Pendapat Keberadaan Atlantis Menurut Teosofis
Plato Tidak Bohong, Atlantis Pernah Ada di Indonesia.”
Kira-kira demikianlah hipotesis yang dipercaya oleh DR Danny Hilman Natawidjaja, menguatkan pendapat Dr. Arisiyo Santos dan Stephen Oppenheimer yang lebih dahulu menyebutkan kemungkinan tersebut.
Untuk membuktikan pendapatnya, Danny Hilman dan timnya hingga saat ini sibuk menggali Gunung Padang yang menurutnya merupakan peninggalan Atlantis. Seorang tokoh lain bernama Dicky Zainal Arifin atau akrab disapa Kang Dicky (KD) memiliki keyakinan lain, menurutnya pembangun Gunung Padang adalah bangsa Lemurian, bangsa yang menurunkan suku suku di Nusantara sekarang ini.
Kang Dicky mendapatkan teori tersebut berdasarkan metode time travel atau ngimpleng yang tentunya akan menjadi tertawaan ilmuwan-ilmuwan yang lebih mempercayai metode ilmiah untuk membuktikan suatu teori. Bagaimanapun, kedua teori tersebut memiliki pengikut fanatiknya sendiri-sendiri. Aku pernah berdebat dengan salah satu dari mereka hingga akhirnya aku dituduh “tidak nasionalis” karena tidak mempercayai keagungan leluhur nusantara.
Aku pernah membahas polemik ini dalam tulisanku beberapa tahun yang lalu. Kali ini aku tertarik untuk membahasnya kembali karena sejak tulisan itu kubuat, kontroversi mengenai Gunung Padang masih hangat terjadi, bahkan menjurus kepada perdebatan politis mengingat motor pengungkapan Gunung Padang adalah Andi Arief, Staff Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang notabene tidak memiliki latar belakang keilmuan sejarah/arkeologi/geologi sama sekali.
Di sisi lain para penentangnya adalah para akademisi yang mewakili bidang-bidang geologi, arkeologi dan sejarah. Aku tertarik sekali mengamati perdebatan di antara kedua kubu, yang menurutku mewakili dua karakter orang Indonesia pada umumnya. Mereka yang mempercayai takhayul dan mereka yang rasional. Kelompok pertama bisa saja mengaku rasional, tapi sejauh ini keyakinan mereka lebih didasari oleh emosi semata dibanding pikiran sehat.
Buktinya kepercayaan bangsa atlantis sebagai nenek moyang bangsa Indonesia dipercaya begitu saja tanpa bukti nyata. Hanya buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Prof. Dr. Aryso Santos dan Eden in the East karya Stephen Oppenheimer-lah yang menjadi pegangan mereka.
Lewat tulisan ini aku ingin menambah beberapa referensi untuk mereka, bahwa kepercayaan bahwa nenek moyang bangsa ini merupakan bangsa Atlantis/Lemuria ternyata bukan barang baru lagi. Teori ini sudah dikemukakan sekitar seratus tahun lalu oleh para penganut ajaran Teosofi. Bagaimana kepercayaan mereka terhadap keberadaan bangsa atlantis tersebut selayaknya menjadi pertimbangan bagi para pendukung teori atlantis masa kini karena ternyata kepercayaan akan garis keturunan Atlantis/Lemuria membawa konsekwensi tertentu. Apa konsekuensinya?
Untuk itu aku akan mengisahkan kembali sejarah Pulau Jawa menurut kalangan Teosofi, sebagaimana dimuat dalam buku “Sejarah Gaib Pulau Jawa” karya C.W. Leadbeater. Buku ini diterbitkan Pustaka Theosofi Jakarta tahun 1976, merupakan terjemahan dari buku “Occult History of Java” yang diterbitkan tahun 1951.
Kira-kira demikianlah hipotesis yang dipercaya oleh DR Danny Hilman Natawidjaja, menguatkan pendapat Dr. Arisiyo Santos dan Stephen Oppenheimer yang lebih dahulu menyebutkan kemungkinan tersebut.
