Penafsiran Perjalanan Naskah Bujangga Manik Tentang Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda jika melihat independensinya kekuasaan di negara negara di wilayahnya, sepertinya berbentuk Federal. Seolah pengakuan terhadap pusat kekuasaan di Pakuan adalah suatu hal yang menjadi kewajiban, tetapi mereka bebas menentukan sendiri model pemerintahannya, termasuk suksesi, tanpa intervensi dari kekuasaan pusat di pakuan.
Bujangga Manik dengan jelas membicarakan kerajaan-kerajaan yang ada di tanah sunda, termasuk tapal batas kekuasaan negara tersebut. Sejarah sunda belum begitu terungkap dengan jelas, ddengan demikian informasi yang berupa catatan sejarah meskipun sangat sedikit, justru disinilah pentingnya informasi yang sedikit ini. Informasi atau catatan dari Bjangga Manik ini meskipun hanya selintas dalam menerangkan tapal batas wilayah-wilayah kerajaan yang ada di tatar sunda.
Setidaknya ada beberapa negara yang diungkapkan oleh Bujangga Manik, dengan tapal batas wilayah kekuasaanya, seperti yang ia ungkapkan sepulangnya pengembaraannya ke timur (jawa dan bali), pada perjalanan yang kedua. Meskipun belum bisa mengungkap dengan detail, karena sumber pustaka yang sedikit, karena perlu penyelidikan dari para ahli sejarah. Tapi setidaknya dapat memberi informasi awal dari awal pengungkapan sejarah sekarang ini,
A. Kerajaan di sekitar Gunung Cereme
Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda.
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.
i.i. Kerajaan Pada beunghar
i.ii. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan bawahan keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
~ Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
~ Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
~ Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
~ Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.
~ Ratu Selawati (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.
Kerajaan Talaga
Kerajaan Talaga merupakan salah satu negara yang berada di bawah naungan kemaharajaan Sunda. Kerajaan Talaga diperkirakan terletak di lereng gunung Ciremai sebelah selatan, di sekitar desa Sangiang kecamatan Talaga, kabupaten Majalengka sekarang.
Kerajaan Talaga pada awalaya merupakan sebuah kabuyutan/kabataraan yang kemudian berubah menjadi suatu kerajaan. Kerajaan Talaga merupakan kelanjutan dari Kabuyutan Gunung Picung.
Kabuyutan Gunung picung didirikan oleh putra dari Suryadewata, yang kemudian terkenal dengan Batara Gunung picung. Sedang Suryadewata merupakan putra bungsu dari maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (mp. 1333-1340 M). Kabuyutan ini berkembang sumedang bertransisi dari kebataraan ke bentuk kerajaan.
Batara Gunung Picung kemudian diganti oleh putranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci. Yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Begawan Garasiang, yang kemudian digantikan oleh adiknya sebagai raja Talaga, yang bernama Sunan Talaga Manggung. Dan sejak itu kebataraan gunug picung berubah menjadi kerajaan talaga.
Raja Talaga terakhir, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Ibukota
Pada awalnya kerajan Talaga merupakan suatu kebataraan yang berpusat di Gunung Picung, yang didirikan oleh Ciptapermana II, yang kemudian terkenal dengan nama Batara Gunung picung. Gunung picung ini tetap menjadi pusat kerajaan hingga Prabu Darmasuci II yang kemudian terkenal dengan nama Prabu talagamanggung memindahkan pusat kekuasaanya ke Talaga (desa sangiang sekarang), sehingga kemudian kerjaan ini terkenal dengan nama kerajaan talaga.
Pada masa Ratu Simbarkancana, karena terjadi kekacauan yang didalangi suaminya, Palembanggunung, pusat kekuasaan kemudian dipindahkan dari tutugan gunung ciremai (sangiang) ke daerah Walangsuji (desa Kagok, kecamatan Talaga sekarang). Tetapi karena tempatnya yang kuraang strategis, ibukota di Walangsuji hanya bertahan 7 tahun 3 bulan. Pusat kerjaan (ibikota) kemudian dipindahkan ke Parung, pada masa Dewi Sunyalarang..
