Atlantis, Benua Yang Hilang Di Benak Pemikiran Plato
Hingga hari ini, isu tentang Atlantis di Indonesia ternyata belum mereda, bahkan semakin menjadi-jadi. Wacana itu muncul sejak dilontarkan oleh sebuah buku yang terbit 2005 berjudul “Atlantis: the Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” oleh seorang profesor fisika nuklir asal Brazil, Arysio Nunes dos Santos. Di Indonesia sendiri, demam Atlantis memanas setelah terbitnya sebuah artikel di Harian Umum Pikiran Rakyat 2 Oktober 2006 oleh Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D dengan judul “Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia.” Prof. Priyatna tersanjung karena Indonesia dinyatakan sebagai benua Atlantis yang hilang mengutip pendapat Profesor Santos.
Walaupun saat itu belum membaca bukunya, tetapi sebagai seorang ahli geologi dan banyak membaca tentang arkeologi Indonesia, saya segera menulis bantahan di harian umum yang sama. Artikel yang dimuat di PR, 7 Oktober 2006 itu berjudul: Sundaland = Benua Atlantis yang Hilang? Saat itu, penelusuran melalui dunia maya menemukan bahwa sampul buku itu menampilkan Kepulauan Indonesia bagian barat, yang tidak lain adalah apa yang pernah dikenal sebagai Kepulauan Sunda Besar, terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan yang dipersatukan oleh paparan luas yang kemudian dikenal sebagai Paparan Sunda atau dikenal pula sebagai Sundaland. Itulah mengapa judul artikel bantahan itu mengandung kata “Sundaland.”
Sundaland/Indonesia adalah Benua Atlantis yang hilang? Sungguh membanggakan! Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan nama Indonesia itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran itu akhirnya menggiring penelusuran internet tentang Atlantis kepada Dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato, sumber awal munculnya mitos Atlantis itu.
Tuturan Critias
Mitos Atlantis bermula ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya Timaeus, Critias, dan Hermocrates. Critias menuturkan sebuah cerita dalam bentuk pantun yang diterima dari kakek buytnya yang juga bernama Critias, tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias, si kakek buyut, mendapatkan cerita itu dari seorang Yunani bernama Solon, dan Solon sendiri mendapatkannya dari seorang pendeta Mesir, ketika ia mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang Dialog Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang kemudian ditulis Plato adalah sumber tertulis yang menjadi referensi utama mitos itu. Dari dialog itulah tergambarkan suatu negeri yang adil, makmur, gemah ripah loh jinawi bernama Atlantis. Letak Atlantis berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles). Luasnya lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau lain. Dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi oleh lautan sejati. Laut yang berada di Selat Heracles hanyalah satu-satunya jalan masuk ke pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain adalah samudera luas dengan benua yang mengelilinginya merupakan benua luas tanpa batas.
Buku Profesor Santos
Buku yang dijadikan acuan Prof. Priyatna untuk artikelnya itu, baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ufuk pada tahun 2009 dan mulai diedarkan di awal 2010. Sebelum membaca buku itu, artikel bantahan berargumen berdasarkan sisi geologis dan arkeologis. Dari sudut pandang dan temuan-temuan geologis dan arkeologis itulah sebenarnya telah sangat jelas bahwa penenggelaman Sundaland (yang menurut Prof Santos menjadi inti Atlantis di Indonesia) tidak terjadi dalam satu malam, jangka waktu penenggelaman seperti diungkapkan Plato. Penenggelaman paparan luas itu terjadi secara evolutif memakan waktu ribuan tahun. Itupun bukan oleh suatu gempa bumi yang diikuti tsunami raksasa, tetapi akibat perubahan iklim berupa pemanasan global dari zaman es ke zaman antar es.
Dari sisi arkeologis, ketika Atlantis diperkirakan oleh Plato berjaya sampai sekitar 11.600 tahun yang lalu, peradaban Indonesia purba tidaklah semaju seperti yang digambarkan oleh Plato. Kehidupan purbakala saat itu masih berada pada Zaman Paleolitik. Masyarakatnya hidup terutama dari berburu dengan hanya menggunakan bahan-bahan alam dari batu, tulang, atau kayu/bambu, mungkin juga menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dan pantai. Tidak ada pendapat satu pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato menuliskan bukunya. Bandingkan di waktu yang sama, bangsa Mesir dan Yunani telah berperadaban tinggi, di antaranya sudah sanggup membuat piramid atau parthenon.
