiran yang terbuat dari kain kacambang.)

Sau(ng)gah ka manggung ra(n)jang, gapay na karas larangan, dicokot na pasileman [pasileman pasiboteng], digapay seureuh heuseunan.
(Naik ke atas tempat tidurnya, dia mencari-cari di dalam peti miliknya, diambil baki untuk buah pinang, diambil beberapa biji pinang.)

Tohaan tuluy nu ne(k)tek, nu ne(k)tek / meunang salawe, /7r/ nu mauc meunang sapuluh, [ms. muuc] ngaga(n)tul meunang dalapan.
(Sang Putri kemudian melipat beberapa lembar daun pinang, membungkus pinang dia dapat 25 buah, menumbuk pinang dia dapat 10 buah, mempersiapkan pinang dia dapat 8 buah.)

Ditalian ra(m)bu tapih, diletengan leteng karang, leteng karang ti Karawang, leteng susuh ti Malayu, pamuat aki puhawang.
(Dibungkus pinang itu dengan, digosoknya dengan kapur, kapur dari Karawang, kapur cangkang kerang dari Malayu, didatangkan oleh nahkoda.)

Dipinangan pinang tiwi, pinang tiwi ngubu cai, pinang ading asri kuning, keur meujeuh pateumu angen.
(Ditambahkan biji pinang tiwi, pinang tiwi yang rebus, pinang gading, mengkilat kuning, sesuai dengan selera orang-orang.)

Dipasi nu kalakatri, pasi leupas jadi dua, pasi gantung jadi teulu, pasi remek jadi genep.
(Dibelah biji pinang dengan gunting, dibelah menjadi dua bagian, dipotongnya lagi menjadi tiga bagian, lalu jadi enam bagian.)

Dihanceng di pasileman, ra(m)pes na beunang ngahanceng, dituruban saratangan.
(Disusun mereka di atas baki pinang, disusun hati-hati, ditutupi kain khusus upacara.)

(n)ten leuwih ti sakitu: didulur ku pupur kapur, candana ruum sacupu, bunga resa di na juha, dedes deungeun majakane, jaksi deungeun kamisadi, jaksi pa(n)dan deung kamenyan, dua buah ca(ng)ci lenga, diteunyuh ku aer mawar, narawastu agur-agur, bubura peu(n)tas sa/gala.
(Ada benda-banda lain: Ditambah bedak dari batu kapur, guci penuh wewangian kayu cendana, bunga yang masih baru di jambangan, zat kelenjar rusa jantan dan majakani, jaksi dan kamisadi, jaksi pandanus dan kemenyan, dua cabang wijen, diperciki dengan air mawar, narawastu agur-agur, semuanya dari seberang lautan.)

Aya liwat ti sakitu: digapay na ebal ageung, dicokot na boeh limur, dicokot na sabuk wayang, keris malela sapucuk, awaya sareana(na?), pahi deungeun buah reu(m)beuy.
(Ada pula benda-benda lainnya: Dicari tas besar miliknya, diambilnya pakaian lemur, ikat pinggang dengan gambar wayang, sebilah keris malela, semua benda itu menakjubkan [?], bersama-sama buah reumbeuy.)

Saur taan Ajung Larang: “Jo(m)pong sia pulang deui, ini bawa pa(ngi)riming, bawa ma ka tuang a(m)bu.
(Putri Ajung Larang berkata: “Jompong kembalilah, ambil benda-benda ini [sebagai hadiah dariku], bawa benda-benda ini pada ibu.)

Ci(ng) kurang na picarekeun: “Seupaheun pananya tineung, ti na Taan Ajung Larang Sakean Kilat Bancana.
(Tolong beri tahu atas namaku: “[ini adalah] sugi untuk mengingatkan akan diriku, dari Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana.)

Lamun puguh katanggapan, tohaan majar ka luar, majar nu datang ku manten.”
(Bila mereka benar-benar menerima, Sang Putri berkata bahwa, dia sendiri yang akan datang.”)