Kang Dicky mendapatkan teori tersebut berdasarkan metode time travel atau ngimpleng yang tentunya akan menjadi tertawaan ilmuwan-ilmuwan yang lebih mempercayai metode ilmiah untuk membuktikan suatu teori. Bagaimanapun, kedua teori tersebut memiliki pengikut fanatiknya sendiri-sendiri. Aku pernah berdebat dengan salah satu dari mereka hingga akhirnya aku dituduh “tidak nasionalis” karena tidak mempercayai keagungan leluhur nusantara.
Aku pernah membahas polemik ini dalam tulisanku beberapa tahun yang lalu. Kali ini aku tertarik untuk membahasnya kembali karena sejak tulisan itu kubuat, kontroversi mengenai Gunung Padang masih hangat terjadi, bahkan menjurus kepada perdebatan politis mengingat motor pengungkapan Gunung Padang adalah Andi Arief, Staff Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang notabene tidak memiliki latar belakang keilmuan sejarah/arkeologi/geologi sama sekali.
Di sisi lain para penentangnya adalah para akademisi yang mewakili bidang-bidang geologi, arkeologi dan sejarah. Aku tertarik sekali mengamati perdebatan di antara kedua kubu, yang menurutku mewakili dua karakter orang Indonesia pada umumnya. Mereka yang mempercayai takhayul dan mereka yang rasional. Kelompok pertama bisa saja mengaku rasional, tapi sejauh ini keyakinan mereka lebih didasari oleh emosi semata dibanding pikiran sehat.
Buktinya kepercayaan bangsa atlantis sebagai nenek moyang bangsa Indonesia dipercaya begitu saja tanpa bukti nyata. Hanya buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Prof. Dr. Aryso Santos dan Eden in the East karya Stephen Oppenheimer-lah yang menjadi pegangan mereka.
Lewat tulisan ini aku ingin menambah beberapa referensi untuk mereka, bahwa kepercayaan bahwa nenek moyang bangsa ini merupakan bangsa Atlantis/Lemuria ternyata bukan barang baru lagi. Teori ini sudah dikemukakan sekitar seratus tahun lalu oleh para penganut ajaran Teosofi. Bagaimana kepercayaan mereka terhadap keberadaan bangsa atlantis tersebut selayaknya menjadi pertimbangan bagi para pendukung teori atlantis masa kini karena ternyata kepercayaan akan garis keturunan Atlantis/Lemuria membawa konsekwensi tertentu. Apa konsekuensinya?
Untuk itu aku akan mengisahkan kembali sejarah Pulau Jawa menurut kalangan Teosofi, sebagaimana dimuat dalam buku “Sejarah Gaib Pulau Jawa” karya C.W. Leadbeater. Buku ini diterbitkan Pustaka Theosofi Jakarta tahun 1976, merupakan terjemahan dari buku “Occult History of Java” yang diterbitkan tahun 1951.
C. W. Leadbeater (1854-1934) adalah tokoh utama di balik gerakan Teosofi yang juga merangkap sebagai Uskup Gereja Katolik Bebas tahun 1923-1934. Gerakan Teosofi sendiri adalah gerakan internasional yang didirikan tahun 1875 oleh H. Blavatsky dan Colonel Olcott. Gerakan ini kemudian dikomandoi oleh Annie Besant, Rudolf Steiner dan C.W. Leadbeater. Gerakan Teosofi singkatnya adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan agung suatu super religion, dimana Agama dan Ilmu Pengetahuan bisa dijembatani. Siapapun yang mengaku umat Islam, Kristen, Hindu, Agnostik dan lain-lain bisa memasuki organisasi ini asalkan mengakui Teosofi sebagai Agama Super yang menaungi semua agama tersebut.
Selain mengadopsi ajaran-ajaran Agama khususnya Hindu dan Budha, Teosofi juga mengambil beberapa aspek pemikiran Hermes Trismeistos, Phytagoras, Plato, Tarot, Freemason, Darwin, hingga Ignatios Donnely. Teosofi juga mempercayai adanya pertentangan antara “Tuhan baik” dan “Tuhan jahat” seperti ajaran Gnostik Zoroaster dan Manikeanisme.