Batara Gunung Picung (Batara Gunung Bitung)
Batara Gunung Picung adalah pendiri dari kabuyutan/kabataraan Gunung Picung, dan ia merupakan penguasa pertamanya. Nama: Suddhayasa, dan terkenal dengan nama Batara Gunung Picung (batara Gunung Bitung) merupakan putra dari Raja galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga maharaja Sakti Ajimulya (mp. 1252-1287 M) / Prabu Suryadewata. Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung kemudian menjadi dang upaCaka agung Buddhayana Sarwastiwada di Gunung Bitung
Batara Gunung Picung (gunung Bitung) mempunyai beberapa orang putra, diantaranya:
• Sunan Cungkilak
• Sunan Benda
• Sunan Gombang
• Ratu Ponggang Sang Romahiyang
• Prabu Darmasuci I
Setelah Batara Gunung Picung, kebataraan kemudian jatuh kepada anaknya yang bernama Prabu Darmasuci,.
Prabu Darmasuci I
Prabu Darmasuci menggantikan ayahnya di kabataraan Gunung Picung. Ia mempunyai banyak pengikut dan juga murid, dikarenakan ia merupakan rajaguru Buddhayana Sarwastiwada, di wilayah Ta¬laga, yang termasuk daerah Galuh.
Ia mempunyai dua orang putra yang melanjutkan silsilah kerajaan Talaga (gunung Picung) pada masa berikutnya, yaitu Prabu Garasiang dan Prabu Darmasuci II, yang kemudian terkenal dengan Sunan Talaga Manggung.
Prabu (Begawan) Garasiang
Prabu Garasiang menggantikan ayahnya di kabataraan Gunung Picung. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Begawan Garasiang, Karena kegemarannya bertapa dan merenung, sehingga kemudian menjadi seorang begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang (pasir dalam istlah bahasa Sunda sama dengan bukit), yang sekarang terletak di daerah perbatasan antara kecamatan Argapura dan Talaga. Begawan Garasiang mempunyai putri yang bernama ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putra Prabu Siliwangi II (Pamanah Rasa) dari Pajajaran.
Karena kegemarannya bertapa, Begawan Garasiang kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu darmasuci II atau yang terkenal dengan nama Prabu Talaga Manggung.
Prabu Talaga Manggung
Prabu Darmasuci II menggantikan kakaknya, Begawan Garasiang, sebagai penguasa Gunung picung. Ia kemudian memindahkan pusat kekuasaanya (ibukota) ke Talaga, dan keratonnya diperkirakan di sekitar desa Sangiang sekarang. Sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Prabu Talagamanggung, dan dianggap peletak dasar kerjaan Talaga sebenarnya.
Pada masa Prabu Talaga manggung, kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gemilang, sehingga banyak pendatang yang menetap di daerah Talaga.
Prabu Talaga Manggung mempunyai 2 orang anak, yaitu Raden Pangluruh dan Dewi Simbar kancana. Sejak kecil Raden Panglurah sudah rajin bertapa ke Gunung bitung, dan berguru kepada uyutnya Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Ia memilih menjadi pertapa dari pada menjadi raja.
Setelah Prabhu Talaga Manggung meningga, kemudian diganti¬kan oleh Ratu Simbakencana. Hal ini dikarenakan kakak Sang Ratu yaitu Raden Panglurah tidak mau. Dan ia memilih menjadi sang upaCaka Bu¬ddhayana Sarwastiwada di pertapaan. Dan ia hanya diberi tahu perihal pernikahan Ratu Simbar¬kencana.