Setelah membaca bukunya, tadinya terpikir bahwa Profesor Santos akan berargumen dengan temuan-temuan baru geologis dan arkeologis di Indonesia. Namun alasannya rupanya lebih didasarkan pada argumen-argumen mitologis dan kebetulan-kebetulan atau kesamaan linguistik. Peta-peta dan buku-buku kuno Ramayana, Mahabarata, Iliad, dan lain-lain, serta dongeng-dongeng yang tersebar di seantero dunia dari tradisi Yahudi Kuno, Kristiani Awal, kepercayaan-kepercayaan pagan yang menyembah berhala, adalah referensi untuk menyatakan argumennya bahwa akhirnya benua Atlantis yang hilang telah ditemukan (di Indonesia), seperti judul bukunya.
Begitupun alasan-alasan dari sisi geologi lainnya sama sekali tidak mendasar. Akhir Atlantis menurut Santos adalah letusan dahsyat Gunung Krakatau (Proto Krakatau) pada 11.600 tahun lalu. Dari referensi geologi tidak pernah ada catatan penentuan umur produk letusan itu. Krakatau dianggap Pilar Herkules yang sesungguhnya dengan pendamping Gunung Dempo di Sumatera Selatan. Sayangnya, di geologi catatan tentang letusan Gunung Dempo sangatlah miskin dan juga belum pernah diketahui meletus dahsyat. Akhirnya Profesor Santos menggunakan argumen letusan Toba 74.000 tahun lalu yang jelas tidak cocok dengan berakhirnya Atlantis yang menurut Prof. Santos sendiri (tentunya mengutip Plato) berakhir 11.600 tahun yang lalu.
Profesor Santos menyatakan bahwa kesimpulan penemuan Atlantis di Indonesia itu adalah setelah melalui riset selama 30 tahun. Anehnya, dari berbagai penelusuran, jelas sekali bahwa belum sekali pun Profesor Santos mengunjungi Indonesia. Sebagai seorang doktor fisika nuklir (dan juga mengaku sebagai ahli geologi) ternyata karya-karya tulisnya hanya di seputar Atlantis saja. Argumennya sama sekali tidak mengacu kepada bidang fisika nuklir, bahkan pada analisis geologi yang kritis.
Ada satu hal yang semakin meragukan argumennya. Pada referensi bukunya, Profesor Santos ternyata tidak satu pun mengacu pada literatur tentang geologi dan arkeologi Indonesia. Padahal telah sangat banyak referensi tentang geologi, arkeologi, mitologi, sejarah, antropologi, dan lain sebagainya tentang Paparan Sunda, Sundaland, atau Indonesia, baik yang ditulis peneliti-peneliti Indonesia dalam bahasa Inggeris, maupun mancanegara/internasional. Misalnya buku paling lengkap membahas prasejarah Indonesia oleh Peter Bellwood (Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, 1985; edisi Bahasa Indonesia diterbitkan Gramedia, 2000) sama sekali tidak dirujuk.
Tetapi ia malah berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Sesuai dengan kutipan dari Plato, Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman es kala waktu Plistosen Akhir. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada maksimum 18.000 tahun yang lalu. Kala itu, tutupan es di kutub-kutub Bumi meluas hingga lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa surut tajam hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan, menyatukan Pulau Jawa, Bali, Sumatra dan Kalimantan ke dataran Asia. Paparan luas di tenggara Asia itulah yang kemudian dikenal sebagai Sundaland.
Setelah zaman es itu, permukaan air laut mulai naik seiring dengan masuknya zaman antar-es, atau dapat dikatakan sebagai zaman pemanasan global. Permukaannya naik terus hingga posisinya sekarang, menenggelamkan paparan rendah Sundaland. Namun, penenggelaman paparan Sunda berjalan sangat pelan (evolutif), memakan waktu hampir 13.000 tahun. Padahal menurut cerita Critias yang dikutip Plato, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam!