Menurut teosofi, peradaban dunia terbagi atas 7 zaman dengan masing-masing bencana yang menghancurkannya. Ketujuh zaman tersebut didiami oleh ras manusia yang berbeda, yang hingga kini sisanya masih bisa ditemukan berdasarkan ciri fisik tertentu. C. Jinaradjasa dalam buku “First Principle of Theosophy” (Madras, 1922) tampak menghubungkan ajaran Budha, Darwin, dan Budha dalam penentuan periode tersebut. Terbukti dari kepercayaannya atas keberadaan strata berdasarkan ciri fisik manusia, yang uniknya menempatkan bangsa Arya sebagai ras yang lebih “sempurna” dibandingkan Lemurian atau Atlantean.
…The Aryan or Caucasian races we have probably the highest forms, not only in beauty of structure, but also for quick response to external stimuli and high sensitiviness to the finer philosophical and artistic thougts and emotions…
Selain mengadopsi ajaran-ajaran Agama khususnya Hindu dan Budha, Teosofi juga mengambil beberapa aspek pemikiran Hermes Trismeistos, Phytagoras, Plato, Tarot, Freemason, Darwin, hingga Ignatios Donnely. Teosofi juga mempercayai adanya pertentangan antara “Tuhan baik” dan “Tuhan jahat” seperti ajaran Gnostik Zoroaster dan Manikeanisme.
Menurut teosofi, peradaban dunia terbagi atas 7 zaman dengan masing-masing bencana yang menghancurkannya. Ketujuh zaman tersebut didiami oleh ras manusia yang berbeda, yang hingga kini sisanya masih bisa ditemukan berdasarkan ciri fisik tertentu. C. Jinaradjasa dalam buku “First Principle of Theosophy” (Madras, 1922) tampak menghubungkan ajaran Budha, Darwin, dan Budha dalam penentuan periode tersebut. Terbukti dari kepercayaannya atas keberadaan strata berdasarkan ciri fisik manusia, yang uniknya menempatkan bangsa Arya sebagai ras yang lebih “sempurna” dibandingkan Lemurian atau Atlantean.
…The Aryan or Caucasian races we have probably the highest forms, not only in beauty of structure, but also for quick response to external stimuli and high sensitiviness to the finer philosophical and artistic thougts and emotions…
Menurut Jinaradjasa, bangsa Lemuria mendiami benua Australasia (Gabungan Asia dan Australia) sekitar 1.000.000 tahun yang lalu. Nama Lemuria sendiri berasal dari seorang Naturalis bernama Scalter yang mempercayai keberadaan benua Australasia berdasarkan keberadaan Monyet Lemur yang tersebar di sepanjang kawasan Pasifik. Ditambahkannya, sisa dari keturunan Lemuria ini bisa dilihat pada penduduk asli Ethiopia dan kepulauan Pasifik.
C.W. Leadbeater menyebutkan bahwa orang-orang ras Polinesia (Lemuria) inilah yang pertama kali menduduki pulau Jawa. “Mereka belum memiliki indra perasa pada lidahnya dan dipercaya melakukan dosa buruk antara lain melakukan hubungan sex dengan binatang-binantang dengan monyet-monyet sebagai saksi bisunya,” tambah Leadbeater.
Kedatangan bangsa Lemuria disusul oleh kedatangan penduduk Atlantis yang membawa beserta mereka kepercayaan-kepercayaan jahat dari negara mereka. Pandangan Leadbeater dalam hal ini sejalan dengan mitos Atlantis Plato yang menyebutkan penduduk Atlantis sebagai pemilik peradaban tinggi namun pendosa sehingga mendapat azab dari Zeus. Jinaradjasa mengutip Flower dan Lydekker menyebutkan bahwa keturunan Bangsa Atlantis adalah mereka dengan ciri fisik orang-orang Mongolia atau China. Mereka mendiami benua raksasa yang dahulunya terletak di samudera Atlantis (cukup masuk akal).
Benua ini tenggelam pada tahun 9564 S.M. , menghasilkan legenda “Banjir Besar” yang masih dikenal hingga sekarang. Ketika Atlantis tenggelam, munculah padang pasir seperti Sahara di Afrika dan Gobi di Asia.