Putri Talagamanggung, Dewi Simbarkancana, menikah dengan seorang bangsawan Palembang, yang benama Sang Sakyawira, dan terkenal dengan nama Palembanggunung. Palembanggunung membuat suatu gerakan bawah tanah untuk mengkudeta Prabu Talaga Manggung. Konon ia berhasil mengambil CIS sang prabu melalui penghianatan pengawal pribadi sang Prabu, yang bernama Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata). Melalui senjata ini ia kemudian dapat membunuh sang Prabu. Abu jenazah sang prabu dilarung di situ sangiang.
Dewi Simbarkancana
Setelah Prabu Talaga Manggung meninggal karena dibunuh (dikudeta) oleh menantunya, Palembang gunung, yang tidak diketahui oleh kalangan keraton. Putra Talagamanggung, Raden Panglurah lebih memilih menjadi pendeta, sehingga kekuasaan jatuh kepada suami dari Dewi Simbarkencana, yaitu Palembang Gunung.
Pada awalnya kudeta Palembanggunung tidak diketahui banyak orang, termasuk oleh istrinya Dewi Simbarkancaana. Karena itu untuk sementara waktu Palembangggunung kemudian diangkat menjadi raja Talaga. Tetapi lama-kelamaan proses kudetanya terbongkar. Dewi Simbarkancana merasa terpukul, suaminya yang telah diangkat derajaat oleh sang ayah membalasnya dengan keji. Sehingga ia kemudian dapat membunuh suaminya dengan susuk kondenya. Dari suamni pertama, Palembang Gunung, Dewi Simbarkancana tidak mempunyai anak.
Selanjutnya Dewi Simbarkancana menikah dengan Kusumalaya (Pangeran Palinggih), dari kraton Galuh putra Prabu Ningrat Kancana. Ia adalah seorang masagi pangarti (intelek) dan pertapa kutamangu, seorang tabib dan ahli strategi. Ia berahasil menumpas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya. Sehingga kekuasaan kembali kokoh dan stabil.
Dari perkawinannya dengan dengan Kusuumalaya, ia mempunyai 8 orang putra:
• Sunan parung (Batara Sukawayana)
• Sunan Cihaur (mangkurat Mangkureja)
• Sunan Gunung Bungbulang
• Sunan Cengal (Kerok Batok)
• Sunan Jero Kaso
• Sunan Kuntul Putih
• Sunan Ciburang
• Sunan Tegalcau
Sepeninggal Ratu Simbarkancana, kerajaan Talaga kemudia beralih kepada putra sulungnya, Sunan parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putri satu-satunya beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M), yang kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
Dewi Sunyalarang atau terkenal juga dengan nama Ratu Parung, menikah dengan Prabu Ragamantri, putri Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jayadewata atau Pamanah rasa). Pada masa pemerintahan Dewi sunyalarang inilah pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Parung.
B. Medang Kahiyangan
Bujangga manik menyebut Sumedang dengan Medang Kahiyangan. Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu dari kerajaan Sunda yang berdiri pada abad ke 12 M. Pada awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu tetapi kemudian menjadi kerajaan Islam pada abad ke-15 M.
Kerajaan ini memegang peranan penting, sebagai penerus kerajaan Sunda (yang waktu itu lebih dikenal dengan nama kerajaan Pajajaran), karena setelah direbutnya ibukota Pakuan Pajajaran, Sumedang larang dianggap sebagai penerus kerajaan sunda tersebut. Sejak itu Sumedang larang disamping dianggap sebagai penerus Pajajaran, yang memiliki otoritas yang luas untuk menentukan nasibnya sendiri..
Asal Usul
Kerajaan Sumedang larang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang Larang mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal berdirinya sumedang larang bernama Kerajaan Tembong Agung, yang dipimpin oleh Prabu Aji Putih dengan ibukota di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung berarti besar dan luhur).
Pada zaman Prabu tajimalela namanya kemudian diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.
Sumedang larang sendiri diyakini oleh sebagian penulis pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih, yang berkembang setelah Kabuyutan Sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti. Sumedang Larang sendiri berubah menjadi kerajaan di era pemerintahan Prabu Gajah Agung.