Terdapat beberapa orang yang juga tidak percaya pendapat Profesor Santos. Di antaranya adalah ahli geologi dari BP Migas, Awang H. Satyana yang sempat didaulat untuk bedah buku Profesor Santos itu di akhir November 2009. Kutipan berikut ini diambil dari resume yang diposting di milis iagi.net dari tulisannya yang sangat panjang:
Tesis-tesis yang diajukan Profesor Santos dalam bukunya “Atlantis: the Lost Continent Finally Found” (2005) tidak mempunyai bukti dan argumentasi geologi. Sundaland adalah paparan benua stabil yang tenggelam pada 15.000 – 11.000 tahun yang lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim, bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang.
Tidak ada bukti letusan supervolcano Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu. Letusan tertua Krakatau yang dapat diidentifikasi adalah pada tahun 460 AD. Gempa, erupsi volkanik dan tsunami tidak pernah disebabkan beban sedimen dan air laut pada dasar samudera, tetapi akibat interaksi lempeng-lempeng tektonik.
Migrasi manusia Indonesia (Sundaland) ke luar setelah penenggelaman Sundaland, bertolak belakang dengan bukti-bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler.Karena mekanisme-mekanisme geologi yang diajukan Prof. Santos tidak mempunyai nalar geologi yang benar, maka sangat diragukan bahwa Indonesia (Sundaland) merupakan benua Atlantis.
Terdapat beberapa orang yang juga tidak percaya pendapat Profesor Santos. Di antaranya adalah ahli geologi dari BP Migas, Awang H. Satyana yang sempat didaulat untuk bedah buku Profesor Santos itu di akhir November 2009. Kutipan berikut ini diambil dari resume yang diposting di milis iagi.net dari tulisannya yang sangat panjang:
Tesis-tesis yang diajukan Profesor Santos dalam bukunya “Atlantis: the Lost Continent Finally Found” (2005) tidak mempunyai bukti dan argumentasi geologi. Sundaland adalah paparan benua stabil yang tenggelam pada 15.000 – 11.000 tahun yang lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim, bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang.
Tidak ada bukti letusan supervolcano Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu. Letusan tertua Krakatau yang dapat diidentifikasi adalah pada tahun 460 AD. Gempa, erupsi volkanik dan tsunami tidak pernah disebabkan beban sedimen dan air laut pada dasar samudera, tetapi akibat interaksi lempeng-lempeng tektonik.
Migrasi manusia Indonesia (Sundaland) ke luar setelah penenggelaman Sundaland, bertolak belakang dengan bukti-bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler.Karena mekanisme-mekanisme geologi yang diajukan Prof. Santos tidak mempunyai nalar geologi yang benar, maka sangat diragukan bahwa Indonesia (Sundaland) merupakan benua Atlantis.
Memang, akhirnya buku Profesor Santos hanyalah buku yang penuh argumen
yang tidak berdasarkan kepada temuan ilmiah. Profesor Thomas
Djamaluddin, peneliti/astronom dari LAPAN, berpendapat bahwa teori
Profesor Santos hanya akan menjadi pseudo-sains yang seolah-olah seperti
sains tetapi cara pengungkapannya lebih hanya kepada opini-opini
penulis sendiri yang didasarkan pada mitos dan legenda, dan tidak
didukung bukti-bukti geologis atau arkeologis yang meyakinkan.
Dua puluh empat kriteria
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis bila kita cermati memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Nama-nama seperti Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia, menjadi penanda tempat di sekitar laut yang memisahkan Eropa dengan Afrika dan Asia itu. Begitu pula Pilar-pilar Hercules yang banyak dipercayai sebagai Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di ujung barat Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera Atlantik. Betulkah Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari gabungan Libia dan Asia? Ada juga opini yang menentangnya dengan menyatakan bahwa telah terjadi salah translitarsi kata Yunani meson (lebih besar) dengan mezon (di antara).