Leadbeater menyebutkan bahwa pendatang dari Atlantis di Pulau Jawa menyembah dewa-dewa (hyang), oleh karena itu penduduk terus menerus dituntut untuk melakukan persembahan-persembahan lewat pengorbanan. Ini mungkin menjelaskan adanya situs-situs punden berundak yang tersebar di Jawa, tempat persembahan kepada hyang.
Menurutnya, kemarahan hyang ditunjukan salah satunya dengan letusan gunung berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga agar sistem pengorbanan ini tetap terlaksana, Mereka menempatkan penjaga-penjaga gaib (hantu-hantu) di berbagai tempat di pulau Jawa, terutama di kawah-kawah dan gunung berapi.
Selanjutnya sejalan dengan teori professor Veth, penjajahan Atlantis atas Jawa mulai berakhir ketika pulau didatangi oleh bangsa Melayu utamanya dari Kamboja. Setelah itu, Jawa mengalami kolonialisasi oleh bangsa kulit putih dari Kalinga (India), yang mana masih meninggalkan jejak hingga saat ini.
Bangsa kulit putih tersebut merupakan kelompok bangsa Arya di bawah komando Chakshusha Manu dan Vaivasvata Manu yang tiba sekitar tahun 1200 SM. Awalnya pendatang Hindu ini berprofesi sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat tinggal di pantai hingga lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil. Ketika kekuasaan mereka semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh dan penerapan hukum-hukum Hindu kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun pengaruh Hindu tidak berhasil menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan yang selama ini dipraktikan oleh penduduk asli. Mereka tetap melakukan kegiatan tersebut secara rahasia. Karena tidak berhasil menghilangkan keagamaan asli, Vaivasvatu Manu mengajukan kepada Raja India Karishka untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa tahun 78 M.
Pemimpin ekspedisi itu dikenal sebagai Aji Saka. Misinya adalah memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme serta menerapkan kembali berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti sistem Kasra, vegetarisme, epos Hindu, dan abjad Jawa. Untuk melawan warisan kutukan yang dulunya disimpan Raja Atlantis di Pulau Jawa, Aji Saka menanam benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam bahasa Jawa, benda-benda tersebut dikenal sebagai “Tumbal”. Tidak hanya itu, Aji Saka juga memindahkan gunung-gunung dan memberikan nama-nama Sansekerta pada mereka. Salah satunya adalah sebuah gunung di Japara yang paling tinggi dan dulunya disebut Mahameru, dinamainya sebagai Mauria yang diambil dari nama Dinasti Maurya (322 SM.). Raja Ashoka adalah salah satu anggota dinasti Maurya.
Catatan-catatan orang Cina pada waktu itu melaporkan mengenai sebuah semburan lumpur yang menyembur di Grobogan, di sebelah selatan Gunung tersebut/Semburannya itu demikian tingginya sehingga pelaut-pelaut tersebut dapat melihatnya.
Lagi di dekatnya Tuban (yang berarti “memancar”), catatan itu mengatakan bahwa ada sumur berapa mil dari pantai yang mengeluarkan demikian banyak air segar, sehingga air laut di dekatnya dapat diminum karena tak lagi asin rasanya.
Aji saka memilih tempat penanaman tumbalnya yang paling penting dan paling kuat pada sebuah bukit yang rendah, bukit terakhir dari deretan bukit yang berhadapan dengan sungat Progo (Diambil dari nama daerah Praga di India). Di atas lokasi penempatan tumbal itu nantinya akian dibangun sebuah monumen luar biasa oleh dinasti Shailendra – bernama Borobudur.
Borobudur dirancang oleh seorang bernama Gunadharma, seorang Hindu Budha dari perbatasan Nepal, sedangkan pelaksananya adalah orang Jawa. Pembangunan ini dipengaruhi sekte Budha bernama Vrajasana.
Borobudur ditujukan sebagai tempat ziarah orang-orang Budha dari seluruh dunia. Ketika Syailendra berkuasa, pulau Jawa dan Sumatra masih bersatu , adalah letusan gunung Krakatau pada tahu 915 yang memisahkan kedua pulau tersebut. Sejak itu pedagang dari India dan Tiongkok mulai menggunakan selat sunda yang terbentuk di antara dua pulau.