Penguasa
Raja-raja yang berkuasa di Sumedang Larang, adalah:
Prabu Aji Putih
Prabu tajimalela
Prabu Lembu Agung (Lembu Peteng Aji)
Prabu gajah Agung
Sunan Pagulingan
Sunan Guling
Sunan Tuakan
Nyi Mas Ratu Patuakan
Ratu Pucuk Umun
Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608 M)
Prabu Aji Putih
Prabu resi Aji putih adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah Galuh.
Ia datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir walungan (sungai) Cimanuk (sekarang adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).
Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang. Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.
Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela atau Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya nama kerajaan kemudian diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja
Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya
Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan Maharajara Sunda yang bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) Konon menurut cerita rakyat, pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai kemajuannya. Ia sangat memperhatikan bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis (Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).
Situs peninggalan Prabu Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.
Suksesi
Prabu tajimalela mempunyai 2 orang putra, Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena itu Prabu tajimalela memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan nama Prabu Lembu Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu agung dan prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
Prabu Lembu Agung (lembu Peteng Aji)
Prabu lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan nama Prabu Lembu peteng aji.
Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.
Prabu gajah Agung
Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji, yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah Agung.
Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya, dengan gelar Sunan Pagulingan.
Setelah meninggal, Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Sumedang.
Sunan Pagulingan
Sunan Pagulingan atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).
Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran Mertalaya. Karena Ratnasih menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang Larang jatuh kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
Setelah wafat, ia dimakamkan di Ciguling.
Sunan Guling
Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.
Sunan Tuakan
Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.
Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas Patuakan.
Nyi Mas Patuakan / Sunan Corenda
Nyi Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala, penguasa Galuh.
Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun. Note: Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata
Ratu Pucuk Umun (1530-1578 M) / Pangeran santri
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata naik tahta Sumedang Larang menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia merupakan seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kuatamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang). Ibunya Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
Dari hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang putra,yaitu
~ Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
~ Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, suapaya memeluk Islam.
~ Kiai Demang Watang di Walakung
~ Santowaan Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
~ Santowaan Cikeruh
` Santowaan Awi Luar.
Ratu pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1608 M).
Pangeran Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M
Geusan Ulun dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh karena serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran “Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa
Bujangga Manik dengan jelas membicarakan kerajaan-kerajaan yang ada di tanah sunda, termasuk tapal batas kekuasaan negara tersebut. Sejarah sunda belum begitu terungkap dengan jelas, ddengan demikian informasi yang berupa catatan sejarah meskipun sangat sedikit, justru disinilah pentingnya informasi yang sedikit ini. Informasi atau catatan dari Bjangga Manik ini meskipun hanya selintas dalam menerangkan tapal batas wilayah-wilayah kerajaan yang ada di tatar sunda.
Setidaknya ada beberapa negara yang diungkapkan oleh Bujangga Manik, dengan tapal batas wilayah kekuasaanya, seperti yang ia ungkapkan sepulangnya pengembaraannya ke timur (jawa dan bali), pada perjalanan yang kedua. Meskipun belum bisa mengungkap dengan detail, karena sumber pustaka yang sedikit, karena perlu penyelidikan dari para ahli sejarah. Tapi setidaknya dapat memberi informasi awal dari awal pengungkapan sejarah sekarang ini,
A. Kerajaan di sekitar Gunung Cereme
Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda.
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.
i.i. Kerajaan Pada beunghar
i.ii. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan bawahan keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
~ Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
~ Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
~ Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
~ Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.
~ Ratu Selawati (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.
Kerajaan Talaga
Kerajaan Talaga merupakan salah satu negara yang berada di bawah naungan kemaharajaan Sunda. Kerajaan Talaga diperkirakan terletak di lereng gunung Ciremai sebelah selatan, di sekitar desa Sangiang kecamatan Talaga, kabupaten Majalengka sekarang.
Kerajaan Talaga pada awalaya merupakan sebuah kabuyutan/kabataraan yang kemudian berubah menjadi suatu kerajaan. Kerajaan Talaga merupakan kelanjutan dari Kabuyutan Gunung Picung.