Sangat banyak negara yang mengaku sebagai lokasi Atlantis. Sampai akhirnya para ahli, peneliti dan peminat Atlantis pernah mengadakan konferensi yang dihadiri 15 negara di Pulau Milos, Yunani, 11 hingga 13 Juli 2005. Mereka bertukar pikiran mengenai keberadaan Benua Atlantis. Selama konferensi dengan judul “Hipotesis Atlantis – Mencari Benua yang Hilang,” para spesialis dalam bidang arkeologi, geologi, volkanologi dan ilmu-ilmu lain memperesentasikan pandangannya tentang keberadaan Atlantis, waktu menghilangnya, penyebabnya, dan kebudayaannya.
Berdasarkan kepada referensi tulisan Plato, peserta u:
Rebutan pendapat tentang lokasi Atlantis, ada kemungkinan bahwa lokasi itu fiktif belaka. Plato memimpikan suatu negara sejahtera dan kuat yang berpemerintahan adil-makmur, serta didukung oleh sumber daya alam yang berlimpah. Plato, setelah mendengar cerita Critias, mungkin saja membayangkan adanya negeri yang bersumber daya alam luar biasa yang berada jauh di belahan dunia timur (Nusantara) dari pelaut-pelaut yang kerap kali datang dan singgah di Mesir. Gabungan dari informasi ini serta mimpinya akan negara kuat yang tentu berlatar belakang konsep Yunaninya, akhirnya menelurkan adanya Negeri Atlantis.
Dari beberapa kutipan, dikatakan bahwa Plato sendiri mempunyai keyakinan bahwa mencari kenyataan bukanlah di dunia ragawi, tetapi melalui konsep atau pikiran. Kita jadi teringat pendapat seorang ahli geologi minyak bumi yang menyatakan bahwa “mencari minyak bumi tidak di lapangan, melainkan melalui pikiran.” Selain itu ada ungkapan Latin “amicus Plato, sed magis amica veritas,” yang secara harfiah berarti “Plato adalah temanku, tetapi aku lebih berteman dengan kebenaran” , atau secara bebas bisa kita katakan, “Plato adalah teman, tetapi saya lebih berpihak kepada kebenaran. ”
Dari paparan di atas, mulai dari ketidakjelasan ciri geografis Atlantis, bayangan negeri yang terlalu ideal, gabungan dari berbagai sumber yang dicomot dari sana-sini (yang ditandai bahwa setiap negara merasa mempunyai beberapa ciri Atlantis, tetapi sekaligus tidak mempunyai ciri-ciri lainnya), akhirnya dapat kita simpulkan bahwa “lokasi Atlantis hanya ada di pikiran Plato.”
Dari beberapa kutipan, dikatakan bahwa Plato sendiri mempunyai keyakinan bahwa mencari kenyataan bukanlah di dunia ragawi, tetapi melalui konsep atau pikiran. Kita jadi teringat pendapat seorang ahli geologi minyak bumi yang menyatakan bahwa “mencari minyak bumi tidak di lapangan, melainkan melalui pikiran.” Selain itu ada ungkapan Latin “amicus Plato, sed magis amica veritas,” yang secara harfiah berarti “Plato adalah temanku, tetapi aku lebih berteman dengan kebenaran” , atau secara bebas bisa kita katakan, “Plato adalah teman, tetapi saya lebih berpihak kepada kebenaran. ”
Dari paparan di atas, mulai dari ketidakjelasan ciri geografis Atlantis, bayangan negeri yang terlalu ideal, gabungan dari berbagai sumber yang dicomot dari sana-sini (yang ditandai bahwa setiap negara merasa mempunyai beberapa ciri Atlantis, tetapi sekaligus tidak mempunyai ciri-ciri lainnya), akhirnya dapat kita simpulkan bahwa “lokasi Atlantis hanya ada di pikiran Plato.”
Sang filsuf telah sukses menciptakan suatu wacana tentang lokasi negeri makmur yang bermain-main di sudut-sudut pikirannya, namun diperdebatkan berabad-abad kemudian, menciptakan harapan bagi para peneliti dan para penganut romantisme.
Tidak ada komentar