Kerajaan Syailendra termasuk monumen Borobudur kebanggaanya mengalami kejatuhan setelah tertimbun letusan gunung Merapi. Setelah itu keturunan Syailendra mengungsi ke Jawa Timur dan membangun kerajaan baru bernama Kediri.
Borobudur ditemukan kembali oleh Raffles di abad-19 yang kemudian direstorasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu Borobudur menjadi relik utama kaum Teosofi. Kaum yang mempercayai keunggulan ras arya ini sangat memuja Candi Borobudur, sehingga boleh dibilang mereka merupakan kelompok pertama yang mengadakan upacara Waisak di Borobudur.
Leadbeater berusaha menguatkan teorinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arya yang tiba di Jawa berusaha untuk menjaga jarak dengan penduduk asli (Lemuria/Atlantis) namun tidak begitu sukses. Pemisahan pergaulan tersebut tetap memunculkan adanya perbedaan fisik, penggunaan bahasa dan tradisi antara kalangan Aristokrat Jawa dan orang-orang desa yang tinggal di pegunungan.
Demikianlah sedikit penggalan kepercayaan kaum Teosofis terhadap teori Atlantis dan sejarah Jawa menurut salah satu uskupnya, C.W. Leadbeater. Dari pandangannya tersebut setidaknya kita bisa mengambil point penting bahwa kita jangan dulu bangga disebut keturunan bangsa Atlantis karena apabila kita konsisten dengan konteks cerita Plato, mereka adalah penduduk dengan peradaban tinggi yang gemar melakukan banyak dosa dan kesesatan sehingga mereka mendapat hukuman dewa.
Selain itu Leadbeater juga berusaha menjelaskan perilaku masyarakat Jawa yang gemar meng-kramatkan gunung-gunung dan tempat tertentu. “Dewa-dewa” yang menguasai tempat tersebut harus dinetralisir dengan menggunakan tumbal. Menurutnya kepercayaan terhadap Atlantis tidak selamanya perlu dibuktikan oleh bukti-bukti fisik situs semata, keberadaan mereka juga harus ditelusuri lewat peninggalan-peninggalan non fisik seperti “okultisme” warisan Imam Agung Atlantis yang selama ini masih dipraktekkan sebagian masyarakat di pulau Jawa. Entah mengapa, Perilaku orang-orang yang mengkeramatkan Gunung Padang seakan-akan menguatkan kepercayaanku terhadap pandangan tersebut.
Terakhir, buku Sejarah Gaib Pulau Jawa tampaknya harus dibaca semua orang yang mempercayai teori atlantis di Nusantara, bahwa baik bangsa Atlantis atau Lemuria ternyata sama-sama memiliki nama yang kurang baik di kalangan orang barat yang diwakili pandangan Leadbeater. Sekeras apapun kita menyuarakan keunggulan nenek moyang kita, orang lain akan tetap membanggakan nenek moyangnya.
Secara umum memang buku Leadbeater ini tidak ilmiah dan sangat bias sama seperti halnya teori-teori lain yang berusaha menjelaskan fenomena Atlantis. Semuanya hanya didasarkan asumsi-asumsi belaka tanpa bukti karena hingga saat ini tidak ada buku sejarah dunia yang mengakui keberadaan atlantis.
Mengenai sikapku terhadap Gunung Padang, aku mendukung segala penelitian terhadap situs tersebut selama dilakukan secara ilmiah oleh orang-orang yang kompeten, bukan oleh sekelompok pemburu atlantis yang gemar berspekulasi.
C.W. Leadbeater menyebutkan bahwa orang-orang ras Polinesia (Lemuria) inilah yang pertama kali menduduki pulau Jawa. “Mereka belum memiliki indra perasa pada lidahnya dan dipercaya melakukan dosa buruk antara lain melakukan hubungan sex dengan binatang-binantang dengan monyet-monyet sebagai saksi bisunya,” tambah Leadbeater.
Kedatangan bangsa Lemuria disusul oleh kedatangan penduduk Atlantis yang membawa beserta mereka kepercayaan-kepercayaan jahat dari negara mereka. Pandangan Leadbeater dalam hal ini sejalan dengan mitos Atlantis Plato yang menyebutkan penduduk Atlantis sebagai pemilik peradaban tinggi namun pendosa sehingga mendapat azab dari Zeus. Jinaradjasa mengutip Flower dan Lydekker menyebutkan bahwa keturunan Bangsa Atlantis adalah mereka dengan ciri fisik orang-orang Mongolia atau China. Mereka mendiami benua raksasa yang dahulunya terletak di samudera Atlantis (cukup masuk akal).