Kabuyutan Gunung picung didirikan oleh putra dari Suryadewata, yang kemudian terkenal dengan Batara Gunung picung. Sedang Suryadewata merupakan putra bungsu dari maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (mp. 1333-1340 M). Kabuyutan ini berkembang sumedang bertransisi dari kebataraan ke bentuk kerajaan.
Batara Gunung Picung kemudian diganti oleh putranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci. Yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Begawan Garasiang, yang kemudian digantikan oleh adiknya sebagai raja Talaga, yang bernama Sunan Talaga Manggung. Dan sejak itu kebataraan gunug picung berubah menjadi kerajaan talaga.
Raja Talaga terakhir, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Ibukota
Pada awalnya kerajan Talaga merupakan suatu kebataraan yang berpusat di Gunung Picung, yang didirikan oleh Ciptapermana II, yang kemudian terkenal dengan nama Batara Gunung picung. Gunung picung ini tetap menjadi pusat kerajaan hingga Prabu Darmasuci II yang kemudian terkenal dengan nama Prabu talagamanggung memindahkan pusat kekuasaanya ke Talaga (desa sangiang sekarang), sehingga kemudian kerjaan ini terkenal dengan nama kerajaan talaga.
Pada masa Ratu Simbarkancana, karena terjadi kekacauan yang didalangi suaminya, Palembanggunung, pusat kekuasaan kemudian dipindahkan dari tutugan gunung ciremai (sangiang) ke daerah Walangsuji (desa Kagok, kecamatan Talaga sekarang). Tetapi karena tempatnya yang kuraang strategis, ibukota di Walangsuji hanya bertahan 7 tahun 3 bulan. Pusat kerjaan (ibikota) kemudian dipindahkan ke Parung, pada masa Dewi Sunyalarang..
Batara Gunung Picung (Batara Gunung Bitung)
Batara Gunung Picung adalah pendiri dari kabuyutan/kabataraan Gunung Picung, dan ia merupakan penguasa pertamanya. Nama: Suddhayasa, dan terkenal dengan nama Batara Gunung Picung (batara Gunung Bitung) merupakan putra dari Raja galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga maharaja Sakti Ajimulya (mp. 1252-1287 M) / Prabu Suryadewata. Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung kemudian menjadi dang upaCaka agung Buddhayana Sarwastiwada di Gunung Bitung
Batara Gunung Picung (gunung Bitung) mempunyai beberapa orang putra, diantaranya:
• Sunan Cungkilak
• Sunan Benda
• Sunan Gombang
• Ratu Ponggang Sang Romahiyang
• Prabu Darmasuci I
Setelah Batara Gunung Picung, kebataraan kemudian jatuh kepada anaknya yang bernama Prabu Darmasuci,.
Prabu Darmasuci I
Prabu Darmasuci menggantikan ayahnya di kabataraan Gunung Picung. Ia mempunyai banyak pengikut dan juga murid, dikarenakan ia merupakan rajaguru Buddhayana Sarwastiwada, di wilayah Ta¬laga, yang termasuk daerah Galuh.
Ia mempunyai dua orang putra yang melanjutkan silsilah kerajaan Talaga (gunung Picung) pada masa berikutnya, yaitu Prabu Garasiang dan Prabu Darmasuci II, yang kemudian terkenal dengan Sunan Talaga Manggung.
Prabu (Begawan) Garasiang
Prabu Garasiang menggantikan ayahnya di kabataraan Gunung Picung. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Begawan Garasiang, Karena kegemarannya bertapa dan merenung, sehingga kemudian menjadi seorang begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang (pasir dalam istlah bahasa Sunda sama dengan bukit), yang sekarang terletak di daerah perbatasan antara kecamatan Argapura dan Talaga. Begawan Garasiang mempunyai putri yang bernama ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putra Prabu Siliwangi II (Pamanah Rasa) dari Pajajaran.