Dingaran si Jompong Larang, saa(ng)geus katalatahan, saleu(m)pang ti kadatuan, leu(m)pangna sasuhun ebun, teher nanggeuy pasileman, tehema saais boeh.
(Dia yang bernama Jompo Larang, setelah menerima perintah itu, meninggalkan istana, berjalan dengan peti di atas kepalanya, membawa baki berisi pinang di tangannya, memegang pakaian di tangannya yang lain.)

Ngalalar caroge ageung, nyanglandeuh ka Pancawara, mu/kakeun pa(n)to kowari, /8r/ ngalalar ka Pakeun Dora, leu(m)pang aing nyangwetankeun, meu(n)tas di Cipakancilan.
(Dia berjalan melewati aula besar, turun ke Pancawara, membuka gerbang, berjalan melewati Pakuen Dora, terus berjalan ke arah timur, menyeberangi Sungai Cipakancilan.)

Sacu(n)duk ka Pakeun Teluk, sadatang ka Pakancilan, mukakeun pa(n)to kowari.
(Ketika tiba di Pakuen Teluk, sampai di Pakancilan, dia membuka gerbang.)

Dingaran si Jo(m)pong Larang, ngahusir ka tepas bumi.
(Wanita yang bernama Jompo Larang, pergi menuju beranda rumah.)

Tohaan kaso(n)dong lu(ng)guh [di kasur]. Nyoreang sali(ng)ger beuheung, katuluyan deuleu teuteuh.
(Dia melihat Putri yang sedang duduk (di atas matras), melirik, menengok, lalu menatap dengan sungguh-sungguh.)

Sauma na tuang (am)bu: “Itu ta eugeun si Jo(m)pong! Na naha eta bejana? Ruana sasuhun ebun, teher na(ng)geuy pasileman.”
(Sang ibu mulia berkata: “Lihat! Itu Jompong! Pesan apa yang dia bawa? Tampak membawa peti di atas kepalanya, memegang baki pinang di tangannya.”)

Saur Tohaan sakini: “Jo(m)pong ra(m)pes deuukanan, geura nu u(ng)gah ka manggung!”
(Sang Putri berkata: “Jompong, marilah duduk, cepatlah naik ke atas!”)

Sau(ng)gah si Jo(m)pong Larang, na seupaheun diangseukeun. 
(Ketika Jompong telah naik, dia mempersembahkan sugi pinang.)

Saur Tohaan sakini: “Jo(m)pong, naha beja sia, mawakeun aing seupaheun?”
(Sang Putri berkata: “Jompong, pesan apa yang kau akan sampaikan, sambil membawa sugi pinang?”)

Sane(m)bal si Jompong Larang, beres ngaburang ku ramo/ umun / teher sia nyebut, /8v/ ne(m)balan sakayogyana:
(Sebagai jawaban, jompong Larang, dengan sopan menunjukkan jari-jemarinya ke atas, memberikan penghormatan, lalu berkata, menjawab dengan baik:)

“Sangtabe namasiwaya! Pun kami titahan taan [ti kadatuan], taan urang Ajung Larang, Sakean Kilat Bancana, seupaheun pananya tineung.
(“Hamba mohon ampun! Hormat untuk Shiwa! Hamba diperintahkan oleh Putri (dari istana), Putri kami Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, membawa sugi ini untuk mengingat kebaikannya.)

Lamun puguh katanggapan, Tohaan majar ka luar, majar nu datang ku ma(n)ten.’
(Bila sugi ini diterima dengan sungguh-sungguh, Sang Putri berkata bahwa dia akan datang, dia sendiri yang akan datang.”)

Sauma (na) tuang a(m)bu: “Keun aing nanya si utun.” / / 0 / /
(Sang ibu yang mulia berkata: “Biarlah kutanya anakku.”)