Benua ini tenggelam pada tahun 9564 S.M. , menghasilkan legenda “Banjir Besar” yang masih dikenal hingga sekarang. Ketika Atlantis tenggelam, munculah padang pasir seperti Sahara di Afrika dan Gobi di Asia.
Leadbeater menyebutkan bahwa pendatang dari Atlantis di Pulau Jawa menyembah dewa-dewa (hyang), oleh karena itu penduduk terus menerus dituntut untuk melakukan persembahan-persembahan lewat pengorbanan. Ini mungkin menjelaskan adanya situs-situs punden berundak yang tersebar di Jawa, tempat persembahan kepada hyang.
Menurutnya, kemarahan hyang ditunjukan salah satunya dengan letusan gunung berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga agar sistem pengorbanan ini tetap terlaksana, Mereka menempatkan penjaga-penjaga gaib (hantu-hantu) di berbagai tempat di pulau Jawa, terutama di kawah-kawah dan gunung berapi.
Selanjutnya sejalan dengan teori professor Veth, penjajahan Atlantis atas Jawa mulai berakhir ketika pulau didatangi oleh bangsa Melayu utamanya dari Kamboja. Setelah itu, Jawa mengalami kolonialisasi oleh bangsa kulit putih dari Kalinga (India), yang mana masih meninggalkan jejak hingga saat ini.
Bangsa kulit putih tersebut merupakan kelompok bangsa Arya di bawah komando Chakshusha Manu dan Vaivasvata Manu yang tiba sekitar tahun 1200 SM. Awalnya pendatang Hindu ini berprofesi sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat tinggal di pantai hingga lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil. Ketika kekuasaan mereka semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh dan penerapan hukum-hukum Hindu kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun pengaruh Hindu tidak berhasil menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan yang selama ini dipraktikan oleh penduduk asli. Mereka tetap melakukan kegiatan tersebut secara rahasia. Karena tidak berhasil menghilangkan keagamaan asli, Vaivasvatu Manu mengajukan kepada Raja India Karishka untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa tahun 78 M.
Pemimpin ekspedisi itu dikenal sebagai Aji Saka. Misinya adalah memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme serta menerapkan kembali berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti sistem Kasra, vegetarisme, epos Hindu, dan abjad Jawa. Untuk melawan warisan kutukan yang dulunya disimpan Raja Atlantis di Pulau Jawa, Aji Saka menanam benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam bahasa Jawa, benda-benda tersebut dikenal sebagai “Tumbal”. Tidak hanya itu, Aji Saka juga memindahkan gunung-gunung dan memberikan nama-nama Sansekerta pada mereka. Salah satunya adalah sebuah gunung di Japara yang paling tinggi dan dulunya disebut Mahameru, dinamainya sebagai Mauria yang diambil dari nama Dinasti Maurya (322 SM.). Raja Ashoka adalah salah satu anggota dinasti Maurya.
Catatan-catatan orang Cina pada waktu itu melaporkan mengenai sebuah semburan lumpur yang menyembur di Grobogan, di sebelah selatan Gunung tersebut/Semburannya itu demikian tingginya sehingga pelaut-pelaut tersebut dapat melihatnya.
Lagi di dekatnya Tuban (yang berarti “memancar”), catatan itu mengatakan bahwa ada sumur berapa mil dari pantai yang mengeluarkan demikian banyak air segar, sehingga air laut di dekatnya dapat diminum karena tak lagi asin rasanya.
Aji saka memilih tempat penanaman tumbalnya yang paling penting dan paling kuat pada sebuah bukit yang rendah, bukit terakhir dari deretan bukit yang berhadapan dengan sungat Progo (Diambil dari nama daerah Praga di India). Di atas lokasi penempatan tumbal itu nantinya akian dibangun sebuah monumen luar biasa oleh dinasti Shailendra – bernama Borobudur.