Karena kegemarannya bertapa, Begawan Garasiang kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu darmasuci II atau yang terkenal dengan nama Prabu Talaga Manggung.
Prabu Talaga Manggung
Prabu Darmasuci II menggantikan kakaknya, Begawan Garasiang, sebagai penguasa Gunung picung. Ia kemudian memindahkan pusat kekuasaanya (ibukota) ke Talaga, dan keratonnya diperkirakan di sekitar desa Sangiang sekarang. Sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Prabu Talagamanggung, dan dianggap peletak dasar kerjaan Talaga sebenarnya.
Pada masa Prabu Talaga manggung, kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gemilang, sehingga banyak pendatang yang menetap di daerah Talaga.
Prabu Talaga Manggung mempunyai 2 orang anak, yaitu Raden Pangluruh dan Dewi Simbar kancana. Sejak kecil Raden Panglurah sudah rajin bertapa ke Gunung bitung, dan berguru kepada uyutnya Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Ia memilih menjadi pertapa dari pada menjadi raja.
Setelah Prabhu Talaga Manggung meningga, kemudian diganti¬kan oleh Ratu Simbakencana. Hal ini dikarenakan kakak Sang Ratu yaitu Raden Panglurah tidak mau. Dan ia memilih menjadi sang upaCaka Bu¬ddhayana Sarwastiwada di pertapaan. Dan ia hanya diberi tahu perihal pernikahan Ratu Simbar¬kencana.
Putri Talagamanggung, Dewi Simbarkancana, menikah dengan seorang bangsawan Palembang, yang benama Sang Sakyawira, dan terkenal dengan nama Palembanggunung. Palembanggunung membuat suatu gerakan bawah tanah untuk mengkudeta Prabu Talaga Manggung. Konon ia berhasil mengambil CIS sang prabu melalui penghianatan pengawal pribadi sang Prabu, yang bernama Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata). Melalui senjata ini ia kemudian dapat membunuh sang Prabu. Abu jenazah sang prabu dilarung di situ sangiang.
Dewi Simbarkancana
Setelah Prabu Talaga Manggung meninggal karena dibunuh (dikudeta) oleh menantunya, Palembang gunung, yang tidak diketahui oleh kalangan keraton. Putra Talagamanggung, Raden Panglurah lebih memilih menjadi pendeta, sehingga kekuasaan jatuh kepada suami dari Dewi Simbarkencana, yaitu Palembang Gunung.
Pada awalnya kudeta Palembanggunung tidak diketahui banyak orang, termasuk oleh istrinya Dewi Simbarkancaana. Karena itu untuk sementara waktu Palembangggunung kemudian diangkat menjadi raja Talaga. Tetapi lama-kelamaan proses kudetanya terbongkar. Dewi Simbarkancana merasa terpukul, suaminya yang telah diangkat derajaat oleh sang ayah membalasnya dengan keji. Sehingga ia kemudian dapat membunuh suaminya dengan susuk kondenya. Dari suamni pertama, Palembang Gunung, Dewi Simbarkancana tidak mempunyai anak.
Selanjutnya Dewi Simbarkancana menikah dengan Kusumalaya (Pangeran Palinggih), dari kraton Galuh putra Prabu Ningrat Kancana. Ia adalah seorang masagi pangarti (intelek) dan pertapa kutamangu, seorang tabib dan ahli strategi. Ia berahasil menumpas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya. Sehingga kekuasaan kembali kokoh dan stabil.
Dari perkawinannya dengan dengan Kusuumalaya, ia mempunyai 8 orang putra:
• Sunan parung (Batara Sukawayana)
• Sunan Cihaur (mangkurat Mangkureja)
• Sunan Gunung Bungbulang
• Sunan Cengal (Kerok Batok)
• Sunan Jero Kaso
• Sunan Kuntul Putih
• Sunan Ciburang
• Sunan Tegalcau
Sepeninggal Ratu Simbarkancana, kerajaan Talaga kemudia beralih kepada putra sulungnya, Sunan parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putri satu-satunya beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M), yang kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
Dewi Sunyalarang atau terkenal juga dengan nama Ratu Parung, menikah dengan Prabu Ragamantri, putri Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jayadewata atau Pamanah rasa). Pada masa pemerintahan Dewi sunyalarang inilah pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Parung.