Saur a(m)buing sakini: “Rakaki Bujangga Manik, rakean Ameng Layaran, utun, kita ditanyaan, ditanyaan ku tohaan, ku na taan Ajung Larang Sakean Kilat Bancana.
(Ibuku berkata: “Bujangga Manik yang mulia, Rakean Ameng Layaran, anakku, dirimu diminta, diminta oleh Putri, oleh Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana.)

Eta seupaheun di imah, bawa si Jo(m)pong bihini, ti dalem, ti na tohaan.
(Sugi pinang di rumah, baru saja dibawa oleh Jompong dari istana, dari Putri.)

Seupaheun diwela-wela, dihanceng di pasileman, dituruban saratangan, ra(m)pes na beunang ngahaceng. / /9r/
(Sugi pinang dengan cermat dipersiapkan, disusun di atas baki pinang, ditutup dengan kain khusus upacara, disiapkan dengan rapi.)

Naha ngaran(n)a ku ha(n)teu? Ga(n)tal tu(ng)gal ga(n)tal jawa, tektek batri nyare-nyare,
(Benda apakah yang mungkin tidak ada? Sugi tunggal, sugi jawa, benda-benda yang dilipat [?])

Batri nyela batri nyelu, batri ngagiling di pingping, batri mauc di hareugu, dianggeuskeun di pinareup, ditalian ra(m)bu tapih, panalina boncah laki, pakeun berejakah hayang, tektek siratu manggae, mo mere moma kadaek;
(Mereka yang memadamkan, mereka yang menyalakan, mereka yang menggiling di paha, mereka yang memukul di dada, dan menyelesaikan di payudara, diikat oleh kain, yang bermaksud meminang seorang laki-laki muda, disiapkan untuk menggairahkan semangat perjaka; sugi dipersiapkan oleh seorang putri, tidak diberikan bila bukan karena berhasrat;)

ga(n)tal siratu manglayang, mo mere moma kahayang;
(sugi ditawarkan oleh seorang putri, tidak diberikan bila bukan karena ingin;)

batri ngarakit-palidkeun, [ms.-raket-] batri no(ng)tong-silo(ka?)keun, beunang nyila-batarakeun, tektek kasih pala kasih, jurung-jarang kapur si(n)jang, sekar agung pala bukan
(sugi berbentuk seperti rakit yang mengapung, seperti genderang peringatan, seperti berlutut pada dewa, sugi cinta membangkitkan cinta, kapur barus langka untuk pakaian, bunga yang indah)

lulu(ng?)kut deung kadal meteng, ratu ga(n)tal di Pakuan, pinang tiwi pinang ading, pinang tiwi ngubu cai, batri nyeungceum di kasturi, kapur Barus di na cupu, bunga resa di najuha, /9v/ dedes deungeun majakane, jaksi deungeun kamisadi, dikukup ratna ko(m)balah, dua buah ca(ng)ci lenga, diteunyuh ku aer mawar, narawastu agur-agur, bubura peu(n)tas sagala.
(dikelilingi kadal bunting, raja dari sugi pinang di Pakuan, pinang tiwi dan pinang gading, pinang tiwi direbus dalam air, dicelupkan pada zat kelenjar rusa jantan, kapur barus dalam guci, bunga resa dalam jambangan, zat kelenjar rusa jantan dan majakani, jaksi dan kamisadi, dilapisi intan dan permata, dua cabang wijen, diperciki air mawar, narawastu dan agur-agur, semuanya wewangian dari seberang lautan.)

Seupaheun bawa si Jo(m)pong, era deungeun pikaeneun, pikaeneun buah reumbeuy, seupaheun pananya tineung, ti dalem ti na tohaan.
(Semua sugi pinang bawaan Jompong, dengan semua jenis pakaian, pakaian-pakaian dan juga semua jenis buah-buahan, sugi untuk diingat, dari istana, dari sang Putri.)

Tidak ada komentar