Borobudur dirancang oleh seorang bernama Gunadharma, seorang Hindu Budha dari perbatasan Nepal, sedangkan pelaksananya adalah orang Jawa. Pembangunan ini dipengaruhi sekte Budha bernama Vrajasana.
Borobudur ditujukan sebagai tempat ziarah orang-orang Budha dari seluruh dunia. Ketika Syailendra berkuasa, pulau Jawa dan Sumatra masih bersatu , adalah letusan gunung Krakatau pada tahu 915 yang memisahkan kedua pulau tersebut. Sejak itu pedagang dari India dan Tiongkok mulai menggunakan selat sunda yang terbentuk di antara dua pulau.
Kerajaan Syailendra termasuk monumen Borobudur kebanggaanya mengalami kejatuhan setelah tertimbun letusan gunung Merapi. Setelah itu keturunan Syailendra mengungsi ke Jawa Timur dan membangun kerajaan baru bernama Kediri.
Borobudur ditemukan kembali oleh Raffles di abad-19 yang kemudian direstorasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu Borobudur menjadi relik utama kaum Teosofi. Kaum yang mempercayai keunggulan ras arya ini sangat memuja Candi Borobudur, sehingga boleh dibilang mereka merupakan kelompok pertama yang mengadakan upacara Waisak di Borobudur.
Leadbeater berusaha menguatkan teorinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arya yang tiba di Jawa berusaha untuk menjaga jarak dengan penduduk asli (Lemuria/Atlantis) namun tidak begitu sukses. Pemisahan pergaulan tersebut tetap memunculkan adanya perbedaan fisik, penggunaan bahasa dan tradisi antara kalangan Aristokrat Jawa dan orang-orang desa yang tinggal di pegunungan.
Demikianlah sedikit penggalan kepercayaan kaum Teosofis terhadap teori Atlantis dan sejarah Jawa menurut salah satu uskupnya, C.W. Leadbeater. Dari pandangannya tersebut setidaknya kita bisa mengambil point penting bahwa kita jangan dulu bangga disebut keturunan bangsa Atlantis karena apabila kita konsisten dengan konteks cerita Plato, mereka adalah penduduk dengan peradaban tinggi yang gemar melakukan banyak dosa dan kesesatan sehingga mereka mendapat hukuman dewa.
Selain itu Leadbeater juga berusaha menjelaskan perilaku masyarakat Jawa yang gemar meng-kramatkan gunung-gunung dan tempat tertentu. “Dewa-dewa” yang menguasai tempat tersebut harus dinetralisir dengan menggunakan tumbal. Menurutnya kepercayaan terhadap Atlantis tidak selamanya perlu dibuktikan oleh bukti-bukti fisik situs semata, keberadaan mereka juga harus ditelusuri lewat peninggalan-peninggalan non fisik seperti “okultisme” warisan Imam Agung Atlantis yang selama ini masih dipraktekkan sebagian masyarakat di pulau Jawa. Entah mengapa, Perilaku orang-orang yang mengkeramatkan Gunung Padang seakan-akan menguatkan kepercayaanku terhadap pandangan tersebut.
Terakhir, buku Sejarah Gaib Pulau Jawa tampaknya harus dibaca semua orang yang mempercayai teori atlantis di Nusantara, bahwa baik bangsa Atlantis atau Lemuria ternyata sama-sama memiliki nama yang kurang baik di kalangan orang barat yang diwakili pandangan Leadbeater. Sekeras apapun kita menyuarakan keunggulan nenek moyang kita, orang lain akan tetap membanggakan nenek moyangnya.
Secara umum memang buku Leadbeater ini tidak ilmiah dan sangat bias sama seperti halnya teori-teori lain yang berusaha menjelaskan fenomena Atlantis. Semuanya hanya didasarkan asumsi-asumsi belaka tanpa bukti karena hingga saat ini tidak ada buku sejarah dunia yang mengakui keberadaan atlantis.
Mengenai sikapku terhadap Gunung Padang, aku mendukung segala penelitian terhadap situs tersebut selama dilakukan secara ilmiah oleh orang-orang yang kompeten, bukan oleh sekelompok pemburu atlantis yang gemar berspekulasi.
Tidak ada komentar