B. Medang Kahiyangan
Bujangga manik menyebut Sumedang dengan Medang Kahiyangan. Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu dari kerajaan Sunda yang berdiri pada abad ke 12 M. Pada awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu tetapi kemudian menjadi kerajaan Islam pada abad ke-15 M.
Kerajaan ini memegang peranan penting, sebagai penerus kerajaan Sunda (yang waktu itu lebih dikenal dengan nama kerajaan Pajajaran), karena setelah direbutnya ibukota Pakuan Pajajaran, Sumedang larang dianggap sebagai penerus kerajaan sunda tersebut. Sejak itu Sumedang larang disamping dianggap sebagai penerus Pajajaran, yang memiliki otoritas yang luas untuk menentukan nasibnya sendiri..
Asal Usul
Kerajaan Sumedang larang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang Larang mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal berdirinya sumedang larang bernama Kerajaan Tembong Agung, yang dipimpin oleh Prabu Aji Putih dengan ibukota di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung berarti besar dan luhur).
Pada zaman Prabu tajimalela namanya kemudian diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.
Sumedang larang sendiri diyakini oleh sebagian penulis pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih, yang berkembang setelah Kabuyutan Sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti. Sumedang Larang sendiri berubah menjadi kerajaan di era pemerintahan Prabu Gajah Agung.
Penguasa
Raja-raja yang berkuasa di Sumedang Larang, adalah:
Prabu Aji Putih
Prabu tajimalela
Prabu Lembu Agung (Lembu Peteng Aji)
Prabu gajah Agung
Sunan Pagulingan
Sunan Guling
Sunan Tuakan
Nyi Mas Ratu Patuakan
Ratu Pucuk Umun
Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608 M)
Prabu Aji Putih
Prabu resi Aji putih adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah Galuh.
Ia datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir walungan (sungai) Cimanuk (sekarang adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).
Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang. Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.
Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela atau Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya nama kerajaan kemudian diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja
Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya
Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan Maharajara Sunda yang bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) Konon menurut cerita rakyat, pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai kemajuannya. Ia sangat memperhatikan bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis (Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).
Situs peninggalan Prabu Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.
Suksesi
Prabu tajimalela mempunyai 2 orang putra, Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena itu Prabu tajimalela memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan nama Prabu Lembu Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu agung dan prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
Prabu Lembu Agung (lembu Peteng Aji)
Prabu lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan nama Prabu Lembu peteng aji.
Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.
Prabu gajah Agung
Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji, yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah Agung.
Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya, dengan gelar Sunan Pagulingan.
Setelah meninggal, Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Sumedang.
Sunan Pagulingan
Sunan Pagulingan atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).
Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran Mertalaya. Karena Ratnasih menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang Larang jatuh kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
Setelah wafat, ia dimakamkan di Ciguling.
Sunan Guling
Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.
Sunan Tuakan
Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.
Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas Patuakan.
Nyi Mas Patuakan / Sunan Corenda
Nyi Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala, penguasa Galuh.
Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun. Note: Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata
Ratu Pucuk Umun (1530-1578 M) / Pangeran santri
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata naik tahta Sumedang Larang menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia merupakan seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kuatamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang). Ibunya Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
Dari hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang putra,yaitu
~ Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
~ Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, suapaya memeluk Islam.
~ Kiai Demang Watang di Walakung
~ Santowaan Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
~ Santowaan Cikeruh
` Santowaan Awi Luar.
Ratu pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1608 M).
Pangeran Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M
Geusan Ulun dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh karena serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran “Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa
Tidak ada komentar